6 - Permulaan Sandiwara

33 3 0
                                    

𝙼𝚎𝚗𝚌𝚒𝚗𝚝𝚊𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚜𝚊𝚕𝚊𝚑𝚊𝚗 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚎𝚜𝚊𝚛.
𝘿𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙪 𝙧𝙚𝙡𝙖 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙩𝙚𝙧𝙪𝙨 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙪𝙡𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙚𝙨𝙖𝙡𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙨𝙖𝙢𝙖.

________

____

__



Ada banyak pertanyaan di kepalaku saat ini. Semuanya tertuju untuk Ernest. Namun aku belum bisa bertanya, lantaran Putri Royah masih di sini. Sepertinya sang putri mencoba untuk lebih mengenal diriku. Dia bahkan beberapa kali bertanya soal asal-usulku, namun Noir langsung mengalihkan pembicaraan.

Tapi kalau terus dialihkan, yang ada muncul kecurigaan. Bisa gawat.

And speak of the devil. "Oh ya, dari mana asalmu, Ana?" Putri Royah menanyakan hal itu untuk yang ketiga kali.

Aku melirik Ernest dan Noir bergantian. Apa yang harus kukatakan? Kalau berbohong pun, aku tidak tahu nama-nama tempat di sini. Ini kan masih tahun 1920, pastinya berbeda jauh dengan tahun 2021. 

Noir dengan tenang tersenyum kepadaku. Benar saja, dia menyelamatkanku lagi. 

"Putri Royah, Ana masih trauma untuk bercerita. Jadi, aku akan menggantikannya. Ana kutemukan dalam keadaan tragis. Sepertinya dia tenggelam di lautan dan terbawa arus ke pinggir pantai." Cerita bualan itu dibawakan dengan sangat baik. Bahkan atmosfir ruangan menjadi biru.

"Beruntung Ana bisa selamat, tapi... ingatannya hilang. Dia tidak tahu asalnya dari mana, keluarganya siapa, bahkan namanya dia tidak ingat. Hanya satu yang dia ingat, bahwa dia sangat suka menjahit. Karena itulah, kubawa dia ke sini." Noir mengakhiri bualan itu dengan baik. 

Wah, tidak pernah aku terpikir untuk berbohong menjadi amnesia. 

Aku terkejut ketika melihat ekspresi Putri Royah yang menatapku penuh kesedihan. Empatinya besar sekali. "Ana, kau bisa menganggap kami sebagai keluargamu. Kalau suatu hari ingatanmu kembali dan kau ingin pulang, aku pasti akan membantumu."

Spontan aku menunduk hormat. "Terima kasih untuk niat muliamu, tuan putri." Aku jadi merasa bersalah karena dia mengasihani pembohong sepertiku. 

Dipikir-pikir lagi, Putri Royah merupakan definisi sempurna. Kulitnya seputih porselen, keseluruhan dirinya bagaikan boneka hidup. Sayang, kaum-kaum jahat itu berniat membunuhnya hanya demi tahta mahkota. 

Aku tidak habis pikir, mereka lebih memikirkan kekuasaan dibanding nyawa seseorang. Tidak ada bedanya dengan tahun 2021. Masih tetap sama, para manusia gila akan kekuasaan semata.

Sungguh memuakkan.

Rasa kasihanku pada Putri Royah semakin tinggi, karena dia harusnya bisa berpergian bebas. Tapi karena kaum-kaum setan itu, Putri Royah terpaksa dikurung dalam istana demi keselamatannya sendiri.

Saat aku kembali duduk tegak, Ernest tiba-tiba bangun dan berdiri di sampingku. Bukan hanya itu saja, kurasakan telapak tangannya menyentuh puncuk kepalaku. Refleks mataku langsung membulat dan melirik ke arah Putri Royah. 

'Apa dia sudah gila?!' Batinku tertuju untuk Ernest.

Wah. Habis ini pasti Putri Royah akan membenciku. Lalu aku akan dicap sebagai saingannya dan bisa-bisa aku dihukum mati. Fix.

Karena tidak ingin dapat masalah, aku buru-buru menurunkan tangan Ernest dari kepalaku. Aku melempar tatapan 'apa-apaan ini?!' kepada Ernest, sekilas. Bahkan Noir saja kelihatan sedikit terkejut. Apa lagi yang direncanakan Letjen ini?

"Bukankah Ana sangat manis? Aku menganggapnya seperti adikku sendiri, begitupun Noir. Ya kan?" Ernest menatap Noir, seakan menyuruhnya untuk menyetujui pernyataan itu.

Noir tersenyum kikuk. "Ah.. iya." 

Lalu detik berikutnya, ekspresi Noir berubah natural demi sandiwara yang harus dilakukan. "Karena keluargaku jarang ke kota, aku selalu sendirian. Tapi sekarang ada Ana yang menemaniku di butik ini. Dia begitu penurut dan manis, mirip seperti adikku." 

Noir menatapku dengan tulus seakan dia menatap adiknya. 

Sekarang peranku adalah seorang adik, nih? Benar-benar tidak terekspetasi sama sekali.

Tapi aku mengerti maksud Ernest sekarang. Dia menunjukkan bahwa hubungan aku dengannya hanya seperti kakak-beradik. Sehingga dia bisa dekat denganku kapanpun, tanpa harus khawatir Putri Royah akan cemburu. Dengan begitu, kita bisa bebas merundingkan rencana kapan saja.

Jenius. Walaupun lama-kelamaan, kedok seperti ini pasti akan terbongkar. 

"Wah... aku iri. Aku juga ingin punya teman perempuan. Dari dulu aku hanya sendirian, tidak diizinkan bertemu dengan putri-putri yang lain." Tatapan sang putri menjadi sendu. 

Ini kesempatanku untuk mendekatkan diri kepada sang putri. "Tuan putri bisa menganggapku sebagai teman. Aku akan merasa sangat terhormat." 

Perasaanku lega ketika Putri Royah menatapku dengan berbinar. "Aku akan selalu mengingatnya, Ana. Terima kasih."

Dia pasti merasa sangat kesepian. Menjadi putri dengan kedudukan tinggi, namun tidak dapat merasakan hangatnya kehidupan. Tidak dapat duduk di padang rumput, bermain air di laut, berjalan di antara warga kota. Bahkan melamun di jendela saja, Putri Royah mungkin bisa ditembak.

Itu salah satu alasan kenapa aku lebih suka jadi orang biasa. Bisa bebas melakukan apapun.

Karena memiliki peran tinggi,
artinya harus siap untuk diikat oleh situasi.



________

____

__



Baru saja kita mengantar Putri Royah kembali ke istana. Sebelumnya, Putri Royah memintaku untuk ikut mengantarnya, karena dia ingin berbincang denganku di perjalanan. Tidak spesial sih, hanya berbincang santai. 

Setelah kereta kuda sampai di depan istana, Putri Royah sendiri yang menyuruh Ernest mengantarku balik ke butik. Karena matahari sudah terbenam setengah, hari sudah mulai gelap dan tidak aman untuk gadis sepertiku pulang sendirian. 

Tadinya kami ditawarkan kereta kuda, namun Ernest menolak dan memutuskan untuk berjalan saja. Lagipula jarak dari istana ke butik Noir tidak terlalu jauh, sih.

Jadi, disinilah kami. Berjalan santai di bawah langit senja. Tidak ada yang bicara, namun kesunyian ini terasa nyaman. Dengan angin sepoi-sepoi yang menyapa kulit, semua kekhawatiranku perlahan sirna. Perasaanku menjadi lebih tenang.

Ya, aku masih khawatir bagaimana aku bisa pulang dari sini. Pulang ke tahun 2021. Padahal baru satu hari, tapi aku sudah merindukan semuanya. 

"Ana?" Aku langsung menoleh ke samping.

"Ya?"

"Mau kutunjukkan suatu tempat?" Ernest menaikkan alisnya sambil tersenyum. 

"Tapi kan sudah mau malam?" Benar, aku orangnya penakut. Pada malam hari, harusnya semua sudah berada di dalam rumah, kata ibuku. Terutama untuk perempuan. Bukan rasis gender, tapi mirisnya perempuan memang lebih terancam bahaya saat keluar di malam hari.

Kembali ke Ernest, kulihat dia menghela napas lalu menatapku dengan kesal. "Kau masih saja takut, padahal seorang Letnan Jenderal ada di sampingmu?" 

Ah, benar juga. Ernest kan seorang Letnan Jenderal. Sudah pasti aku aman bersamanya, kan?

Aku nyengir, lalu mengangguk. "Baiklah, aku merasa sangat aman sekarang. Tunjukkan jalannya."

Tatapan kesal Ernest pun memudar. Dia berlagak seperti penjaga istana, lalu menunduk hormat kepadaku.

"Ikuti aku, nona."

Sementara aku terkekeh melihat lagaknya. Lalu kami kembali berdampingan, berjalan menuju tempat yang ingin Ernest tunjukkan.



__

____

________

To: 1920Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang