“Maaf ya Iris, jadi ngerepotin.”
“Iya nggak apa-apa Kak Danu. Kalau gitu Iris duluan ya?”
Danu mengangguk dan membiarkan perempuan berambut pendek itu berlalu dari hadapannya. Sudah yang kesekian kalinya Danu minta tolong pada Iris untuk menjadi kurir rahasianya sejak ia dan Naresya setuju untuk putus.
Namun, Danu masih lah Danu yang selalu mengkhawatirkan Naresya. Maka diam-diam ia sering mengirim makanan untuk perempuan itu melalui Iris tanpa diketahui siapapun. Berkali-kali juga ia menanyakan kabar Naresya lewat Iris.
Danu bahkan ikut lega waktu Iris bilang soal Naresya yang sudah berbaikkan dengan anak-anak Arumdalu, Naresya juga katanya bercerita perihal jati dirinya sebagai seorang komikus. Intinya Naresya sudah sedikit terbuka pada mereka. Danu senang mendengarnya.
Soal Blenda, diam-diam Danu juga sudah menjelaskan padanya soal kejadian beberapa tahun lalu ketika Danu memutuskan untuk mundur dari lomba secara mendadak. Seperti kata Hanum, kali ini ia harus tegas pada Blenda. Maka suatu hari dia mengajak perempuan itu bertemu empat mata.
“Sori ya Blen, gue ganggu waktu lo.”
“Iya gapapa kok, ada apa emang? Tumben ngajak ketemu berdua.”
Blenda membenarkan posisi duduknya dan meletakan tasnya di kursi samping sementara Danu terdiam sesaat sambil menyusun kalimat dalam kepalanya. “Gue mau minta maaf,” kata Danu membuat Blenda menatapnya bingung.
“Minta maaf buat?”
“Karena gue tiba-tiba ngundurin diri dari lomba.”
“Apa nih kok tiba-tiba bahas masa lalu?” Blenda berusaha bersikap sesantai mungkin, tapi tidak dengan Danu. Raut wajahnya sarat akan keseriusan.
“Gue bener-bener minta maaf udah bikan lo sama tim kecewa, tapi waktu itu gue gak punya pilihan lain.”
“Sekarang gue udah boleh nanya apa alesannya?”
Danu mengangguk. Toh, dia memang berniat untuk menjelaskannya. “Waktu itu, ibunya Nares meninggal. Gue ikut nganter dia balik ke rumah.” Seiring dengan penggalan kalimat itu selesai Danu ucapkan, kedua mata Blenda melotot kaget.
“Nyokapnya Nares?”
Danu mengangguk lagi sedangkan Blenda langsung terdiam kehilangan kata-kata. Ibunya Naresya meninggal! Kalimat itu terngiang di kepalanya.
Lama Blenda memproses informasi yang baru didapatnya lalu mendadak merasa bersalah setelah mengingat kelakuan-kelakuannya di masa lalu sebab ia ingat setelah kejadian lomba tersebut dia langsung memusuhi Naresya, mengatakan kalimat-kalimat buruk padanya dan memutuskan pertemanan mereka begitu saja padahal saat itu Naresya masih dalam keadaan berduka dan mungkin masih belum menerima kematian ibunya, tapi dia malah seenaknya menghakimi Naresya.
Blenda membisu cukup lama seolah sedang merenungi semua kesalahannya. Bukan tanpa sebab ia langsung bersimpati pada Naresya dan merasa teramat bersalah, karena dulu sewaktu dia masih duduk di bangku SMA, dia pernah berada di posisi yang sama dengan Naresya. Blenda kehilangan ibunya tepat ketika dia sedang mengikuti lomba dan orang-orang menyembunyikan beritanya sampai dia selesai lomba.
Betapa menyesalnya Blenda dulu. Jadi, dia bisa membayangkan bagaimana perasaan Naresya, sesakit apa ditinggal oleh orang yang paling penting dalam hidupnya dan pada akhirnya dia bisa mengerti kenapa Danu mengambil keputusan itu. Ternyata selama ini hanya kesalah pahamannya saja.
“Kenapa lo baru cerita sekarang Dan?” tanya Blenda mendadak murung.
“Sori, sebenernya Nares emang sengaja gak mau ngasih tau siapa-siapa, ini gue ngasih tau lo pun tanpa sepengetahuan dia. Gue cuma mau meluruskan kesalah pahaman aja, biar lo gak selalu mikir buruk soal Nares.” Pandangan Danu melembut. Ia bisa melihat raut menyesal terpampang jelas di wajah Blenda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playlist: End to Start [END]
ЧиклитKatanya aku perempuan secantik matahari terbit, nyatanya aku tidak seperti itu. Alih-alih matahari, mungkin aku lebih mirip seperti bulan. Batuan gelap yang tidak dapat menghasilkan cahayanya sendiri. [Special Collaboration] Written on : 01 Jan-30 S...