Benarkah suatu saat aku bisa membuktikan diri bahwa aku memang pantas untuk Danu?
___
Selasa pagi aku kembali menginjakkan kaki di kampus. Berjalan pelan menuju ruang dosen dan melakukan sesi bimbingan bersama Bu Ema dengan sangat amat serius. Banyak masukan yang ia berikan terkait progres proposal skripsiku, tapi sejauh ini masih lancar-lancar saja.
Katanya, dua atau tiga kali bimbingan lagi aku sudah bisa mendaftarkan diri untuk seminar proposal—tergantung dari hasil revisiku—dan aku patut berterima kasih pada Danu, karena dia punya andil cukup besar dalam pengerjaan proposalku ini.
Begitu bimbingan selesai, aku pamit pada Bu Ema, hendak memesan ojek online saat Danu tau-tau mengirim pesan. Katanya dia sedang ada di kampusku dan menyuruhku untuk pulang bersamanya.
Senyumku langsung terbit. Dengan langkah ringan, aku segera beranjak dari depan ruang dosen. Niatku aku ingin mengajak Danu untuk sarapan bersama, tapi langkahku langsung terhenti ketika melihat sekumpulan orang yang mengelilingi Danu.
Beberapa meter di depanku, Danu sibuk mengobrol dengan orang-orang itu—yang kalau tidak salah, mantan teman-teman organisasinya dulu—jelas saja aku enggan untuk menghampiri, tapi suara seorang perempuan yang memanggil namaku membuat mereka semua menoleh serempak.
“Hai Nares!”
Shit! kenapa di lagi?
Refleks, aku mengumpat dalam hati tanpa berniat membalas sapaan Blenda yang kini melambai sok akrab ke arahku.
Tampaknya Danu agak terkejut. Namun, buru-buru ia mengatur kembali raut wajahnya dan dengan santai pamit pada mereka lalu berjalan menghampiriku, aku tahu kalau Danu pasti menyadari ketidaknyamananku bersama teman-temannya setelah tragedi ulang tahun Hanum beberapa tahun lalu.
“Habis bimbingan Na?” Aku mendelik ke arah Blenda yang tampak sengaja mengajukan pertanyaan yang sudah jelas merujuk pada satu kesimpulan bahwa aku belum juga lulus.
“Loh, Nares belum lulus?” Salah satu dari mereka menanggapi. Ini pasti yang diharapkan oleh Blenda.
Dasar muka dua!
“Barbar bet pertanyaan lo cuk.” Yang lainnya ikut menanggapi. “Semangat ya Nares, gue juga baru wisuda semester kemarin kok.”
Tanpa berniat meladeni, aku berjalan lebih dulu. Disusul Danu setelah pamit untuk yang kedua kalinya. “Gue duluan!”
“Jangan lupa Dan, minggu depan lo wajib dateng!”
Danu hanya melambaikan sebelah tangannya, sementara tangan satunya merangkulku. Dia membawaku pergi dari sana secepat mungkin.
“Kamu ngapain ke sini?” tanyaku ketika sudah sampai di parkiran. Tadinya kupikir Danu sengaja datang untuk menjemput, nyatanya dia malah bertemu teman-temannya.
“Tadi ada urusan bentar terus ya sekalian jemput kamu juga.”
“Urusan sama temen-temen kamu yang tadi?”
Danu mengangguk. Sepertinya ia tidak mau repot-repot berbohong padaku. “BEM mau ngadain acara sarasehan gitu sama beberapa alumni sebelum rapat kerja bulan depan. Terus ya aku diundang, tapi karena sebelumnya aku nggak bisa bantu banyak makanya hari ini aku nyempetin ngecek persiapannya.”
“Minggu depan kamu mau dateng?” tanyaku sedikit ragu dengan jawaban apa yang sebenarnya aku harapkan.
“Nggak apa-apa kan?” Netranya bertemu dengan milikku, kalau sudah begini memangnya aku bisa menolak? Lagipula aku tidak mau dicap sebagai cewek posesif lagi—walau sebenarnya aku nggak pernah seposesif itu pada Danu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playlist: End to Start [END]
ChickLitKatanya aku perempuan secantik matahari terbit, nyatanya aku tidak seperti itu. Alih-alih matahari, mungkin aku lebih mirip seperti bulan. Batuan gelap yang tidak dapat menghasilkan cahayanya sendiri. [Special Collaboration] Written on : 01 Jan-30 S...