Bab 25 - Bimbang

96 21 75
                                    

Safa tak mengejar Amna yang beranjak keluar cafe. Ia menatap pilu sahabatnya dari dari belakang. Lalu, tatapannya tertuju pada lelaki yang berdiri dari duduknya, yang berancang-ancang mengejar Amna namun tak ia lakukan. Tergambar jelas sebuah penyesalan dalam mata lelaki itu yang terus memandangi Amna hingga bayangnya tak terlihat lagi.

" Dia butuh waktu. " Ucap Safa pada Daniyal.

" Sembuh dari luka batin nggak semudan itu. Jadi, maklumi dia ya. Berikan dia waktu untuk berpikir bagaimana cara memaafkan kalian. " Sambungnya lagi. Lalu ia beranjak dari kursi panjang itu dan menyusul Amna.

***
" Na... " Sapa Safa yang menghampiri Amna sedang duduk termenung di kursi taman cafe itu.

" Udah mendingan kok, Fa. " Sahut Amna tak ingin membuat Safa khawatir. Safa tersenyum mendengar itu.

Gadis itu beranjak dari tempat duduk taman itu sembari menenteng sling bag miliknya yang ia letakn di kursi itu.

" Aku pulang dulu, ya. " Pamit Amna pada Safa.

" Nggak mau masuk lagi? " Ajak Safa.

" Nggak, Fa. Aku mau pulang aja. " Ucap Amna.

Amna beranjak keluar menuju gerbang cafe itu. Ia hampir saja menabrak seorang wanita yang sudah berdiri di belakangnya entah berapa lama. Ia tertegun juga terpaku melihat gadis berhijab dengan corak bunga itu, dengan berbaluti gamis panjang semata kaki.

Gadis dihadapannya tersenyum padanya. Ia bingung, haruskah ia membalas senyum yang diukir gadis itu atau tidak. Ia takut jika itu adalah senyuman palsu yang ia ukir, seperti yang selama ini ia lakukan ketika menatap Amna.

Gadis itu menggenggam tangan Amna. Ia mengelus permukaan tangan Amna. Sesekali ia menatap Amna dengan tatapan pilu. Namun, Amna hanya terpaku tanpa berekspresi sedikitpun. Ia kemudian melepaskan tangannya dari gadis itu lalu beranjak pergi.

" Aku ingin bersilaturrahmi. Terutama sama kamu juga. " Ujar gadis itu membuat langkah Amna terhenti. Namun ia tak membalikan badannya.

" Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan ke kamu. Boleh nggak aku bicara sama kamu baik-baik? "

Ia tak menjawab pertanyaan itu. Ia kembali berjalan tanpa membalikan badannya sedikit pun.

Dalam hatinya ia bimbang. Bukan ia tak mau memaafkan. Hanya saja hatinya tak tahu harus bersikap bagiamana. Paslanya, jauh di lubuk hatinya telah hancur berkeping-keping. Telah tergores luka yang sudah sangat menganga.

Luka itu belum sembuh seutuhnya. Melihat kedua orang yang menyebabkan sayatan luka di hatinya itu, membuat hatinya kembali terasa perih. Segala memori yang tersimpan di alam bawah sadarnya kembali terputar jelas dalam benaknya.

Ia tak tahu apa pilihan yang tepat. Haruskah ia menunggu luka di dalam jiwa dan hatinya sembuh total lalu memaafkan mereka? Saat ini, ia sangat tak ingin berpapasan lebih lama dengan mereka. Jika bisa, untuk selamanya ia berharap tak akan bertemu mereka lagi.

***
Amna membuka jendela kamarnya. Melihat langit di luar sana yang masih menggelap. Beberapa menit lagi, mentari akan kembali dari lelapnya. Ia duduk di depan jendela kamarnya dengan masih menggunakan mukenah. Menunggu sang mentari menemani dirinya melawan hati yang tengah bimbang saat ini.

Bagaimana cara memaafkan? Bagaimana cara mengihklaskan? Serta bagaimana cara melupakan? Jika itu tentang Daniyal dan Fiza, hatinya benar-benar berat melakukannya. Bukan ia tak mau, hanya saja ia belum mampu.

Sebuah notifikasi masuk di ponsel yang ia genggam. Sebuah nomor asing tengah memberi salam dalam pesan itu. Amna segera membacanya. Melihat nama yang tertera pada akhir pesan itu membuat ia semakin malas menggubris.

Luka yang Kau Beri (LYKB)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang