2. Thropy

350 44 8
                                    

Malam mulai menghiasi langit kota Seoul beberapa menit yang lalu. Info ramalan cuaca yang ada di ponsel mahal Lisa memperkirakan tidak akan hujan. Terbukti dengan bintang dan bulan yang berwarna keperakan menggantung di langit.

Lisa melihatnya lewat jendela mobil yang kini dikendarai Jisoo. Mata cokelat milik gadis berambut poni itu seolah tengah mencari sesuatu di atas langit.

“Unnie cepatlah, bagaimana jika Eomma sudah pulang di rumah?” Dari restoran sampai dalam perjalanan menuju pulang, Rosé tak henti-hentinya merasa resah sembari terus melihat jam tangannya dengan waktu menunjukkan pukul setengah tujuh malam.

Seharusnya mereka sampai di rumah beberapa menit yang lalu, tetapi mobil Jisoo yang mereka tumpangi malah terjebak macet. Mengakibatkan perjalanan pulang menuju rumah terhambat. Mobil mereka terjebak di tengah jalan raya bersama dengan kendaraan lainnya.

“Tenanglah, aku yakin Eomma pasti sama terjebak macet saat pulang seperti kita,” ujar Jisoo mencoba menenangkan adik keduanya.

Mata Jisoo menatap gadis berambut blonde itu melalui spion. Rosé masih tampak resah sampai sekarang. Tidak seperti Lisa dengan wajah tenang menatap langit malam kota Seoul melalui jendela mobil. Ataupun Jennie yang tampak santai memakan burger yang belum ia sentuh saat di restoran.

Dalam keadaan yang seperti ini, Jennie dan Lisa malah bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa, pikir Jisoo. Kemudian gadis itu menggelengkan kepalanya. Meski tanpa dia sadari jika Jennie dan Lisa juga sama resahnya meski tak menunjukkan.

Membutuhkan waktu yang agak lama hingga akhirnya mobil Jisoo berhasil terbebas dari macet. Mobil Mini Cooper berwarna hitam gelap milik gadis itu terus melaju tiada henti, melewati jalan pintas yang dia ketahui agar bisa sampai lebih cepat.

Ting!

Setelah perkataan Jisoo tadi, hanya keheningan yang menjadi atmosfer di antara mereka. Hingga suara berdering pendek berbunyi nyaring memecah keheningan yang sempat melanda cukup lama.

Jennie, Rosé, dan Lisa mencoba mengecek ponsel masing-masing jika suara notifikasi itu memang berasal dari salah satu dari mereka. Itu karena mereka berempat memang menggunakan suara nada dering notifikasi yang sama. Namun, ketiga gadis itu mendengus tatkala tak ada apa pun di ponsel mereka.

“Sepertinya itu ponsel milikku.” Jisoo berkata seolah dia tahu jika suara notifikasi itu berasal dari ponselnya.

“Jennie-ya, bisakah kau ambil ponselku?” Jennie mengangguk karena tak mungkin kakaknya bermain ponsel disaat dia tengah menyetir mobil. Gadis berpipi mandu itu meraih tas ransel yang diletakkan di sisi pemilik dan memindahkan ke pangkuannya.

“Unnie, ada pesan baru lagi dari Eomma,” ujar Jennie sedikit heboh setelah membuka ponsel mahal milik Jisoo.

“Apa?” tanya Jisoo penasaran.

“Eomma tidak jadi untuk pulang lebih awal.” Perkataan Jennie membuat mereka spontan menoleh kepada gadis berpipi mandu itu, begitupula dengan Jisoo, mobilnya sempat berhenti disebabkan rambu lalu lintas menyalakan warna merah.

“Eomma bilang ada urusan pekerjaan yang harus diselesaikan,” lanjut Jennie lagi. Setelah itu mereka semua bernapas lega. Mereka lolos dari hukuman yang bisa saja diberikan dari ibunya karena sebuah kesalahan.

***
Jam dinding yang bertengger di kamarnya sudah menunjukkan waktu pukul delapan malam. Waktu yang tepat untuk tidur hingga esok menjelang. Namun, si pemilik kamar malah masih terjaga. Bahkan tidak berniat tidur untuk beberapa jam ke depan.

Lisa meletakkan piala kemenangan yang baru saja dia dapat tadi siang di meja belajarnya. Dia berniat akan menunjukkan piala ini kepada Yeji sebelum dimasukkan ke dalam lemari kaca berisikan kumpulan puluhan piala milik gadis berambut poni itu.

Tangan putih milik Lisa mulai mengusap pelan piala yang berwarna emas dengan ukiran angka satu. Kemudian, dia menjatuhkan bokongnya ke kursi. Mata cokelatnya menatap piala itu dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.

“Apa boleh aku masuk?” Sebuah suara mengalihkan atensi Lisa, dia menoleh ke arah pintu kamarnya. Mendapati Jisoo dengan tubuh berbalut piyama dan berdiri di ambang pintu.

Lisa mengangguk sebagai jawaban, membuat Jisoo langsung memasuki kamar dengan cat warna kuning cerah milik gadis berambut poni itu. Aroma buah-buahan yang menyerbak seolah menyambut kedatangan Jisoo.

Mata Jisoo sedikit memicing setelah baru menyadari jika Lisa malah terduduk di meja belajar. Bahkan baju seragam sekolah masih membalut tubuh gadis berambut poni itu. “Kau tidak ingin tidur?”

“Sebentar lagi, Unnie. Ada sesuatu yang harus aku lakukan.” Melihat kakak dari Jennie dan Rosé itu melihatnya dari ujung rambut hingga ujung kaki, Lisa langsung melihat dirinya sendiri. Dia baru menyadari jika dia belum mengganti baju. Berbeda dengan Jisoo yang sudah memakai piyama berwarna ungu pastel.

“Ah, aku lupa belum mengganti baju.” Lisa menepuk jidat, pantas saja Jisoo menatapnya seperti itu. Gadis itu segera beranjak, “Tunggu sebentar, Unnie. Aku akan segera kembali,” ujarnya, setelah itu dia berlari terbirit-birit menuju ruang ganti yang ada di kamarnya.

Jisoo hanya mengangguk pelan tanpa berbicara apa-apa sebagai jawaban. Sembari menunggu, gadis itu memilih untuk duduk di kursi meja belajar yang sempat Lisa duduki.

Matanya menangkap sebuah piala yang terlihat masih baru. Jisoo terdiam, perkataan Jennie terngiang begitu saja di kepalanya.

“Menurutmu, apa Lisa akan kembali menunjukkan piala lagi kepada Eomma?” (ada di chapter 0. Winner)

Gadis itu masih terdiam.

***
Sebenarnya dia hanya berniat untuk mengganti pakaian, tetapi merasa tubuhnya lengket dibasahi keringat, Lisa memilih untuk mandi sejenak dengan air dingin. Tak peduli jika waktu sudah malam sekalipun.

Setelah keluar dari kamar mandi, Lisa merasakan tubuhnya merasa lebih segar dari sebelumnya. Gadis itu bertaruh jika dia akan tertidur nyenyak pada malam ini.

Dia tak merasa dingin sama sekali, musim panas membuat suhu pada malam hari jadi agak hangat. Tidak seperti biasanya dikala dingin selalu menyapa tatkala malam datang.

“Unnie?” Dahinya sedikit berkerut tatkala mata hazel miliknya tak mendapati sosok kakaknya. Padahal beberapa menit sebelumnya Jisoo ada di kamar milik gadis berambut poni itu. Kini kakaknya malah menghilang begitu saja tanpa jejak.

“Kau sudah selesai, Lisa-ya?” Lisa bernapas lega tatkala dia menemukan sosok yang sempat dicarinya itu. Jisoo kembali memasuki kamarnya, tetapi dia kembali sembari membawa segelas susu cokelat hangat, rasa favorit Lisa.

Dengan langkah santai, kaki Jisoo yang terlihat cukup jenjang berjalan menuju meja belajar milik gadis berambut poni itu, lalu meletakkan susu cokelat itu di atasnya. “Minumlah sebelum tidur.”

Lisa tersenyum tipis, dia segera duduk di kursi dekat meja belajarnya kemudian langsung meneguk susu itu hingga tandas tanpa sisa. “Gomawo, Unnie.“

Jisoo menganggukkan kepalanya. Matanya terus memperhatikan gadis berambut poni itu yang kini tengah menatap piala. Sesuatu yang sempat Jisoo pikirkan membuat gadis itu kembali berpikir tentang itu lagi.

“Apa kau akan menunjukkan piala itu kepada Eomma?” Kepala Lisa menoleh begitu mendengar pertanyaan Jisoo yang tiba-tiba.

“Tentu saja. Waeyo?” tanya Lisa. Dia menatap Jisoo dengan dahi berkerut dan tatapan penuh tanda tanya.

“Jangan lakukan.” Dahi Lisa semakin berkerut. Kenapa Jisoo melarangnya?

“Apa kau tidak sadar, Lisa-ya?” Kali ini Jisoo bertanya. Kedua tangan gadis itu terlihat mengepal di kedua sisi tubuhnya. Mencoba menahan emosi yang bisa meledak kapan saja.

“Eomma tidak pernah ... menghargaimu,” lanjut gadis itu. Kedua mata Lisa mulai bergetar. []

Ciamis, 29 Oktober 2021

With(out) YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang