Hiyaa~ kita sudah tiba di chapter terakhir PENUNGGU DAPUR PONDOK. Singkat sekali memang cerita ini, haha. Semoga jadi sedikit penghibur untuk kalian yang rindu lanjutan MUNAJAT. Meskipun hanya beberapa yang tahu cerita ini ada di salah satu work-ku atau benar-benar tertarik untuk membacanya. Aya akan sangat bersyukur sekali jika kalian mau meninggalkan vote dan komen sebagai bentuk apresiasi.
Masih nyaman pakai sudut pandang Kang Ahsan. Dia lagi bahagia soalnya mau nikah sama Anya, hehe.
Happy Reading Gaes (!) 😉
______________________
_________________________~Ahsan
KAPAN NIKAH?
Pertanyaan yang seolah jadi momok paling menakutkan bagi kaum lajang. Mau dijawab apa? Kalau pada kenyataannya, pertanyaan tersebut memang tak memerlukan jawaban. Hanya sekedar basa-basi merendahkan status lajang yang tanpa kepastian kapan dilepasnya.
Pertanyaan itu juga yang sering sekali kudengar. Di umurku yang sudah segini dan tradisi masyarakatku yang kepo sekali urusan orang. Sudah mapan dan belum menikah seolah sebuah masalah negara. Namun, itu dulu. Sekarang, di meja makan rumah kami, Abi kembali menanyakan secara serius, bukan untuk basa-basi tapi mengatur tanggal pernikahan.
Ngomong-ngomong, adikku Hasanah sedang mengandung calon keponakanku, dia hamil besar sekarang. Ia ingin melahirkan di Surabaya. Dan kemarin pulang dari rumah milik Seta dan keluarga Gus Ozy yang di Jakarta. Perutnya langsung isi begitu satu bulan menikah setahun lalu. Wah, Seta hebat juga soal membuat gol. Haha, becanda. Muhsin sudah bertunangan beberapa bulan lalu. Dan Abi juga sudah mendatangi rumah Pak Bram untuk melamar Lail. Kemarin, Aku dan Abi juga sudah ke rumah Kak Rolvie. Ehem, melamar Anya. Si kecil Olivia bahagia sekali mendengar kabar aku akan jadi pamannya. Hehe, kalian tentu tidak bisa melupakan pertemuanku dengan Kak Sinta dan Anya yang sangat berkesan.
Kak Rolvie bahkan menawarkanku untuk mengelola bisnisnya yang di Jerman, sekalian Anya bisa pulang ke sana untuk merawat Mama-nya. Mama mereka agak susah dibujuk pulang ke Indonesia lagi sepeninggal suaminya, dia lebih memilih menghabiskan masa tua tinggal di daerah pedesaan Jerman, rumah orang tuanya dulu. Tak bisa lagi di Indonesia dan mengingat kenangan bersama suaminya. Mama Anya dan Kak Rolvie adalah seorang muslimah yang taat, berdarah Jerman-India. Yah, dari sanalah Anya mendapatkan wajah blasteran itu. Cantik.
Sayangnya, aku hanya bisa menolak dengan sopan tawaran Kak Rolvie. Aku lebih suka menikmati uang usahaku sendiri dari nol. Menafkahi Anya nanti dengan hasil keringatku. Lucu saja waktu Kak Rolvie mengatakan, bisnis yang di Jerman itu juga milik Anya. Aku tertawa, kalau Anya ingin sekali tinggal di sana, maka dengan senang hati menurutinya.
"Jadi, kapan kalian menikah?" Abi kembali mempertegas pertanyaan itu. Kami bukan tiga bujang yang hanya bisa meringis saat mendengarnya. Kami sekarang punya jawaban. Muhsin memberikan opsi tanggal pernikahan untuk kami bertiga. Cukup strategis.
Sampai Ihsan menginterupsi penjelasan Muhsin. "Gimana kalau kita nikahnya barengan aja?" Abi dan Umi tertawa mendengarnya. Ingin rasanya kulemparkan sendok makanku padanya. Ngawur usulan itu. Muhsin yang disela menoleh sebal. Ucapannya tadi seperti tidak didengarkan dengan baik oleh Ihsan.
Abi masih tertawa. "Emang kalau bareng, kapan kamu usulnya, Ihsan? Ada-ada aja."
"Bulan puasa aja, Abi. Kan paket hemat dobel. Kita nikah bareng, nyewa penghulu bareng, dekor bareng, jadi satu aja gitu. Terus nggak perlu mikirin jamuan buat tamu. Haha!" Umi sudah melempar serbet di meja ke arahnya. Ihsan menangkis. Kami tertawa bersama di meja makan.
Hasanah datang sambil memegangi perutnya, dipapah Seta dari kamar. "Seru banget. Lagi ngomongin apasih, Bi?" tanya Hasanah yang sekarang ikut duduk di meja makan dengan susah payah.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐧𝐠𝐠𝐮 𝐃𝐚𝐩𝐮𝐫 𝐏𝐨𝐧𝐝𝐨𝐤 ✔
Short Story𝐁𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐂𝐞𝐫𝐢𝐭𝐚 𝐇𝐨𝐫𝐨𝐫 ______________________ Hanya kumpulan cerita pendek tentang kehidupan tiga anak bujang kembar kesayangan Abi Hasan dan Umi Fatma. Ahmad Ahsan Al Muzayyin (AHSAN), si orang nyebelin yang banyak tingkah nyeleneh. Ih...