"Meulu tidak mau, ayah..." isak gadis itu di depan ayahnya. Baru saja ia selesai membuatkan segelas kopi panas dan sepiring seupet— kue khas daerahnya yang terbuat dari tepung beras dan santan yang dibakar menggunakan cetakan melingkar, biasa dijadikan cemilan ringan sehari-hari.
Ayahnya mengernyitkan dahi, memperlihatkan wajah tak terima. Diletakkan kembali gelas mungil berisi kopi yang masih mengepul wangi.
"Bagaimana bisa kau tidak mau? Anak perempuan itu tidak boleh melawan orang tua! Ayah dan bunda capek membesarkanmu hingga sekarang dan kamu tidak mau mengikuti apa yang ayah bilang?!" Gema suara ayahnya mengisi ruangan tempat mereka biasa bersantai— Seuramo teungoh (serambi tengah), bagian tengah dari rumah adat Aceh yang biasa berisi kamar orang tua atau ruang keluarga.
Pagi ini, ketenangan tak diisi dengan canda tawa seperti biasanya. Meulu— anak perempuan kelima dari keluarga terpandang di Koeta Peutjoet, daerah yang dekat dengan Dalam (keraton) Koetaradja, pusat kesultanan Aceh— menolak usulan ayah tercintanya untuk dijodohkan dengan salah satu anak Uleebalang ternama di Koeta Batee. Meskipun usianya tak terbilang lagi muda di zaman ini, 18 tahun, Meulu masih merasa belum siap untuk menikah dan masih ingin belajar banyak hal dari tanah rencong kelahirannya. Bara di matanya tak pernah luput dari segala hal yang berhubungan dengan Aceh, meskipun saat ini Aceh telah dilanda perang yang tak kunjung usai dari bangsa kulit putih, bangsa Belanda. Sebenarnya, ada pula ketakutan lain yang dimiliki gadis itu, ketakutan yang tidak dipahami kedua orang tuanya.
"Meulu masih belum siap untuk menikah, ayah—"
"Kau pikir ayah dan bunda sudah siap ketika menikah dulu? Kita selalu tidak siap untuk menghadapi kehidupan baru, tapi begitulah hidup! Kau sudah cukup umur, neuk! Anak perempuan tetangga kita semua sudah menikah, tinggal kau saja yang belum!" Tukas ayahnya keras kepala, tapi ia lupa betapa anak perempuannya itu pun sama keras kepala dengannya.
Meulu masih terisak dan menggeleng, "jangan tahun ini, ayah... Kala masih kecil, cuma Meulu yang bisa bantu ayah dan bunda mengurus Kala. Ayah dan bunda sudah terlalu tua untuk mengurus Kala. Kalau Meulu menikah dan pergi dari sini, siapa yang mengantar jemput Kala di dayah? Siapa yang membantu Kala menghafal Qur'an, ayah?" Kali ini ia menjadikan adik laki-laki terkecil di keluarganya sebagai tameng.
Memang ayah dan bundanya sudah cukup tua untuk membesarkan seorang anak kecil lagi, anak lelaki pula. Hanya ada lima anggota keluarga utama di rumah panggung yang besar itu— ayah, bunda, abang Abdullah, dirinya, dan adik Kala. Selain itu, ada empat orang pekerja keluarga ini di luar rumah, terutama di lampoh (kebun), dan blang (sawah) dan dua pembantu yang membantu mengurus rumah tangga. Keenam pekerja itu tidak tinggal di rumah tersebut, melainkan hanya datang setiap harinya dari pagi hingga petang. Meskipun abang pertamanya seorang duda dan belum menikah untuk kedua kalinya, namun ia cukup sibuk menjadi banta, asisten ayahnya yang bertugas sebagai Uleebalang (hulubalang) di wilayah Koeta Peutjoet. Ibunya apalagi, sering merasa lelah dan sakit-sakitan. Ketiga kakak perempuannya telah lebih dulu menikah dan meninggalkan Koeta Peutjoet menuju kampung pihak laki-laki, mengingat mereka semuanya dinikahi anak Uleebalang ternama di penjuru tanah Aceh. Tentu saja keluarga ini menggantungkan segala urusan rumah tangga kepada Meulu, termasuk menjaga anak laki-laki terakhir di keluarga itu, meskipun ada asisten rumah tangga yang membantu.
Ayahnya terdiam sesaat. Jujur, ia membenarkan apa yang diucapkan oleh anak perempuannya itu. Ia dan istrinya sudah cukup tua untuk membesarkan satu anak lagi di rumah ini. Kelahiran Kala memang di luar rencana mereka, sebenarnya. Cut Po Safiah, istrinya, masih terbilang sehat dan masih mengalami menstruasi teratur tujuh tahun lalu, dan mereka lupa bahwa ada kemungkinan kecil benih yang dimasukkan ke dalam rahim perempuan yang dicintainya itu berbuah baik, tumbuh dan berkembang hingga lahir seorang lagi anak laki-laki. Meskipun begitu, kehamilan di usia tua yang dialami Cut Po menjadi penyebab ia semakin lemah dan ringkih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bentala Bunga Meulu [ON HOLD]
Ficción históricaMeulu- seorang gadis Aceh yang tumbuh dengan nilai religius dan keteguhan dalam jiwanya. Sebagai anak hulubalang ternama di Koeta Radja, ia hidup dalam kebencian yang kuat kepada para kompeni, orang-orang kafir yang berusaha merebut tanah rencong te...