10. Permintaan Rumi

4.6K 269 19
                                    

    “Kenapa menangis?” tanya Angkasa bingung. Rumi masih terisak setelah membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut tebal.

    “Bukankah seharusnya saya yang menangis karena hanya bisa melihat tanpa boleh menyentuh?” tanya Angkasa lagi membuat Rumi semakin gemetaran. Pria dewasa itu tertawa pendek, lalu menyentuh kepala Rumi dengan lembut dan pelan. Layaknya seorang ayah yang tengah menenangkan anaknya yang menangis.

    “Maafkan saya jika membuat kamu takut. Saat di rumah nanti, saya akan pindah kamar, jika kamu tidak nyaman satu ranjang dengan saya,” kata Angkasa lagi dengan bijak. Lalu ia pun kembali berbaring dengan meletakkan guling di tengah-tengah. Ia tidak mau memaksakan Rumi yang saat ini pasti sangat malu dan ketakutan padanya. Angkasa memilih memejamkan matanya kembali dengan posisi telungkup, karena ia terpaksa menidurkan sesuatu yang tadi sempat bangun. 

    Sungguh suatu siksaan amat pedih baginya yang merupakan seorang duda yang ditinggal meninggal oleh istri, dan ketika menikah, harus menahan batin entah sampai berapa lama lagi. Jika saja ia menikah dengan Lana, tentu rasanya tidak tersiksa seperti ini. Angkasa bermonolog sebelum benar-benar menutup matanya.

    Angkasa tersentak saat mendengar suara azan subuh menggema dari ponselnya. Ia menoleh ke samping dan mendapati Rumi masih terlelap dengan sangat nyenyak. Selimut tebal masih menutupi seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan bagian kepalanya saja. Satu dua anak rambut Rumi berserakan dirapikan oleh Angsaka tanpa membangungkan istrinya. Pria itu turun perlahan dari tempat tidur dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.

    Selesai mandi dan mengganti pakaian, Angkasa duduk di ujung tempat tidur, lalu menepuk pelan kain selimut yang menutupi tubuh istrinya. “Rumi, bangun, kita salat subuh dulu,” bisik Angkasa dengan lembut. Rumi pun tersentak, lalu menggosok kedua matanya. Ia melihat Angkasa yang sudah rapi dan menunggunya untuk salat berjama’ah.

    “Saya sedang datang bulan, Pa,” kata Rumi. Angkasa menghela napas lega. Jika Rumi saat ini sedang datang, berarti memang saat yang tepat.

    “Baiklah kalau begitu, kamu boleh melanjutkan tidur. Jam tujuh nanti kita turun untuk sarapan. Emak, Daddy, dan beberapa saudara ikut menginap di hotel ini. Mereka ingin kita sarapan bersama sebelum kita terbang berbulan madu,” kata Angkasa lagi membuat Rumi semakin membeku di tempatnya.

    “Apakah kita perlu berbulan madu? Bulan madu hanya untuk pasangan yang saling mencintai, Pa. Bukan untuk pasangan aneh seperti kita,” sahut Rumi dengan suara tertahan. Wanita itu ingin sekali menangis dan berteriak tidak mau pergi berbulan madu dengan pria tua, tetapi tenggorokannya dan rasa sungkannya masih lebih tinggi daripada rasa egoisnya.

    “Jadi, apa menurutmu yang tidak aneh adalah yang seharusnya pergi itu kamu dan Bari, karena kalian saling mencintai?” tanya Angkasa datar.

    “Silakan saja, jika kamu merasa yang kamu lakukan nanti benar,” lanjutnya lagi dengan wajah menegang dan langsung bangun dari duduknya untuk melaksanakan salat. Rumi merasa semakin serba salah dengan kondisi hati yang tidak menentu. Ia memutuskan turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke kamar mandi. 

    Tidak ada pembicaraan apapun di dalam kamar dan selama menunggu pukul tujuh. Angkasa sibuk menelepon urusan kantornya—berdiri di depan dekat jendela, sedangkan Rumi memutuskan menonton film. Angkasa menutup teleponnya, lalu menoleh pada Rumi yang sudah kembali memakai dress semalam dengan rambutnya yang basah. Pemandangan yang sangat sedap dipandang mata, namun Angkasa tetap tidak bisa berbuat banyak pada wanita yang sudah halal baginya.

    “Ayo kita turun sarapan yang lain sudah menunggu,” ajak Angkasa sambil tersenyum dan berjalan lebih dahulu untuk membuka pintu. Rumi mengekor di belakang Angkasa. Keduanya berjalan bersisian layaknya anak dan ayah, bukan seperti pasangan pengantin baru.

    “Eh, ketemu di sini. Papa dan Mama tampaknya sangat segar. Rambut Mama Rumi juga basah. Cepat juga adabtasinya dengan pria lain ya,” sindir Bari yang tiba-tiba muncul dari belakang keduanya, sambil merangkul pundak Papa dan mama sambungnya. Angkasa menghentikan langkahnya, lalu menatap sengit pada Bari.

    “Apa maumu? Semua ini terjadi juga atas permintaan konyolmu. Jadi tolong sekali tetap hormati Papa dan Rumi yang kini sudah menjadi istri Papa. Suka tidak suka, cinta tidak cinta, terima atau tidak terima, kami sudah sah di mata hukum agama dan Papa sedang mengurus berkas untuk status Negara. Itu tandanya apa? Tandanya Papa tidak main-main dengan janji yang Papa sudah ucapkan di depan Tuhan.” Angkasa menarik tangan Rumi untuk ia gandeng masuk ke dalam lift, tetapi Rumi menepis dan malah mendekat pada Bari. “Pa, sebelum negara mengesahkan pernikahan ini, sebaiknya kita bercerai saja. Mas Bari sudah sembuh dan saya …”

Bersambung

Jreng ... jreeng ... pagi-pagi disambut Rumi yang ngeselin. Konflik siap mengudara ... bagaimana sikap Angkasa pada Rumi dan Bari? Cus, langsung baca versi ebooknya di google play store ya.

 bagaimana sikap Angkasa pada Rumi dan Bari? Cus, langsung baca versi ebooknya di google play store ya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DILAMAR ANAKNYA. DINIKAHI AYAHNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang