7. Pesta Pernikahan

4.9K 262 14
                                    

Bari masih belum sadarkan diri. Lelaki itu masih memejamkan mata dengan sangat rapat setelah lewat dua hari masa kritisnya. Angkasa dan Rumi bergantian menjaga Bari, sesekali juga Tiara ikut menemani Rumi di rumah sakit. Acara pernikahan yang akan digelar besok di sebuah ballroom hotel, tentu menyita banyak waktu Angkasa dan juga Rumi, sehingga untuk hari ini mereka tidak bisa menunggui Bari di rumah sakit.

Semua ikut sibuk, termasuk anggota keluarga Angkasa yang terdiri banyak pasukan. Ada yang menjadi pagar ayu, pagar bagus, pengiring pengantin dan lain sebagainya. Rumah Angkasa sudah ramai orang yang masing-masing memiliki tugas, termasuk dirinya yang kini tengah mencoba beskap yang akan ia pakai besok, ditemani Brittania-bungsunya yang cuti kuliah dari Yogya untuk melihat pernikahan sang kakak. Yah, Angkasa tidak menceritakan perihal kejadian yang menimpanya dan Rumi, sebelum putrinya itu sampai di rumah.

"Aku sebenarnya tidak sepenuhnya percaya dengan hal aneh ini, Pa, tapi ... semua sudah terjadi. Sungguh lucu, seperti kisah di novel-novel saja. Masa calon mertua menikahi calon istri anaknya. Hhmm ..." Nia menghela napas berat. Mahasiswi semester empat itu duduk di pinggir ranjang sambil memeluk bantal.

"Yah, inilah yang dinamakan takdir," sahut Angkasa dengan helaan napas yang sama beratnya.

"Apa Papa mengundang Tante Lana? Aku lebih setuju Papa dengan Tante Lana. Lebih dewasa dan juga mapan. Sedangkan Rumi cewek sedikit manja, cocok dengan Mas Bari yang juga sedikit lebay," ujar Nia dengan wajah masam.

"Sayang, Papa pun tidak berharap kejadian seperti ini terjadi, tetapi jika Tuhan sudah berkehendak, maka tidak ada satu manusia pun yang bisa mengelak," terang Angkasa sambil membelai lembut rambut putrinya.

"Baiklah, mau bagaimana lagi? Nia hanya bisa berdoa, jika nanti Mas Bari sadar dari tidurnya, kalian tidak memiliki masalah dengan Rumi. Pa, cinta itu datang karena terbiasa. Hati-hati Papa bisa jatuh cinta pada Rumi di saat Bari sadar dan meminta Rumi dikembalikan padanya. Itu akan menjadi lebih rumit."

"Ya ampun, aku sudah memiliki anak perawan yang sangat dewasa ternyata," seru Angkasa sambil tertawa pendek.

Rumi pun sama, ia tengah mencoba kebaya pengantin pilihan Bari bersama tim rias dan juga Tiara. Matanya tak berhenti mengularkan air bening karena takdir yang tidak sejalan dengan niat dan keinginannya.

"Sudah, kamu jangan nangis terus. Menyesali takdir itu tidak boleh. Jalani saja, siapa tahu Tuhan nanti memberikan solusi yang tanpa bisa kita sangka-sangka," bisik Tiara dengan penuh hangat pada adiknya.

"Mbak jadi mau ke Bali?" tanya Rumi dengan wajah sedihnya.

"Jadi, dong. Kamu sudah menikah dan Mbak sedikit lega. Mbak akan mencari jodoh orang bule saja di sana, he he ..." Tiara dan Rumi tertawa.

"Jauh sekali bos Mbak buka toko roti. Aku jadi harus berpisah dengan Mbak," ujar Rumi dengan wajah memberengut. Tiara kembali tertawa.

"Jangan lupakan siapa suamimu saat ini. Hanya dengan kedipan mata, ia bisa mengirimu kembali untuk melihat Mbak. Nah, kalau Mbak paling bisa balik ke Jakarta setahun sekali atau dua kali saja. Rumah Bapak mau Mbak renov, siapa tahu ada rejekinya dari kerja di Bali."

"Rumi pasti nanti sangat merindukan, Mbak," kata Rumi lagi sambil memeluk tubuh Tiara dengan erat. Keduanya menangis haru karena harus menjalani takdir hidup masing-masing.

Pesta berlangsung dengan meriah. Tamu yang hadir tentu saja kaget dengan kejutan mempelai pengantin pria yang telah digantikan dengan ayah calon pengantin. Suasana menjadi riuh dan mereka saling bertanya-tanya. Namun Angkasa tidak mau ambil pusing, ia tetap menyunggingkan senyum ramah dan ucapan terima kasih pada tamu yang sudah bersedia hadir dalam acaranya.

Sesekali Angkasa melirik Rumi yang tampil sangat cantik dengan balutan kebaya modern berwarna kuning gading, dengan aksen gold yang menempel di sepanjang baju kebaya itu. Ekor kebaya yang memiliki panjang kurang lebih dua meter, sangat cantik dipandang dan terkesan begitu mewah.

Sesi foto pun berlangsung. Rumi dengan gerakan amat canggung berpose menatap suaminya, begitu pun Angkasa yang menatap istrinya. Kedua telapak tangan Rumi berada di dada suaminya, sesuai dengan arahan fotografer. Jangan tanyakan bagaimana detak jantungnya saat ini, yang jelas Rumi merasa sedikit sesak, karena Angkasa terus mengunci tatapan mata mereka berdua. Keduanya tersentak, saat lampu blits kamera menyala. Kini pose diganti dengan pose lain yang tidak kalah manis dan romantis. Walau hampir keseluruhan tamu merasa kaget dan bingung, tetapi mereka tersenyum senang dengan pesta pernikahan megah Angkasa dan juga Rumi.

"Jika kamu capek, bilang saja ya. Biar istirahat di dalam sana," bisik Angkasa pada Rumi.

"Eh, nggak papa, Pa," jawab Rumi dengan wajah malu-malu.

"Selamat atas pernikahan kamu, Bang. Rumi selamat ya. Selamat telah membuatku dan keluargaku malu. Selamat telah berhasil mengambil lelaki yang aku cintai. Maaf, aku hanya bisa memberikan kado ini." Lana yang tiba-tiba datang memberikan ucapan selamat dengan air mata bercucuran, membuka tutup cup kopi yang ia beli di jalan dan ...

Byur!

"Aargh!" pekik Rumi kaget saat wajahnya diguyur air kopi hangat oleh Lana.

Bersambung

Wah ... wah ... Rumi diserang. Bagaimana lanjutan kisah seru mereka? Yuk, langsung ke google play store dan borong ebooknya.

Jangan lupa screenshoot pembelian ebook kalian, lalu kirim ke nomor WA 088223846747, karena ada GIVEAWAY untuk pembaca yang beruntung ya.

DILAMAR ANAKNYA. DINIKAHI AYAHNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang