11. Ciuman Pertama Pengantin Baru

6.5K 295 33
                                    

    “Papa sudah menebak akan hal ini. Hm … baiklah, Papa akan mengalah, tetapi tidak sekarang. Kalau kalian menghormati Papa, tolong jaga marwah Papa di depan semua orang, terutama keluarga. Papa akan mengalah kamu tidak mengganggu Papa dan Rumi saat kami masih berstatus sah sebagai suami istri. Jika kamu masih terus menganggu, maka kalimat talak itu tidak akan pernah keluar dari mulut Papa. Rumi, kamu paham’kan? Ayo sekarang ikut Papa,” ujar Angkasa dengan tegas. Bari bungkam, Rumi pun dengan terpaksa mengangguk dan mengikuti langkah Angkasa. Ia juga pasrah saat Angkasa menggandeng tangannya untuk masuk ke dalam lift. 
    Pintu lift tertutup, Angkasa dan Rumi masih saja diam, tetapi Angkasa tidak melepas genggaman tangannya pada Rumi. Wanita itu sudah panas dingin dengan napas terasa sedikit sesak. Ia sangat takut pada ekspresi wajah Angkasa yang menyimpan amarah. “Apakah saya begitu buruk sebagai seorang lelaki sehingga kamu sepertinya begitu jijik dengan saya?” tanya Angkasa dengan sorot matanya yang tajam. Rumi menunduk takut, kemudian menggeleng. 
    “Tatap saya, Rumi!” kalimat perintah yang diucapkan Angkasa dengan begitu dalam. Rumi memberanikan diri menatap wajah suaminya. Tangan Angkasa menyentuh dagu Rumi, lalu dengan gerakan sangat cepat sudah menempelkan bibirnya pada bibir istrinya. Sebelah tangan Angkasa merangkul pinggang Rumi dengan erat, dan tangan satunya lagi menahan bagian belakang kepala wanita itu agar tidak bisa menghindar darinya.
    Ting 
    Pintu lift terbuka dan Angkasa belum menyudahi ciumannya pada Rumi. Tepat di saat yang sama, kedua orang tuanya, anak bungsunya, serta para keponakan, baru keluar dari pintu lift yang persis berada di depan lift yang ditumpangi Angkasa dan Rumi. Nia yang sedang memaikan ponselnya, tentu saja dengan tak sabar memotret momen manis nan romantis antara Rumi dan juga papanya.
    “Ehm …” Bulan berdeham. Namun percuma, sampai pintu lift tertutup kembali, Angkasa masih terus mencium bibir istrinya. Bulan dan anggota keluarga yang lainnya tertawa terpingkal-pingkal melihat kekonyolan Angkasa yang terlalu lama menduda.
    Setelah keduanya hampir kehabisan napas, Angkasa baru melepaskan pagutannya. Bibir Rumi masih merah akibat perbuatannya. Bahkan Angkasa tidak mempedulikan dadanya yang lumayan sakit saat dipukuli oleh Rumi karena tidak terima. Mata wanita itu berair dan ia kembali menunduk.
    “Papa jahat!” isak Rumi.
    “Kamu dan Bari yang memaksa saya menjadi jahat. Jangan menangis, atau kali ini saya akan benar-benar membawamu ke tempat tidur,” ancam Angkasa dengan suara tegas. Seketika itu juga Rumi berhenti menangis. Angkasa kembali mendekat, lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya. Ia mengelap pipi dan mata Rumi yang basah dengan lembut dan hati-hati.
    “Tiga bulan saja. Bersabarlah, setelah itu aku akan melepas kamu dan Bari untuk berbahagia.” Angkasa mengusap pucuk kepala Rumi. Lift kembali bergerak turun dan berhenti di lantai satu tempat restoran berada.
    Semua anggota keluarga sudah menungu kedatangan Angkasa dan Rumi. Riuh ramai serta suara tepuk tangan menyambut kedatangan pasangan pengantin yang baru saja memasuki pintu restoran. Angkasa dan Rumi yang tidak paham dengan yang terjadi, hanya tersenyum tipis dan langsung duduk di kursi yang sudah disediakan. 
    “Kamu ini, apa semalam tidak cukup? Sampai berciuman di dalam lift, sampai lift tertutup dan naik lagi masih aja berciuman,” sindir Bulan pada putranya. Rumi dan Angkasa saling pandang, lalu Nia menyodorkan foto serta video singkat papanya tengah berciuman di dalam lift.
    “Ha ha ha … ya ampun, kalian ini membuat malu istriku saja,” ujar Angkasa dengan tawa lebarnya. Rumi yang duduk di sebelah Angkasa, tentu saja ikut menonton video dan memperhatikan foto yang ditunjukkan Nia. Wajahnya sudah sangat merah bak kepiting rebus. Rumi sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya, apalagi menoleh pada Bari yang pastinya sudah tahu perihal ini.
    “Yang semalam masih kurang, Mak, Dad, makanya sehabis sarapan mau melanjutkan lagi,” lanjut Angkasa lagi dengan senyum malu-malunya. 
    “Sudah-sudah, ayo makan dengan lahap. Kasihan pengantin baru mau pacaran lagi di kamar, jangan digoda terus,” tegur Bulan pada cucu, anak, serta keponakannya. 
    Mereka pun makan dengan suasana hangat. Masih seperti tadi malam, Angkasa menyuapi Rumi makan nasi goreng ikan teri sesuai kesukaan istrinya, ditambah dengan sosis bakar. Makan dalam satu piring yang sama dan satu sendok yang sama pula. Angkasa sudah bersikap begitu romantis layaknya suami sungguhan yang mencintai istrinya. 
    “Rumi, pasti kamu tidak tahu’kan kalau aslinya Angkasa itu romantis? Itu salah satu contohnya. Angkasa tidak pernah mau makan ikan teri sepanjang hidupnya, tetapi karena ia romantis, ia buang jauh rasa tidak sukanya yang puluhan tahun itu, hanya demi menyenangkan hati istri dan agar dapat makan berdua dengan istri,” ujar Bulan dengan antusias sambil menunjuk piring makan Angkasa dengan dagunya. 
    “Benar, jika ada ikan teri, Papa pasti mual. Kenapa pagi ini tidak?” sambung Nia membenarkan cerita omanya. Rumi tersenyum tipis pada semua keluarga, lalu menoleh pada Angkasa yang tengah tersenyum manis padanya.
    “Kenapa? Kamu terharu? He he … ayo makan lagi, biar kita teruskan yang tadi.” Angkasa kembali menyuapkan nasi goreng teri ke dalam mulut istrinya. 
    Acara sarapan berlangsung satu jam lamanya. Dilengkapi dengan sesi foto-foto keluarga Bulan dan Xander yang sangat heboh. Rumi merasa tidak kesepian berada di tengah-tengah keluarga Bari dan inilah salah satunya kenapa ia bisa nyaman dengan keluarga ini, karena semuanya hangat dan semuanya dapat menerima dirinya dengan baik.
    Pukul sembilan pagi, keduanya kembali masuk ke dalam kamar. Rumi kembali canggung dan merasa sangat malu, sedangkan Angkasa sudah bersikap biasa saja. Rumi yang tidak tahu mau melakukan apa, akhirnya memilih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka, saat ia melihat cermin dan memperhatikan bibirnya yang bengkak karena suaminya, disitulah  Rumi merasa ada aliran darah yang terasa menghangat di seluruh tubuhnya. Rumi dengan cepat menggeleng. Ia tidak bisa menghianati Bari. Bahkan pikirannya pun tidak ia ijinkan untuk berpaling dari lelaki yang sangat ia cintai.
    “Sabar, tiga bulan tidaklah lama. Kamu pasti bisa Rumi,” gumam Rumi menyemangati dirinya sendiri.
    Sementara itu, Angkasa telah berhasil membuka kunci ponsel Rumi. Tidak sulit karena istrinya begitu mencintai anaknya, pasti sandi yang dipasang adalah nama anaknya. Dengan gerak cepat, Angkasa memblokir nomor kontak Bari dan me-reset ponsel Rumi. Ia tidak ingin Bari dan Rumi saling berhubungan di belakangnya. 

    Bep

Bep 

Angkasa membuka pesan dari ibunya. Sebah pesa broadcast yang ditujukan pada seluh anggota keluarga besar, kecuali Bari.

“Jangan ada yang pernah mengatakan pada Bari, kemana Angkasa dan Rumi pergi berbulan madu. Awas kalau sampai ada yang memberi tahu, Oma coret dari daftar penerima warisan.”

    Angkasa tergelak sambil menggelengkan kepala. Jika ada kontes ibu terbaik sedunia, maka ia yakin emaknyalah yang terbaik. Ia saja tidak kepikiran sampai detail seperti ini, tetapi ibunya? Walau sudah sepuh, tetapi masih sangat cerdas. 

    Rumi keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar. Angkasa tersenyum puas melihat hasil cipta karyanya pada bibir sang istri. Saat berpacaran dengan Lana saja ia tidak pernah mencium bibir wanita itu, tapi Rumi, akan sangat rugi bila ia tidak menikmati wanita yang sudah halal baginya.

    “Sini, Sayang … duduk di sini,” panggil Angkasa dengan suara lembut. Rumi menurut walau panggilan itu terasa sangat aneh di telinganya.

    “Ada apa, Pa?” tanya Rumi sambil menunduk.

    “Papa ingin membuat perjanjian denganmu. Selama tiga bulan ke depan, kamu wajib memanggil Papa dengan sebutan Abang, atau sayang. Kedua, kita harus selalu makan dalam satu piring yang sama, baik pagi, siang, ataupun malam. Baik di rumah, di kantor saya, atau sedang berada di restoran.

Kita tidur dalam ranjang dan selimut yang sama dan tidak boleh menolak untuk memberikan ciuman di pagi. Selama tiga bulan jika kamu konsisten melakukannya dengan dengan setulus hati, maka keinginan kamu dan Bari akan saya Papa kabulkan. Ah, satu lagi … kamu tidak boleh menolak jika suatu hari saya ingin mandi bersama kamu.”

    “Apa?” 

Bersambung 

Angkasa udah ngajak Mabar aja gaes, ha ha ha ha ... Mandi Bareng ... ada yang belom mandi di sini?? Apakah mereka jadi Mabar?? Yuks, langsung baca keseruan kisah mereka dalam versi ebook di google play store.

 ada yang belom mandi di sini?? Apakah mereka jadi Mabar?? Yuks, langsung baca keseruan kisah mereka dalam versi ebook di google play store

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
DILAMAR ANAKNYA. DINIKAHI AYAHNYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang