Sehan terdiam di depan gedung fakultas sembari menatap kerumunan mahasiswa lainnya yang tengah asik menonton festival musik. Disana band kebanggaan kampus tengah tampil dengan lagu barunya, tapi entah kenapa Sehan tidak minat mendekat. Dia mulai beranjak, berniat mencari udara segar yang bisa mereset benang kusut pikirannya.
"Mau kemana lu Han?" tanya Cahyo yang baru muncul dengan gitar akustiknya. Ada Dio yang diam berjalan tak jauh darinya. "Gue sama Dio mau tampil nih."
"Mau beli minum bang. Lu tampil bentar lagi?" Sehan jelas bohong.
Cahyo mengangguk. "Paling 15 menitan lagi sih. Parah lu kalo cabut dulu gak nonton kita."
"Gue nitip, Han. Beliin yang dingin-dingin." Dio menyahut.
"Siap bang, lu nitip gak bang Cahyo?"
"Boleh deh. Mumpung lu bayarin."
Sehan terkekeh. "Eh iya bang."
"Dih pea. Lu kating macam apa minta bayarin adek tingkat." Dio sewot. "Jangan Han, nih pake duit ini. Gak ada cerita kita dibayarin adek kelas. Sorry ya, ini masalah prinsip. Cahyo pea."
Cahyo hanya nyengir, Dio selalu bisa membungkam mulutnya. Ibarat kata, mata Dio aja bisa membelah gunung saking tajamnya. Jadi Cahyo cari aman.
"Oke bang Dio, siap."
"Kita tunggu di belakang panggung ya."
"Iya bang."
Niat hati ingin kabur, tapi semesta selalu punya cara kerja sendiri. Sehan hanya tersenyum masam menatap ujung sepatunya. Kini ia masih berada di antrean pemesanan salah satu cofeeshop terkenal seantero raya. Letak cofeeshop memang sedikit jauh dari area kampus, tapi tetap saja sebagian besar pengunjung adalah mahasiswa dari kampus yang sama dengan Sehan.
Setelah memesan Sehan memilih duduk di salah satu meja. Awalnya dia hanya sibuk memandangi layar ponselnya namun pandangannya teralih pada sosok mahasiswi yang tiba-tiba menaruh tas dan barang-barangnya di kursi depan Sehan.
"Kak, kursi kosong ya?"
Sehan kaget sampai lupa caranya berbicara. "I-iya kosong."
"Maaf lancang, soalnya gak ada meja kosong lagi."
"Its oke." Jawab Sehan seadanya. Akward sih, tapi ya bagaimana. Sehan yang lebih dulu duduk di sana.
Bahkan Sehan rasa gadis itu tidak menganggap keberadaan dirinya adalah nyata. Setelah obrolan singkat tadi gadis itu sama sekali tidak menatap wajah Sehan. Gadis itu tampak mengambil satu kotak tipis yang berbalut kantong warna hitam dari dalam tasnya. Wajahnya tampak datar, seperti tanpa emosi. Malah kini gadis itu melenggang ke toilet.
Entah gadis itu ceroboh atau apa, bisa-bisanya meninggalkan laptop dan tasnya di depan sembarang orang tanpa rasa cemas serta saudaranya.
"Pesanan atas nama Sehan." Suara barista itu mengalihkan fokus Sehan.
Sehan bimbang, padahal seharusnya tidak perlu. Gadis itu bukan ranahnya untuk peduli. Ia bisa langsung kembali ke festival tanpa cemas barang gadis itu diambil orang ataupun hilang.
"Oke, gue gak peduli."
Dua puluh menit kemudian.
"Gue jagain barang lo." Kata Sehan setelah gadis itu tiba dan duduk di depannya.
Gadis itu terdiam dengan wajah cengo.
"Gue gak punya maksud apa-apa."
Gadis itu mengangguk, "Gue Javiera, panggilan Je."
Oh God. "Oh... I'm Sehan. Eh iya maksud gue, i've to go, gue pamit balik dulu."
"No need. Just go." Jawab cewek itu datar sembari membuka laptopnya.
Sehan melongo. Untuk pertama kalinya dia menerima perlakuan seperti ini. Sebelumnya banyak gadis yang memuja paras tampannya. Tapi ini? Melihat saja sepertinya ia tak sudi. Sehan pun berdiri dan menenteng kopi miliknya.
"But thanks."
Sehan tersenyum, "You're welcome. Kayaknya gue bakal sering ketemu sama lo nantinya."
Gadis itu menampilkan smirk-nya. "I hope not."
"Who knows."
Gadis itu terkekeh. "Just go." Wajahnya langsung berubah datar seketika.
Sehan tidak tau apa yang terjadi pada dirinya setelahnya, namun yang pasti nama gadis itu terus terlintas di salah satu sudut ingatan miliknya. Gue Javiera, panggilan Je.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUANA
FanfictionOne of the things I'm grateful for is that I found her. Tragedy is not tragedy when I'm with her. I love her, just it and no need reason.