Chapter 3: My early morning for her

81 21 0
                                    

Ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa Sehan tanya kenapa. Misalnya alasan seseorang jatuh cinta. Iya, jika ditanya alasan mengapa Sehan jatuh cinta, maka jawaban yang terlintas bagi Sehan adalah karena dia orangnya. Untuk kasus Sehan sekarang, karena gadis bernama Je itulah orangnya.

Saking Sehan gak mau menyia-nyiakan waktunya, matahari belum terbit saja dia sudah berdiri di depan rumah sang calon masa depan. Karena ini Yogyakarta, pagi-pagi begini tentu masih dingin embun berkabut. Sehan terus menggosok kedua tangannya supaya sedikit merasa hangat.

"Duh Gusti, sopo iki?" suara itu mengagetkan Sehan yang sedari tadi terus fokus memikirkan entah apapun itu. "Cari siapa, Mas?"

"E-eh, maaf Pak sebelumnya, apa bener ini rumah Je-Jeviera?"

Sosok lelaki paruh baya itu nampak mengingat sesuatu, "iya bener, Mas. Ngapunten, kamu siapa ya?"

Sehan tersenyum canggung. Bayangkan, orang gila mana yang bertamu di pagi buta. Emang bener ya, cinta itu bisa bikin orang buta. "Saya temennya dari Jakarta, Pak."

"Oalah, sebentar... ayo sini masuk dulu." 

"Maaf banget ya Pak, Saya kepagian kesininya."

Bapak itu tertawa renyah. "Iya gakpapa. Silakan, duduk dulu ya. Saya panggilin Jevi sebentar."

Sehan cuma bisa tersenyum lagi. "Iya Pak."

Suasana pertama yang Sehan rasakan adalah tenang yang menghanyutkan. Suatu rasa tenang yang penuh cerita, seolah semua benda di dalam ruang tamu kecil itu bercerita tentang sesuatu yang menyedihkan. Warna suasana yang terpikir di otak Sehan untuk menggambarkan rumah ini adalah abu-abu gelap, seperti mendung pekat sebelum hujan lebat.

"Eh, Han, pagi amat lu kesininya." Je muncul dengan tawa renyahnya dan didampingi sosok lelaki paruh baya tadi dari belakang. "Iya, Pakde, ini bener kok orangnya."

"Pas Pakde mau berangkat tadi dia udah di depan, tak kirain siapa. Pas tak tanya katanya temenmu dari Jakarta tah, Nduk." 

"Udah sampe sini dari lama lu, Han?" Tanya Je masih dengan tertawa.

Sehan menggeleng cepat, "enggak kok. Barusan banget sampenya."

"Je, buru buatin wedhang sana." Perintah Pakde sambil membawa asbak dan duduk di depan Sehan. 

"Iya, Pakde." Jawab Je. "Han, lu minum kopi gak? atau mau teh?"

"Apa aja Je, gue bisa minum semua." Jawab Sehan malu-malu.

"Kopi aja ya." SahutJe yang gak mau pusing.

"Iya, gakpapa."

Je langsung menghilang lagi. Kini tinggal Sehan dan Pakde berdua di ruang tamu itu. Suasana mendadak akward. Sehan merasa seperti calon menantu yang mau mengambil anak perempuan si empunya rumah.

Zrash....Zrash...

Pakde menyalakan pemantik rokoknya sembari menghisap rokok di mulutnya. "Ngerokok gak, Mas?" Tawar Pakde sembari menyodorkan sebungkus rokok merk gudang gula di tangannya.

"Kebetulan nggak, Pakde. Makasih." Tolak Sehan sesopan mungkin.

"Kamu aslinya orang mana, Mas?"

"Jakarta, Pakde. Hehe." Sehan menambahkan 'hehe' diakhir kalimat. Sumpah, akward sekali pemirsa. Mungkin sekarang, wajah Sehan tengah memerah, menahan malu. 

"Ketemu Je, dimana tah, Mas? Soalnya Je itu gak pernah bawa temen satu pun ke rumah dari kecil sampe sekarang. Jadi saya kaget ini, gak ada ujan badai kok tiba-tiba ada temennya dateng. Tak kirain dia gak punya temen malahan." Cerita Pakde sambil menghisap rokoknya.

Waduh, Sehan bingung harus bagaimana. Sebisa mungkin ia harus menjawab dengan baik dan benar, supaya dapet restu ini. Mendadak bagi Sehan, soal essay atau pertanyaan dosen kalah telak kalau disandingkan sama Pakde.

"Temen kampus, Pakde. Kebetulan kemarin ketemu di stasiun, terus bareng deh sampai sini." Sehan menjelaskan dengan gerogi. "Kemarin juga gak sengaja ketemu lagi di Pantai XX, Je nyuruh mampir kesini. Tapi sayanya baru sempet hari ini soalnya nanti sore saya balik ke Jakarta lagi, hehe."

Pengen rasanya Sehan tepok jidat sekarang juga. Sehan menghela nafas dalam, hastag pasrah.

"Loh, udah mau balik Jakarta tah?"

"Hehe, iya, Pakde."

Je kembali. Tanpa bisa dikendalikan, senyum Sehan langsung merekah. Kedatangan Je laksana pahlawan yang datang menyelamatkan hidupnya. 

"Yaudah, kalo gitu, Pakde mau ke ladang dulu ya. Je temenmu di temenin." Pakde berdiri dari duduknya.

"Kopinya Pakde gimana?" 

"Wes, minum kamu aja. Tadi kan Pakde juga udah minum kopi. Pakde berangkat." 

Je tersenyum kegirangan seperti anak kecil yang baru saja mendapat hadiah. Hal yang gak pernah Sehan lihat sebelumnya. Lucu deh.

"Gimana perjalanan lo tadi? Lu gak nyasar?" tanya Je yang kini sudah duduk di depan Sehan. 

"Gak dong, gue jagonya rute jalan." Sehan tersenyum. "Gue sore nanti balik Jakarta, Je. Makanya gue belain langsung kesini pagi buta, kalau nunggu nanti, takutnya gue gak ketemu lo di sini."

Je memiringkan kepalanya, tawa renyahnya memenuhi kepala Sehan. "Lo setakut itu gak ketemu gue?"

Skakmat.

Sehan langsung gelagapan. "Ya.. ya karena gue... iya gue itu eee... ngerasa hutang budi sama lo. Iya hutang budi sama lo."

Tawa Je makin pecah. "Lo orang yang unik, Han."

"Setelah kemarin gue strugle sendirian, dan lo yang tiba-tiba dateng, gue rasa gue jadi jauh lebih baik setelahnya, Je. Gue ngerasa gue harus berterima kasih secara langsung sama lo sekarang." Jelas, itu bukan kebohongan. Tapi Sehan tidak pungkiri, itu alibi yang bisa ia sebutkan pada Je.

"Sama-sama, Han. Mulai sekarang, ayo saling bantu ya." Je memandang Sehan dengan wajah serius. "Lo kalo lagi butuh temen, kontak gue aja."

"Yes, i'll do later."

Suasana keduanya pecah. Seakan obrolan mereka nyambung begitu saja. Tentu, Sehan sangat senang sekarang. Kalau bisa memilih tinggal, pasti Sehan akan memilih pulang esok atau lusa supaya bisa berlama-lama di sini. Tapi namanya hidup, ada saja urusannya. Jadi ya, begitu, mau tidak mau Sehan harus tetap pulang ke Jakarta sore ini.

Jika Sehan ringkas dari seluruh kisah pagi hari miliknya, maka pagi ini masuk jajaran top 10 pagi hari yang menjadi favoritnya. 

BUANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang