Chapter 4: She's like a waterfall

79 22 0
                                    

Waktu adalah misteri, suatu hal yang tidak bisa ditebak. Terkadang bisa terasa berjalan sangat lambat, seperti membeku. Dan juga sebaliknya, terkadang waktu bisa berjalan sangat cepat, sampai-sampai sekarang Sehan sudah harus kembali ke Jakarta.

Sehan tadi sudah menyuruh Je untuk langsung kembali ke rumah sakit setibanya menginjakkan kaki di area stasiun, tapi Je memaksa mengantarnya sampai ke tempat check-in. Tentu Sehan menerimanya dengan senang hati. Kesempatan ini tidak akan datang dua atau bahkan tiga kali di masa depan. Setidaknya Sehan jadi bisa sedikit lebih lama bersama dengan Je.

"Lo ke sini beneran lagi liburan kan, Han?"

"Hah?"

"Gue baru kali ini liat orang liburan cuma bawa ransel yang isinya bahkan sampai gak penuh."

"Gue orangnya praktis, no ribet-ribet club."

"Ya ya ya, gue akui. Bahkan kalo lo bilang anaknya konglomerat yang liburan cuma bawa black card pun gue percaya."

Tawa Sehan pecah. Sepanjang iringan langkah kakinya, Je bercerita banyak hal. Sehan jadi tau alasan Je ngotot mencari tiket pulang waktu itu.
"Dokter sekarang hebat-hebat tau, Je. Toh operasinya berjalan lancar, yah meski pemulihannya butuh waktu tapi gue yakin bokap lu bakal cepet membaik."

"Iya. Tapi tetep aja waktu denger kabar kalo Bapak kecelakaan, gue beneran blank gak tau mesti gimana. Ditambah Bude pas telepon bilang kalo Bapak gak sadarkan diri, ya makin panik gue."

Tanpa Je sadari, Sehan tersenyum mendengarkan celotehnya. Menurut Sehan setiap hal yang dilakukan Je sangat lucu dan menggemaskan. "Gue bisa bayangin sepanik apa lu waktu itu."

"Makanya... apalagi ya Han, pas gue sampe rumah sakit Bapak kan udah masuk ruang operasi. Susternya bilang kalo stok darah di RS-nya lagi kosong, gimana gak makin panik guenya. Golongan darah gue sama Bapak kan jelas beda."

"Terus akhirnya dapet?"

"Untungnya dapet, ada saudara jauh yang punya golongan darah sama."

"You did well, Je." Kata Sehan sambil mengusap puncak kepala Je.

"Kalo diinget sekarang, semuanya jadi lucu karena se-chaos itu kemarin. Dan berkat lo, gue bisa pulang tepat waktu. Makasih, Han."

"Lo mulai lagi."

Je nyengir, "sebenernya gue udah berencana mau ngajuin cuti semester depan. Tapi Bude gue bilang gak usah. Bude terus bilang ke gue kalo Bapak biar beliau yang urus."

"Terus pilihan lo apa?"

"Gue setuju. Gue gak bakal ngajuin cuti, gue harus cepet lulus. Harus." Tawa Je terdengar begitu renyah.

Sehan mengangguk. "Then, that's a good choice."

"Am i?"

"Of course, you are."

Je mengangguk sambil tersenyum. Sehan tidak tau pasti apa yang sedang gadis itu pikirkan, namun Sehan merasa dia berada di sisi yang sama untuk terus mendukung Je. Bagi Sehan, Je itu puzzle yang ingin ia pecahkan.

Sehan menghela nafas dalam hingga membuat Je yang berjalan di sebelahnya menoleh sambil mengernyitkan dahinya. Secarik senyuman Je seperti meledek Sehan, "lo kenapa deh, Han?"

"Gak kerasa aja, udah harus balik ke Jakarta. Sumpah, lo gak mau nahan gue sehari lagi biar di sini?" tanya Sehan sambil tertawa.

Je langsung memukul bahu Sehan keras, "jangan ngadi-ngadi deh."

"Sakit, Je. Lo cewek, tapi tenaga lo preman juga yaa." Ledek Sehan.

"Boong banget sakit. Alesan lu." Je terkekeh, "mau ngapain juga lo di sini lama-lama. Inget, sesuatu yang berlebihan itu gak baik. Jadi, healing secukupnya aja. Oke?"

"Iya deh, iya." Jawab Sehan pasrah.

Kebetulan di sekitar tempat check-in belum terlalu ramai, dan Sehan pun sengaja 15 menit datang lebih awal. Kini mereka berdua telah sampai di depan tempat check in. Keduanya berhenti dan saling berhadapan.

"Nanti, kalo ada apa-apa kabarin ya." Je menepuk bahu Sehan dua kali, hal tersebut sontak membuat efek dentuman keras di jantung Sehan. "Kayaknya gue juga bakal balik ke Jakarta Sabtu depan."

"Tiga hari lagi dong. Nanti kalo lo nyampe Jakarta info ke gue ya."

"Ngapain?"

"Biar gue jemput? Gimana?"

Je tertawa renyah. "Idih, kayak apaan aja pake dijemput segala. Nanti kita ketemuan aja kalo ada waktu senggang. Santai aja sama gue mah."

Sehan yang tadinya tersenyum kini langsung memudar. Dia merasa Je masih membuat batasan jarak antara dirinya yang tentu saja membuat hatinya sedikit sedih.
"Beneran ya, awas lu lupa. Pokoknya gue bakal tagih janji lu barusan pas lu sampe Jakarta."

"Lu bisa pegang omongan gue." Je menepuk dadanya dengan penuh percaya diri.

Tingkah Je yang seperti inilah yang memikat Sehan untuk kesekian kalinya. Ia sosok yang apa adanya. Gadis itu laksana air terjun yang jatuhnya tidak menentu tak tertebak, namun menghilangkan rasa dahaga dikala kehausan dan seperti menyegarkan untuk seseorang yang tersesat di hutan terlarang.

"Gue pegang omongan lu ya."

Je mengangguk yakin. "Hati-hati."

Akhirnya Sehan pun benar-benar kembali ke Jakarta. Sesuatu hal yang membuat senyum Sehan terus merekah ialah saat dia berbalik badan tadi ada Je yang melambaikan tangannya tinggi pada dirinya. Sesuatu yang sederhana, tapi Sehan benar-benar suka.

***

Kini Sehan sudah duduk di kursinya, kereta juga sudah berjalan beberapa menit yang lalu. Pandangannya menatap kosong ke luar jendela. Pikirannya kini melayang-layang mencari landasan untuk mendarat ke tempat yang tepat. Berbagai tanya kembali muncul meminta paksa jawaban secepatnya. Seketika rasa pusing menghantam keras ubun-ubun Sehan.

Drtt... Drtt... Drtt...

Ada panggilan masuk atas nama Ayah di ponsel pintar miliknya. Sontak jantung Sehan serasa berhenti untuk beberapa detik sebelum kembali ke ritme biasanya. Ada rasa ragu sebentar, sebelum akhirnya ia menerima panggilan tersebut.

"Hallo, Yah."

"Hallo, Sehan. Gimana kabarnya?" Sahut suara di seberang.

"Baik. Ada masalah apa, Yah?" Sehan tau, sesuatu hal pasti sedang terjadi. Hal ini bukanlah yang pertama kali. Sehan hafal betul keadaan seperti ini.

"Itu, Ayah butuh uang seratus juta buat bayar tagihan pinjaman ke bank. Kamu ada uang kan? Ayah pinjem dulu ya, tenggat pembayarannya paling lama tanggal 15 besok."

Dan selalu seperti ini.

Sehan terdiam sembari berpikir dan membandingkan tabungan dan anggaran kebutuhannya. "Seratus juta gak ada, Yah. Sehan gak ada uang segitu."

"Masa gak ada sih, gak mungkin kan." Suara di seberang sana terdengar tidak begitu percaya.

"Beneran gak ada. Kalo lima puluh juta Sehan ada, gimana?"

"Yaudah lima puluh juta gakpapa, langsung kirim ya."

Sehan terdiam, tidak tau harus bereaksi bagaimana.

"Secepetnya loh, yaudah Ayah tutup." Panggilan berakhir.

Sehan menatap layar ponselnya datar cukup lama sebelum benar-benar membuka aplikasi mobile banking dan melakukan transaksi ke Ayahnya. Semakin cepat semakin baik, sehingga tidak menjadi beban lagi. Jadi, bagi Sehan kehilangan beberapa jumlah nominal uang adalah masalah yang cukup bisa dia atasi.

Sejenak, Sehan merasa ingin menghilang tanpa jejak.

Perasaan yang ingin Sehan kubur dalam-dalam itu kembali ke permukaan. Nafasnya mulai memendek, rasanya seperti ia selalu lupa untuk bernafas. Alhasil, rasa gelisah mulai menjalari tubuh dan pikirannya. Ini benar-benar menyesakkan.

BUANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang