𝟬𝟳| 𝗘𝗻𝗱𝗲𝗱 𝘂𝗽 𝗱𝗲𝗳𝗲𝗮𝘁𝗲𝗱

336 45 6
                                    

Aku keluar dari sihir pelindung ku dan menjumpai Luck yang sedang menatap ku seakan aku adalah mangsa bagi dirinya.

Tidak ada pilihan lain selain mengurus rekan ku dulu. Luck akan sangat menyusahkan, apalagi dengan sihir petirnya yang membuat dia bergerak lebih cepat.

"Kau keluar juga." Luck memiliki senyum ala psikopat di sana. Sial senyumnya membuat ku takut setengah mati. Bulu kuduk ku saja sampai berdiri.

"Tidak ada pilihan selain mengurus mu dulu. Luck-kun." Aku menunjuknya dengan Katana ku. Luck maju terlebih dulu ke arah ku.

Gerakannya yang cepat membuat ku tidak bisa mengimbangi kecepatannya. Dia punya sihir petir dan aku sihir darah, jelas perbedaan kecepatan menang Luck.

"Apa kekuatan mu melemah? Atau aku yang bertambah kuat?" Luck muncul di belakang ku dan siap untuk menyerang ku.

Aku segera melompat mundur membuat serangan Luck hanya menggores pipi ku. Darah keluar dari sana. "Sial ini sakit!"

Luck memiringkan kepalanya dengan main-main. "Apa itu sakit? Menurut ku sakit itu tidak seberapa ..." Luck melesat kembali dengan cepat kearah ku. Aku membuat sihir pelindung dengan segara. " ... dengan yang ku alami."

"Hei Luck! Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Aku bertanya padanya dari balik sihir pelindung ku. Luck menatap ku bingung.

"Apa otak mu tergeser karena aku menendangmu?" Luck malah balik tanya.

Aku menatap mata nya yang memancarkan kegelapan di sana. "Dari cara bicara mu. Kita seakan pernah bertemu dan malah bermusuhan." Aku menyipitkan mataku padanya. "Seumur hidup ku, aku tidak pernah bertemu dengan kau. LUCK!"

Seakan di sambar petir Luck mundur selangkah dan memegangi kepalanya. "Jangan bercanda ... jelas-jelas aku mengingat kau yang mengalahkan ku di ujian Sihir tahun lalu!"

Luck mirip dengan orang kebingungan sekarang. Aku sendiri tidak tahu apa itu ujian sihir. "Aku tidak pernah mengikuti ujian. Aku hanya tinggal di sebuah desa bernama desa Hage dan tinggal di gereja. Sekali pun aku belum pernah keluar desa. Ya sekarang ini sih aku keluar."

Aku melirik ke arah Pria itu yang menatap ku tidak suka. Semua sihir pasti punya sebuah kelemahan, dan aku harus mencarinya.

Aku membatalkan sihir ku dan memandang Luck yang seperti orang kebingungan dengan apa yang terjadi. Apa yang harus ku lakukan.

Aku pun menyeringai. Membalas apa yang telah dia perbuat, itu bagus juga. Aku menendang Luck hingga terpukul mundur. Luck yang masih pokus akan pikirannya pun tidak menyadari gerak gerik ku.

Aku membuka grimoire ku dan membacakan mantar di sana. "Sihir Darah : Shi no chidamari." Genangan darah yang amat pekat muncul di kaki Luck. Luck yang hendak melompat mundur, terjebak dengan sebuah tali dari darah yang mengikatnya.

Aku memberi senyum dengan mata tertutup. Lalu aku menaruh jari telunjuk ku di depan bibir ku. "Jangan berisik oke."

Aku melangkah ke beberapa orang itu. Pria itu berdiri dari tempat dia duduk.

"Hizen-sama!"

"Oh nama mu Hizen. Tidak buruk juga." Aku memberi senyum hambar padanya.

"Dan kau punya grimoire ... grimoire tanpa semanggi?" Aku melirik kearah grimoire ku. Memang benar grimoire yang aku meliki berbeda dari yang lain. Punya ku hanya tidak ada lambang semangginya, tapi ada sebuah lambang sayap di sana.

"Yahh, aku memiliki grimoire yang aneh tapi juga kuat." Aku membalas ucapan Hizen. Hizen hanya menatap ku lalu ke Luck dan ke sebuah pelindung sihir yang ku ciptakan.

"Rencana ku hancur berantakan ... Nona di depan kita sangat kuat ..." aku memandang malas Hizen. "Kita mundur ..."

"Hizen-sama!"

"Lagipula bocah itu tidak tahu apa tujuan kita ke sini ... kita bisa kembali lagi ke sini."

Aku menyeringai mendengarnya. Lalu aku mengambil sesuatu dari saku ku. "Aku tahu ... kalian mencari ini kan?" Aku mengeluarkan sebuah batu yang di sebut batu sihir.

Hizen dan para anetek-anteknya yang melihatnya pun terkejut dengan batu yang ku pegang. Aku melambai-lambaikan batu di tangan ku dengan main-main. "Apa benar ini yang kau cari ... kalau bukan aku akan membuangnya ke sebuah gunung berapi ... El!"

Aku memanggil Spirit kecil ku dan dia muncul di sampingku dengan suara letupan kecil. "Aku akan menyuruh dia untuk membawa batu ini sejauh-sajuhnya."

"Hizen-sama. Apa yang harus kita lakukan, batu itu sangat penting bagi Beliau."

Beliau. Siapa itu kira-kira. "Hei Nak! Batu itu terlalu berbahaya jadi serahkan pada kami." Hizen mengulurkan tangannya untuk memaksaku menyerahkan batu ini.

"Kalau aku tidak mau?"

"Kami akan menghancurkan desa ini."

"Bohong ... bukannya itu hanya sebuah geretakan kecil untuk menakut-nakuti anak kecil. "Aku tersenyum main-main. "Jika itu pun benar. Aku akan menghancurkan batu ini. Kira-kira bagaimana rekasi orang yang di bilang Beliau itu ya?"

Wajah Hizen menggerut kesal bahkan urat-uratnya bisa terlihat jelas dari sini. Aku memandang dengan seringai lalu aku melirik El dan dia mengangguk.

"Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?" Terlihat jelas di wajah Hizen, dia memandang ku bingung. "Netralkan sihir mu pada teman ku, lalu aku memberikan kan batu ini padamu."

Aku melirik kearah Luck yang hanya menatap kami dengan mata melotot. "Bukannya itu hanya sebuah kebohongan."

"Ya intinya salah satu dari kita tidak ada yang percaya ya?" Aku melempar-lempar batu itu dengan tangan ku. Lalu aku memberinya pada El. "Aku tidak pernah bercanda."

"Tunggu!" Setelah El menerimanya dan hendak terbang jauh. Hizen menghentikannya. "Baiklah akan kuterima." Hizen menjentikan jarinya dan Luck pun pingsan di tanah. "Aku sudah melakukan yang kau mau ... jadi sini berikan!"

Aku menaruhnya dengan lengan ku. Dan memberi sebuah salam ke arah Hizen. "Ambillah!"

"Kau!!"

"Kau mau tidak?" Dengan kehati-hatian dan rasa kesal di hatinya Hizen berjalan ke arah ku. Dia mengulurkan tangannya untuk mengambil batu itu.

Tapi aku mengambil tangannya duluan. Dan membuat kami terlihat sepeti bersalaman dengan batu di tangan kita berdua. "Sebelum itu jawab pertanyanan ku. Jawab dalam waktu 3 detik. Apa kau pernah membunuh orang?"

"Pertanyaan macam apa itu? Dan lepaskan tangan m-" tubuh Hizen meledak. Darah terciprat ke arah ku. "Sudah ku bilang kan untuk menjawabnya."

"Spirit Magic: Curse Words ." Aku menyeringai dan menatap mereka berdua. Batu yang ku pegang tadi jatuh ke tanah.

"Hi-Hizen-sama."

Aku menarik Katana ku dan melesat ke arah mereka. Yang satu menyerangku tapi yang satunya kabur dengan mengorbankan temannya sebagai tumbal.

"Sial!" Aku menusuk tepat di jantungnya. Lalu cahaya terang muncul membuat mata ku sakit. Tubuh Pria itu muncul sebuah Es yang lancip dan dia pun mati. "Dia bunuh diri. Sebelum mati ... satu kabur."

"Kayakannya bukan hanya satu yang kabur deh."

"Apa maksudmu?"

"Yang di pintu gerbang bagaimana?"

Aku merasakan kalau Sihir yang mengikat mereka lenyap. Aku dan El membuat raut wajah datar bersama. "Mereka kabur juga."

Dengan begini semuanya berakhir musuh berhasil di kalah kan oleh aku seorang.

Note :

Aduh  maaf banget jarang up karena author lagi sibuk sama cerita yang satunya. Yang HxH. Kalau mau baca silakan.

Minna-san sampai jumpa

𝓣𝓱𝓮 𝓐𝓷𝓰𝓮𝓵 𝓢𝓹𝓲𝓻𝓲𝓽Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang