13

6 0 0
                                    

Selesai sidang Kepala Sekolah keluar dari ruang guru diikuti oleh para wakil. Selanjutnya Kepala Sekolah masuk ke ruangannya sendiri. Para Wakil kembali ke mejanya masing-masing bersebelahan dengan ruang guru. Bu Michelia lari kecil menyusul ke ruang Kepala Sekolah. Setelah dipersilahkan masuk, bu Michelia menyatakan protes atas kesimpullan yang diambil Kepala Sekolah. Mereka pun berdebat mempertahankan pendapat masing-masing. Namun akhirnya Kepala Sekolah menyerah setelah bu Michelia memberikan catatan bukti-bukti kenakalan Eugenia. Bu Michelia menginginkan Eugenia dikeluarkan dari sekolah, meskipun dia sudah duduk di kelas XII dan akan mengikuti ujian kelulusan.

"Saya ingin Eugenia dikeluarkan dari sekolah saat ini juga !" kata bu Michelia penuh kemarahan.

Kepala Sekolah mencoba menenangkan hatinya. Segera dipanggilnya Kepala Tata Usaha dan diminta untuk membuatkan Surat Keputusan Pemberhentian dari Sekolah kepada Eugenia kelas XII IPA-3. Selesai surat dibuat dan diberi nomor, Kepala Sekolah menanda tangani surat tersebut dan memberikannya kepada Kepala Tata Usaha untuk distempel nama sekolah. Selama proses pembuatan surat disaksikan bu Michelia yang juga ikut ke ruang Tata Usaha dan kembali ke ruang Kepala Sekolah. Bahkan bu Michelia menginginkan dia yang memberikan sendiri surat tersebut kepada Eugenia. Sementara di luar sana, Eugenia berjalan perlahan mengiringi langkah Fahmi kembali ke kelasnya. 

"Terima kasih banyak ya Fahmi atas pembelaanmu kepada Euginia tadi,"

"Sama-sama, kan memang benar apa yang aku sampaikan ke depan para guru,"

"Eugenia sih siap aja apapun hukuman buat Eugenia nanti, termasuk dikeluarkan dari sekolah,"

"Tidak usah bicara seperti itu, semua ada jalannya. Aku mendoakan kamu baik-baik saja dan kita tetap bersama sampai lulus nanti," Tanpa terasa Eugenia meneteskan air mata tapi cepat dihapus, tidak mau ketahuan Fahmi.

"Tetap kuat ya, Eugenia. Apapun yang terjadi padamu beritahu aku ya,"

"Mengapa Fahmi baik sekali kepada Eugenia ?"

Fahmi tersenyum dan menengok sebentar ke arah Eugenia. "Karena aku sayang Eugenia, aku tidak mau Eugenia terjebak di jalan yang tidak baik. Selain itu kamu mirip sekali dengan adikku yang sudah meninggal karena sakit," Eugenia tercenung sebentar merasa tersentuh perasaannya. Betapa sangat sayangnya Fahmi kepada adiknya sampai sudah tiada pun masih dikenangnya kepada orang lain. 

"Eugenia turut berduka cita ya, Fahmi ?"

"Terima kasih Eugenia,"

"Eugenia juga memohon beribu maaf karena sudah banyak menyusahkan bahkan membuat banyak masalah kepada Fahmi,"

"Seperti lebaran saja," Fahmi tertawa kecil. Eugenia pun tersenyum.

"Ya, kita sama-sama saling menolong dan memberi maaf," Fahmi kembali tertawa kecil.

Tidak terasa kelas mereka sudah di depan mata. Pertama masuk ke kelas adalah Fahmi, kemudian Eugenia. Mereka berpisah untuk sementara. Setidaknya untuk hari itu. Dari jauh bu Michelia jalan terburu-buru. Nafasnya semakin cepat ingin sampai ke kelas. Dia ingin sekali memberi pelajaran untuk anak nakal seperti Eugenia. Bu Michelia tidak mau lagi melihat Eugenia. Bagi bu Michelia, Eugenia adalah virus pembawa wabah kenakalan kepada para siswa di sekolah. Seketika sampai pintu depan kelas, bu Michelia mengatur nafasnya terlebih dulu. Kemudian baru masuk ke kelas dan duduk di tempat biasa, kursi guru.

"Selamat siang anak-anak,"

"Selamat siang, bu," jawab seluruh siswa.

"Hari ini ibu membawa kabar penting untuk kelas kita, bahkan untuk sekolah kita. Ibu tidak mau sekolah kita jadi sekolah buat anak nakal. Ibu ingin sekolah kita berjaya sebagai sekolah unggulan. Oleh karena itu harus ada yang dilakukan untuk kebaikan sekolah kita," bu Michelia lalu melihat ke seluruh kelas, satu persatu setiap anak dilihat sambil memperlihatkan senyumnya. Ketika sampai di wajah Eugenia, wajah bu Michelia menjadi berubah. Terlihat sinis dan penuh kemarahan.

"Hari ini kita masih lengkap sebagai satu kelas, tapi sebentar lagi akan berkurang satu orang. Untuk itu ibu akan memberikan sebuah surat pemberhentian dari sekolah kepada salah-satu siswa kelas kita," bu Eugenia tersenyum lebar. Wajahnya menunjukkan kepuasan.

Eugenia menguatkan hatinya. Dia mencoba tetap tegar dan tidak mengeluarkan air mata setetes pun. Eugenia mengerti yang dimaksud bu Michelia adalah dirinya. Eugenia pun sudah siap apapun yang terjadi. Walaupun hatinya sangat perih menerima kenyataan pahit yang memang menjadi resikonya. Eugenia lalu berpikir apa yang bisa dia lakukan setelah ini, bagaimana cara memberitahukan kepada mamah bahwa dia sudah dikeluarkan dari sekolah, Terakhir mencari sekolah pengganti untuk tempat ujia kelulusannya nanti.

"Eugenia ! Ke depan, ibu mau memberi kamu sebuah surat penting !" suara bu Michelia terasa menggelegar di telinga Eugenia. Namun Eugenia tetap terlihat tenang. Dia pun berdiri dari kursinya dan mendekati meja bu Michelia.

"Sudah cukup berdiri di tengah depan kelas !" 

Eugenia pun menurut. Dia tidak menundukkan wajahnya. Dia siap menantikan perintah selanjutnya.

"Anak-anakku semua, inilah Eugenia yang menjadi sumber masalah di kelas kita. Ibu tidak mau ada Eugenia lagi di sekolah kita. Oleh karena itu ibu berikan surat untuk kamu sampaikan kepada mamahmu,"

Eugenia menganggukkan kepalanya. Teman-temannya yang perempuan ada yang menangis melihat bagaimana bu Michelia memperlakukan Eugenia. Sedangkan teman lelaki hanya terdiam merasa salut kepada Eugenia. 

"Sudah bu ? Saya mau mengambil tas dan kembali ke rumah," tanya Eugenia dengan suara tenang tanpa getar kesedihan sedikit pun.

"Silahkan, secepatnya,"

"Boleh saya memberikan salam perpisahan buat  teman-teman saya ?"

"Tidak usah. Sekarang sudah ada media sosial yang bisa kamu pakai buat apa saja,"

"Baik bu, terima kasih,"

Eugenia balik kembali ke mejanya. Dia membereskan buku-buku dan pulpennya yang ada di meja. Semua dimasukkan ke dalam tas. Selesai memeriksa tidak ada lagi kepunyaannya yang tertinggal, Euginia pun melangkah keluar kelas, tanpa memberi salam. Teman-temannya terharu melihat kepergian Eugenia. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa, hanya Eugenia yang selama ini berani menentang aturan yang tidak jelas.

Sambil berjalan menuju gerbang sekolah, pikiran Euginia mulai berontak. Dia marah diperlakukan sewenang-wenang seperti itu. Tapi bagaimana dia bisa meluapkan kemarahannya ? Eugenia balik arah menuju ruang toilet siswa. Sesampai di dalam ruang toilet Eugenia mengeluarkan spidolnya. Dia meluapkan isi hatinya sepuas-puasnya. Tanpa disadari, Gisca teman sekelas Eugenia hendak masuk ke ruang toilet dan membuka pintunya perlahan. Saat itu Eugenia membelakangi pintu. Gisca yang melihat apa yang dilakukan Euginia, cepat-cepat menutup pintu secara perlahan pula.

MASIH ADA PAGITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang