CH. 06 (S2)

110 17 0
                                    

"Apa delusimu kambuh lagi?" Geri menatap khawatir ke arah Salesya. "Kali ini, halusinasi apa yang kau lihat?"

"Halusianasi?" Salesya mengerutkan dahinya, memastikan bahwa pendengarannya masih baik. Ia menggeleng pelan, "Aca udah sembuh, yah" jelasnya.

"Lantas lelaki mana yang kamu maksud?"

Salesya membisu mendengar pertanyaan sang ayah. Saat ini, ia tak bisa membuktikan perkataannya.

"Nggak ada, kan?" Tegas Geri.

"Tapi a-"

"Udah lah Ca... besok kamu ikut bunda sebentar. Kita kunjungi lagi dokter yang kemarin" timpal Mina.

"Aca nggak mau, Aca udah sembuh... nggak ada yang perlu diobati" Salesya lantas pergi meninggalkan dua insan yang masih terpaku mencoba memahami keadaan putri satu-satunya itu.

"Ca.." lirih Geri. Ia pun berdiri bermaksud menyusul Salesya.

"Biar bunda aja"

.

Salesya menyisir surai panjangnya kasar. Wajahnya cemberut disertai bibir mungil yang entah menggerutu tentang apa. Bayangan dirinya dalam cermin seakan ikut menertawakannya.

"Ca?" Mina membuka pelan pintu kamar Salesya. Yang merasa terpanggil pun menghentikan aktivitasnya.

"Bunda masuk" ijin Mina sebelum melangkahkan kakinya ke dalam wilayah Salesya. Merasa tak ada sahutan dari putrinya, Mina berjalan pelan menghampiri Salesya yang duduk termenung di depan kaca. "Aca tadi udah makan?"

Mina memberanikan dirinya menepuk pelan kedua pundak Salesya, "kita makan keluar bareng yuk?"

"Katanya khusus hari ini ayah bolehin Aca makan pedas. Nanti bunda beliin spagethi kesukaan Aca, mau?"

"Udah ada tuh di kulkas.."

"Aca makan pedas selama kita nggak di sini?"

"Bukan Aca, tapi Hayam Wuruk" jelasnya.

Seketika Mina menarik kedua tangannya yang terpakir di pundak Salesya, "oh.. gitu ya?"

Fokus Mina tertuju pada kotak biru di meja Salesya, "dari lela- dari Hayam Wuruk?" Tanya Mina sembari mengintip isinya.

"Bukan"

Mina tersenyum setelah melihat isi kotak itu.

"Kapan ayah sama bunda balik ke Medan lagi?" Tanya Salesya yang membuyarkan lamunan Mina.

"Besok" Mina meletakkan kembali benda yang dipegangnya. "Dari siapa?" Tanyanya penasaran.

"Temen"

"Namanya?"
.

.

Pagi ini, seperti biasa Salesya membuka matanya pukul 06.00, sudah seperti kebiasaan ia menoleh ke arah jam dinding. Tak lama ia masuk ke kamar mandi dan keluar 10 menit kemudian.

Ia tenteng ransel hitamnya dan berjalan lesu ke arah meja makan.

"Pagi Ca" sapa Geri yang tengah membaca koran.

"Ya" jawab Salesya. Ia duduk di depan Geri, menunggu makanan yang sedang dimasak Mina.

Mina menyajikan sepiring nasi goreng buatannya ke hadapan Salesya dan segelas kopi hitam disuguhkannya kepada sang suami.

"Nasi goreng lagi, bun?" Tanya Salesya merasa kesal.

Mina hanya mengangguk kecil menanggapai pertanyaan anak gadisnya.

"Ayah sama bunda jadi ke Medan nanti?"

"Iya"

"Sepulang sekolah jangan main, langsung pulang" tegas Geri.

Salesya mengangguk kecil sembari melahap nasi gorengnya. Ia minum segelas air mineral di dekatnya dan berdiri, "Aca pergi dulu, bun"

"Nggak dihabisin dulu?"

"Udah ada Adinda di depan"

"Suruh masuk sekalian aja, Ca"

"Udah mau telat bundaaa..." ujar Salesya. Ia pun berlari menghampiri Adinda di luar rumahnya.

"Udah lama?"

"Dari 1 abad yang lalu!" Ketus Adinda.

"Berangkat kuy?" Salesya mengikat sepatunya dan berjalan pelan.

"Lah? Bukannya mau diantar ayahmu?" Bingung Adinda.

"Siapa yang ngomong?" Salesya cemberut menatap Adinda.

"Nggak sih, biasanya kan diantar ayahmu kalau lagi di sini"

"Nggak nggak, ayo"

.

Bel pertanda awal pelajaran sudah terdengar. Salesya memilih duduk bersama Adinda di samping jendela kelasnya. Netranya fokus mengamati dedaunan di luar sana yang tersapu angin lalang. Tiba-tiba Salesya mengingat kejadian dengan orang tuanya kemarin, jika ia menjalani pengobatan lagi, apakah ia harus pergi dari kota ini? Otaknya memutar kembali proses terapi yang dulu pernah dilakukannya.

Salesya mengerjapkan matanya pelan, mencoba mencerna kejadian yang dialaminya. 'Lalu ke mana Hayam wuruk pergi?' Batinnya.

"Sa?" Lirih Adinda. Salesya pun menoleh ke arah sumber suara. "Kenapa? Kok nglamun"

"Ah.. haha. Nggak kok, Din" dusta Salesya.

Tiba-tiba Adinda mengangkat tangannya ke atas, guru yang mengajar pun menoleh ke arah Adinda. "Pak, saya izin ngantar Sasa ke uks"

"Ha?" Salesya menatap ke arah Adinda. "Siapa yang sakit?" Bisiknya ke telinga Adinda.

"Baiklah, tapi kamu harus kembali ke kelas" ujar guru di depan sana.

"Siap, pak!" Girangnya dengan nada semangat 45.

.

Adinda membuka brutal pintu uks, "akhirnyaa!! Bisa lepas dari pelajaran pak dodi!"

"Hish!!... apaan sih kamu?? Kalau mau bolos ngapain ajak aku?" Geram Salesya.

"Kamu satu-satunya manusia yang nggak mau bolos, untung di sini sepi"

"Kamu kan disuruh balik" Salesya membaringkan tubuhnya ke atas kasur.

"Ita cantik!! Bentar napa, baru aja sampai Saa. Oh iya isi kotak dari kak Vino apaan?" Kepo Adinda.

Salesya memutar bola matanya, "tau ah"

"Emang belum dibuka?" Suara berat di ambang pintu mengejutkan Salesya.

Sontak Salesya terbangun dari tidurnya dan menata surainya yang berantakan, "kak... Vino?"

Pupil Adinda mengecil melihat pemandangan itu, "eh Sa... jadi inget, kan disuruh balik sama pak Dodi. Duluan, ya?"

"Tung-" di saat Salesya belum meneruskan kalimatnya Adinda sudah pergi. 'Temen babi'

Alvino mendekati Salesya yang duduk di samping ranjang uks, "sakit apa?" Sementara yang ditanya hanya menggeleng kecil. "Rapian dikit dong, biar tambah cantik" tambah Alvino sembari mengulurkan tangannya menyisihkan surai Salesya yang masih berantakan.

"A.. apaan sih,kak?" Wajah Salesya memerah. Ia pun memundurkan wajahnya ke belakang.

Alvino hanya tersenyum tipis, "semoga cepat sembuh" ia pun pergi dari uks, meninggalkan Salesya yang masih terpaku dengan keanehan sikapnya.

"Dasar nggak jelas"




Dimensi LainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang