"Heh! Dari pada buat mainan, mending buat gue aja baksonya. Mubazir tau nggak?" Alsya menatap nanar sahabatnya yang sedari tadi melamun sembari mengaduk-aduk kuah bakso.
Kia menggeser mangkok itu ke depan.
Alsya mengerutkan dahinya. "Sebenarnya lo ada masalah apa, sih?"
Bimbang. Satu kata yang sekarang ada di dalam benak Kia. Dirinya ingin menceritakan tentang kejadian semalam kepada sahabatnya itu, tetapi entah kenapa bibirnya enggan untuk mengungkapkan.
"Mau cerita gue siap dengerin, kalau mau nggak, juga nggak pa-pa. Gue tau itu privasi lo, Ki." Alsya tersenyum.
"Gue dijodohin sama Dosen favoritmu itu."
Mata Alsya terbelalak. "Jinja? Lo pasti lagi bercanda, 'kan?"
"Buat apa gue bercanda, Sya? Buang-buang waktu aja."
"Please, kalau ini beneran terjadi, hati mungil gue tergores, Ki." Alsya berucap mendramatisir.
"Nggak usah lebay. Sebenarnya gue terpaksa terima perjodohan ini. Tapi mau gimana lagi, kalau gue tolak juga sama aja." Kia berdiri. Mengambil tasnya. "Ayo ke kelas."
Memutar kedua bola matanya malas. "Terpaksa lo bilang. Nanti jadi bucin mampus!" cibir Alsya.
***
Rasa kantuk melanda dirinya. Kia menidurkan kepala dilipatan kedua tangan. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam, pertanda sudah memasuki ke alam mimpi.
"Kia, lo dipanggil sama Pak Arsen!" Alsya menggoyangkan tubuh Kia, tetapi gadis itu tidak terusik sama sekali. Malah semakin nyaman dengan tidurnya.
"Aduh, ini gimana, ya?" Alsya cemas. "Kia, Pak Arsen nyamperin lo, dongo!" tanpa ada rasa belas kasihan, Alsya menarik rambut milik Kia hingga sangat empu terbangun.
"Kenapa, sih, bangs—" ucapnya terpotong karena di depannya itu terdapat seorang laki-laki dengan wajah datarnya. Siapa lagi kalau bukan Arsen.
"Eh— Pak Arsen." Kia tersenyum canggung.
"Tidur di jam saya. Sepuluh poin untuk kamu. Silahkan, maju ke depan, dan ulangi lagi apa yang baru saja saya terangkan."
"Tapi—"
"Tidak ada tapi-tapian. Kalau tidak mau, silakan keluar dari kelas saya."
"Nggak, Pak. Janji, nggak bakalan tidur lagi."
"Saya tidak mau tahu. Maju ke depan atau keluar dari kelas saya."
Kia tetap diam.
"KIA! KELUAR DARI KELAS SAYA!" teriakan itu membuat satu kelas terlonjak kaget.
Kia berdiri. Dia menatap tajam ke arah Arsen dengan napas yang naik-turun tak beraturan. Kedua matanya sudah berkaca-kaca, mungkin sebentar lagi air mata yang ia tahan turun mengenai kedua pipinya. Dengan cepat, dia meraih tas lalu keluar tanpa mengucapkan sepatah kata apapun.
Apa saya keterlaluan? Batin Arsen menatap datar pintu yang baru saja tertutup kembali.
Sekarang Kia sedang mendinginkan hatinya di taman belakang Kampus. Air mata yang sedari tadi ia tahan, tumpah sudah. Baru pertama kali dirinya dibentak oleh orang lain di depan orang-orang.
"Nih, coklat. Nggak usah nangis lagi."
Kia mendongak. Menatap orang itu dengan dahi berkerut. "Makasih." Ia menerima coklat tersebut.
"Kenapa lo nangis?" tanya laki-laki itu, lalu duduk di samping Kia.
"Nggak, gue nggak nangis," sanggah Kia. "By the way, gue nggak pernah lihat lo."