••
Tidak henti-henti Joana membuang nafasnya, lelah dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak tau dimana ujungnya, terus dilontarkan Kayana.
Benar dugaannya. Kayana lebih rempong dan harus ekstra sabar menghadapi gadis ini. Semua karena Lucius.
Dia menatap tajam Lucius yang dengan tampang bodoh amatnya memainkan ponsel. Sangat tidak merasa bersalah.
Tadi dia sudah mengusir tamu tidak diundang ini secepatnya pergi meninggalkan tempatnya. Sayangnya, Lucius terlalu keras kepala, dan tidak mau beranjak sedikitpun.
Alhasil, saat Kayana tiba dan melihat sosok pria lebih tua yang tampan, hot, serta aura sugar daddynya yang begitu menguar. Ia langsung saja mencecar banyak pertanyaan pada Joana, sampai sekarang.
Joana menatap Oretha memelas. Dia butuh gadis itu untuk menolongnya. Setidaknya, sekedar menjelaskan apa hubungannya dengan Lucius. Dua orang rempong itu perpaduan yang serasi.
Oretha yang ditatap seperti itu tentu saja mengerti. Dia langsung mengangguk, lalu memanggil Kayana mendekat padanya, dia akan menjelaskan sama seperti yang Joana jelaskan padanya sebelumnya.
Sedangkan Joana, dia tanpa basa basi langsung menarik Lucius keluar, membuat pria itu hampir terjengkang jika saja refleksnya tidak bagus.
Dibelakang Joana dia mengernyit, mengekor seperti anak unggas. Ingin protes, tapi entah kenapa pita suara tidak mau bekerja.
"Lo ... pulang sekarang!" Perintah itu menyiratkan kata 'jangan membantah'. Apalagi, wajah Joana yang menatap datar, begitu tegas.
Tapi bukan Lucius namanya jika tidak keras kepala. "Tidak mau," bantahnya. Dia menatap menantang pada Joana, membuat gadis itu berdecak.
"Lo mau apa, sih?" Dengan marah dia mendorong bahu Lucius menggunakan telunjuknya. "Kita nggak ada hubungan apa-apa, so, jangan ganggu gue!" tekannya.
Lucius sempat terkekeh karena dorongan itu sama sekali tidak berefek padanya, sayangnya raut wajahnya kontan mendingin setelah mendengar lanjutan kata Joana.
"Ada hubungannya ...." Dia menjeda sebentar, membuat Joana bingung maksudnya. "Kamu penolong saya."
Mata Joana menyipit. "Yang nolong lo Oretha kalau lupa."
Lucius lantas menggeleng tegas. "Kamu yang nolong saya."
Decakan keluar begitu saja dari mulut Joana. Dalam benak berpikir, apa pria ini bodoh? Atau buta? Jelas-jelas yang menolongnya, mengobati luka-lukanya adalah Oretha.
Tidak mau ambil pusing, Joana mengabaikan. "Ya, terserah. Pokoknya, lo pulang sekarang juga!"
Lucius diam, mengabaikan perintah Joana. Menulikan telinga dan menajamkan mata pada Joana. Dia menatap lekat wajah cantik gadis berusia sekitar 8 tahun di bawahnya itu.
Yang ditatap seperti itu jelas risih, begitu juga yang dirasakan Joana. Dia tidak suka dengan tatapan Lucius yang seolah ingin menelanjanginya. Rasanya dia mau mencolok mata amber itu.
"Ngapain masih di sini? Pergi sana!" usir Joana. Dia berbalik mau masuk kembali tapi tangannya dicekal Lucius tiba-tiba, lalu menariknya.
Joana kontan kaget, apalagi dengan posisinya yang saat ini berada didepan dada Lucius. Dia menabrak dada bidang itu.
Langsung saja dia menjauh. Menatap Lucius benci. Sekarang poin Lucius dari Joana bertambah dengan tukang modus.
"Dasar modus," gerutunya dalam hati. "Ingat istri lo di rumah om," ucapnya penuh sirat lain.
"Saya belum menikah."
Joana tentu saja tau itu. Yang tadi itu tentu saja sekedar omong kosongnya.
Dia sangat tau, Lucius meski umurnya sudah pada usia kepala dua, dia masih melajang. Entah apa alasannya.
Tapi, dari informasi yang Joana peroleh, pria ini masih belum menikah sampai sekarang karena belum ada yang pas. Cih— sok-sokan belum ada yang pas, katakan saja kalau tidak ada yang mau.
Tidak ada yang mau? Gila saja. Lucius, sosok yang seolah gambaran manusia sempurna itu tidak ada yang mau? Joana saja bahkan pernah tercantol dengan visualnya.
Itu dulu, sebelum dia bertemu langsung dengan Lucius. Harapannya dulu yang ingin menikahi anak tunggal kaya raya semacam Lucius kontan sirna.
Sifat dan watak Lucius sangat tidak masuk dalam kriteria suami idaman untuk Joana. Dia jadi berfikir, bagaimana kalau anak tunggal kaya raya lainnnya sama dengan Lucius? Dia jadi tidak minat lagi mensejahterakan keturunannya.
Biarlah anak-cucunya nanti melarat, yang penting dia hidup dengan pilihannya dan bahagia sentosa.
Nanti Joana akan memberikan wasiat yang meminta keturunannya untuk melanjutkan impiannya dulu itu.
"Kamu mau jadi istri saya?"
Joana kaget tentu saja. Pupil matanya membesar, dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Tentu saja jawabannya, "Nggak mau."
"Lo kalau mau cari istri yang sepantaran," lanjut Joana.
Lucius terkekeh, dia mendekat dan menurunkan wajahnya pada wajah Joana. "Tapi saya maunya kamu."
Jangan berharap Joana bisa baper dengan itu. Gadis itu malah mendelik jijik. Dia mendorong menjauh wajah Lucius.
"Pantas aja sampe sekarang belum nikah-nikah. Kriteria lo ternyata bocil, om?" Dia berujar dengan nada mengejek.
Lucius tentu saja menggeleng. Kriteria jauh dari seperti apa yang Joana katakan, namun entah kenapa melihat Joana, kriterianya berubah.
"Tidak, tapi mungkin iya."
Joana menganga, matanya membulat dan melebar. Dia terdiam sesaat, sebelum akhirnya bersuara dengan yakin.
"Lo pedofil!" pekiknya.
Hah?! Bukan— tidak. Lucius bukan pedofil. Dia mau membantah, tapi terlambat karena Joana langsung lari saat itu juga.
"Shit, gadis nakal."
••
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
JOANA
Teen FictionWelcome:) •• Seharusnya setelah mati dia ke surga, atau mungkin neraka. Tapi, dia tersesat. Tersesat pada tubuh ringkih gadis lemah. Keputusannya adalah lari, tapi apakah lari adalah penyelesaian? "Maaf, Joana." "Joana, Maaf" Dendam menjebaknya diru...