"Ngapain lo?"
Masih setengah pohon yang aku panjat. Tapi suara itu hanya menghentikan kegiatan memanjatku beberapa detik, sebelum berfikir masabodoh dan melanjutkan kegiatan baruku.
Sampai di atas aku menoleh ke bawah, bernafas selega mungkin. Karena suara itu ternyata bukan tertuju padaku. Terkadang kuping yang terlalu bagus juga menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi. Namun itu tidak baik.
Seperti kejadian waktu di kantin tadi dan saat ini.
Ada tiga orang pria berseragam sekolah sebelah. Anak Rajawali. Musuhnya Garuda.
"Kenapa?" Pohon ini terlalu rimbun untuk diketahui oleh mereka. Meski berjarak kurang lebih 13 meter, suara cowok yang keras dan serak akan terdengar di telingaku yang kelewat bersih.
"Ngapain lo disini lagi?" Sambil mengamati kegiatan mereka, aku membuka resleting tas, mengeluarkan sebungkus roti dan susu kotak itu bekal yang selalu bibi siapakan dalam tasku.
"Mau lihat Garuda nyerah apa nggak," Ucapan bocah tengil dengan tindik hitam di telinganya membuatku mendegus geli.
"Udah nggak usah cari masalah lagi," Aku pikir sosok itu hampir seperti Dika. Pemikiran yang cukup luas. Aku suka. Dia memakai tas punggung warna hitam-merah.
"Dari kemaren siapa yang nyari masalah dulu?" Sosok yang sedaritadi diam. Yang aku pikir adalah manusia sejenis judul lagu Rizky Febian. Cuek.
"Yaudah, jangan di urusin."
Hah? Jangan di urusin?
Kunyahan dari mulutku berhenti, jadi?"Balik Yon," Cowok bertas hitam-merah merangkul kedua temannya menuju mobil bewarna hitam. Aku pikir dia suka warna hitam.
"Lo kenapa sih?!" Cowok dengan tindik itu berteriak kesal namun tetap manut dengan si tas hitam-merah.
Si cuek hanya mendegus kesal.
Mereka berlalu setelah tas hitam-merah membisikan sesuatu kepada kedua temannya.
Waw... Ada apa ya?
Aku menyenderkan pungungku pada cabang batang pohon lain.
Memikirkan kegiatan tawuran yang begitu membuatku kecanduan. Aku ingat, benar-benar ingat bagaimana kejadiannya kemaren.
Bahkan dari awal.
Sebelum penyerangan di mulai.
Melihat sekeliling. Depan jalan gang memang sempit, tapi kalau kalian sudah berjalan kira-kira 15 meter akan di temukan lapangan luas,lalu di sampingnya ada kebun dan pohon mangga.Aku sedang ada di pohon tersebut, ada jalan kecil yang mempercepat aku sampai ke rumah.
Di sini juga ada warung. Di pojok dekat rumah warga..tentunya lumayan jauh dari pohon ini. Yeah.. Kupikir itu tempat tongkrongan anak SMA.
Menghela nafas. Hampir satu jam aku duduk di sini. Mulai pegal sih.. Ada beberapa semut yang mengigit lenganku. Tapi tak apa.
Kilasan tawuran kemarin terlintas dalam benakku.
Apa dia nggak papa?
....
"Kamu baru pulang?" Aku tersentak, ada ayah di rumah.
"Iya ayah," Ayah jarang berada di rumah. Karena beliau kerja. Aku tidak mempermasalahkan.
"Lengan kamu kenapa?" Aduh.. Parah bentolannya cukup besar sih. Jadi terlihat.
"Di gigit semut yah," Aku meringis. Ayah hanya tersenyum lalu mengelus suraiku.
"Fe?" Aku dan ayah saling tatap-tatapan. Sebelum ayah mengulas senyum yang begitu lebar. Senyum yang aku lihat terakhir kalinya saat ibu masih ada.
"Ayah, ada.. Sesuatu?" Entah karena apa. Aku cukup peka pada orang-orang di sekelilingku.
"Kamu.. "
"Iya?"
"Nanti malam kita makan di luar yuk," Aku mengangguk antusias. Lama banget ngak makan di luar.
"Beneran ya yah!!" Ayah hanya menganggukkan kepala.
"Iyaaaa," Ucapnya. Aku memeluk ayah sebentar sebelum naik ke lantai dua.
Entah ada apa di balik ajakan ayah. Aku akan siap dengan segalanya. Aku bukan anak kecil yang hobi memberontak.
Ayah tidak pernah menyuruh aku mengikuti berbagai lomba. Ayah tidak pernah memaksaku untuk menjadi sangat juara.
Ayah selalu mengingatkanku untuk jadi diri sendiri.
Sikap ayah dan ibu dulu yang membuatku menjadi gadis yang cukup berfikiran dewasa.
Tidak sih. Hanya saja berfikir rasionalistis. Dan tidak primitif.
Aku suka sepi. Maka pembantu rumah ini hanya ada Bi Eka.
Ayah memang jarang pulang. Tapi selalu ada kabar dalam setiap keadaan. Aku suka.
Ayah sekarang memang duda. Dan jika ayah telah menemukan jatuh cintanya kedua kalinya. Aku oke saja.
Aku selalu percaya pada ayah. Ayah tidak pernah keliru dalam memilih. Apalagi calon ibu.
Jika malam ini aku akan di pertemukan pada jatuh cintanya ayah yang ke dua. Aku harus bisa antusias. Aku tidak boleh mengecewakan ayah.
Fe! Rasional oke.
Segala hal pembodohan dalam cerita Cinderella hanya akan menjadi patokan sempit dalam otak dan kehidupan.
Tidak semua ibu tiri akan seperti ibu tiri Cinderella.
Aku memang suka sepi, tapi bukan kesepian.
Aku ingin kakak. Atau paling tidak adik lah.
Hahaha... Aku tertawa bahagia.
Terkadang ayah lupa. Bahwa putrinya adalah sosok yang terlalu peka.
...
Malam telah tiba. Aku tersenyum, tapi tak selebar senyum ayah.
"Ayah seneng banget," Tanyaku saat aku dan ayah keluar dari arena parkiran.
"Iya.. Kamu nanti jangan kaget ya," Tidak akan yah. Hahaha.
"Waduh.. Doi ayah udah dateng duluan," Heh? Aku melotot menatap ayah. Ayah memang masih terlihat segar, dan bukan tipe bapack-bapack buncit anak Facebook.
Tapi kenapa ayah mulai terlihat sedikit... Alay?
"Fe kalah dari ayah. Ngak ada doi," Ucapku pelan. Ayah sekarang yang melotot.
"Kamu ngak boleh doi doinan," Hilih.. Aku memutar bola mata malas. Anak tunggal perempuan emang tidak di takdirkan bebas.
Aku dan ayah terus berjalan, menuju meja bundar yang terisi oleh seorang wanita. Memakai kerudung.
Aku menyipitkan mata sebelum menyapa wanita itu yang sedang membelakangi aku dan ayah.
"Lho?"

KAMU SEDANG MEMBACA
bukan FIGURAN
General FictionTerdengar klise. Tapi tentu berbeda. Para tokoh utama dengan berbagai tingkah. Lalu ada si sebutir garam pada sayuran. Alias si Figuran. Pada dasarnya, tidak ada seorang FIGURAN karena setiap orang punya ceritanya sendiri dan menjadi tokoh utama...