BAB 3 ~ Lie

9.4K 196 1
                                        

Seorang pria berjas hitam duduk dengan tenang di kursi kerjanya yang elegan. Wajahnya, yang dipahat dengan begitu indah, memancarkan aura dingin yang penuh dengan ketegasan dan wibawa. Dia adalah Aksa Abbiyya, kekasih dari seorang Araya Davinara, seorang pria yang saat ini meroket dalam dunia bisnis. Wajahnya terpampang di majalah-majalah terkemuka, menjadi buah bibir di kalangan gadis dan wanita.

Suara ketukan pintu memecah kesunyian.

"Maaf Tuan, ada kiriman untuk Tuan." Pria yang memberi laporan dengan penuh hormat, menyajikan sebuah amplop coklat kepada majikannya.

"Keluarlah."

"Baik Tuan." Dia melangkah keluar dari ruangan setelah memberikan amplop tersebut.

Mata Aksa fokus pada amplop yang dipegangnya, dan jemarinya dengan hati-hati membuka segelnya. Ekspresi wajahnya berubah tiba-tiba saat melihat isi amplop, sejumlah foto yang menampilkan kekasihnya dalam pelukan mesra dengan seorang pria yang tidak dikenalnya.

"Sial!" desisnya dengan nada yang penuh emosi.

Tok tok tok

"Masuk!"

"Maaf Pak menganggu waktunya," ucap seorang wanita yang merupakan sekretarisnya.

"Ada apa?"

"Sudah saatnya jam makan siang, Pak," ucap sekretarisnya dengan sopan.

"Baiklah, kita makan siang di kafe dekat kantor," ujar Aksa dengan upaya untuk meredakan emosinya yang masih membara. Dia berharap bahwa istirahat sejenak untuk makan siang dapat membantu meredakan ketegangan yang dirasakannya.

"Baik, Pak. Saya akan mengatur semuanya."

Sesampainya di kafe, Aksa segera menuju meja yang sudah dipesan oleh sekretarisnya. Matanya menjelajahi sudut-sudut kafe yang semakin ramai dengan pengunjung.

Tiba-tiba, pandangannya tertuju pada sepasang manusia yang duduk di ujung cafe dekat jendela. Dengan tajam, dia mencoba melihat lebih jelas siapa yang berada di sana. Wajahnya terungkap keterkejutan ketika menyadari bahwa kekasihnya sedang duduk bersama seorang pria.

"Shit! Dia bahkan tidak meminta izin untuk keluar bersama pria," desis Aksa dengan nada lirih, namun penuh dengan kekecewaan.

Aksa terus memperhatikan Ara, yang tampaknya tengah berbicara dengan pria yang tak dikenalnya. Kemudian, mata Aksa menyaksikan momen di mana pria tersebut memberikan sebuah cincin kepada Ara, yang terlihat sangat bahagia menerimanya.

"Sialan! Apakah kau sedang menerima tawaran lamarannya?!" desis Aksa dengan nada pelan, rahangnya tegang.

Tanpa berpikir panjang, Aksa langsung mengambil ponsel dan menelepon Ara, sementara mata pria itu terus memperhatikan setiap gerak-gerik kekasihnya.

"Halo?"

"Apa yang sedang kau lakukan?"

"Aku sedang makan siang."

"Di mana?"

"Di-di rumah. Ya, aku sedang makan siang di rumah."

Aksa menutup mata dan menekan pelipisnya dengan tangan terkepal di atas meja, berusaha untuk meredam amarahnya. Gerakan ini tidak luput dari pengamatan sekretarisnya.

"Dengan siapa?" tanya Aksa lagi.

"Emm... sendirian..." jawab Ara dengan ragu.

Tut.

Aksa langsung mematikan ponselnya, mengakhiri pembicaraan dengan wanitanya secara sepihak. Keinginan untuk mendekati Ara dan mengajaknya pulang begitu besar, tetapi dua jawaban yang terbukti sebagai kebohongan membuat Aksa benar-benar marah.

Limerence [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang