Di malam yang gelap, dengan lampu-lampu yang berkilauan di sepanjang deretan rumah, Vera berdiri di depan pintu rumah bertingkat sederhana. Rumah ini terletak di pinggiran desa yang masih memancarkan nuansa modern. Rumah ini telah menjadi bagian dari kenangan lama Vera, dan melihatnya sekali lagi, dia merasa campur aduk.
Disinilah Vera menempatkan sahabatnya yang sedang berbadan dua, rumah dimana tempat dirinya tinggal bersama orang tua dan kakaknya beberapa tahun yang lalu. Namun keluarganya harus pindah karena urusan bisnis ayahnya. Dia sangat senang tinggal disini karena memiliki suasana yang tenang dan sejuk. Dengan langkah hati-hati, dia mengetuk pintu kayu berwarna tua itu.
Tok tok tok
Setelah beberapa detik yang panjang, pintu rumah terbuka perlahan. Di ambang pintu, seorang wanita paruh baya dengan rambut abu-abu berdiri, ekspresi keheranan tergambar jelas di wajahnya. Vera segera memperkenalkan dirinya dengan suara lembut yang mencoba meredakan kekhawatiran di wajah wanita tersebut.
"Bibi Caitlyn, ini aku Vera," ucap Vera yang menegaskan bahwa itu dirinya kepada wanita paruh baya tersebut.
"Ternyata Nona Vera, aku sempat tidak mengenalimu karena Nona memakai mantel dan masker, mari masuk terlebih dahulu Nona, di luar sangat dingin," ucap Bibi Caitlyn, memberikan senyuman hangat sambil mengundang Vera untuk memasuki rumah sederhana mereka.
"Ah ya, terima kasih Bibi. Itulah kenapa aku memakai mantel dan masker, karena di luar cuaca sangat dingin," kata Vera, melepaskan mantelnya dan memasuki ruang tamu yang hangat.
Wanita paruh baya itu bergerak membantu Vera merasa lebih nyaman di rumah tersebut.
"Sila duduk dulu, Non," kata Bibi Caitlyn, menawarkan kursi di dekat perapian.
"Biar Bibi buatkan teh hangat untuk menghangatkan tubuh Nona setelah perjalanan yang panjang."
"Terima kasih Bi," ucap Vera dengan senyum hangatnya.
Vera duduk di kursi yang ditawarkan, memperhatikan sekelilingnya dengan penuh rasa nostalgia. Tidak ada yang berubah dari semenjak pertama kali dirinya membawa Ara ke rumah sederhana ini. Walaupun, entah mengapa, rasanya ada nuansa kekhawatiran yang lebih dalam yang menguar di dalamnya kali ini.
Wanita paruh baya itu pun kembali ke ruang tamu, membawa dengan hati-hati secangkir teh panas. Dia meletakkan cangkir itu di hadapan Vera, dan uap harum teh langsung menyapu indra penciuman Vera, memberinya rasa hangat yang sangat dia butuhkan.
"Bagaimana keadaan Ara Bi?" tanya Vera, rasa khawatir jelas terlihat di wajahnya.
"Nona Ara baru saja tidur dan keadaannya sedikit rumit, tapi Bibi bersyukur karena Nona berkunjung pada waktu yang tepat," kata Bibi Caitlyn, mencoba memberikan sedikit kelegaan dalam situasi yang penuh ketidakpastian.
"Memangnya kenapa, Bi? Ara baik-baik saja kan di sini dengan kandungannya?" Vera mencoba mencari penjelasan
"Nona Ara baik-baik saja," kata Bibi Caitlyn dengan suara lembut. "Hanya saja sudah beberapa minggu ini Nona Ara mengalami masalah kandungan yang membuatnya tidak nyaman."
"Seperti?"
"Seperti pagi sampai sore hari, Nona Ara terus mengalami mual hebat. Bibi beberapa kali menelpon dokter Mary untuk mengatasi rasa mual Nona Ara, namun sejauh ini belum ada perubahan yang signifikan. Entah apa yang salah dengan kandungannya." Bibi Caitlyn menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk tidak menunjukkan rasa khawatirnya yang mendalam.
"Tapi kandungannya baik baik saja bukan?" Vera mencari konfirmasi tentang kesehatan bayi dalam kandungan sahabatnya
"Secara medis, kandungan Nona Ara dikatakan baik dan sehat," kata Bibi Caitlyn, tetapi kemudian dia menambahkan, "Namun sepertinya Nona Ara mengalami stres pikiran. Karena terlalu sering mengalami mual, itu mengganggu pola makannya. Terkadang Bibi hanya bisa membuatkan bubur dan menyediakan buah-buahan segar agar dia bisa makan tanpa merasakan mual."

KAMU SEDANG MEMBACA
Limerence [END]
Romance[A ROMANCE STORY] "A-aku ke sini ingin memberitahumu jika saat ini aku sedang hamil. Dan sekarang kita akan memiliki anak seperti impianmu dulu. Kau pasti bahagia bukan?" "Kau yakin itu anakku?" "Maksudmu?" "Waahhh, hubungan kalian sudah sejauh itu...