03. Mungkin Cukup

126 8 1
                                    

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Suara keributan sepertinya memang selalu menjadi alarm untuk membuatnya terbangun dipagi hari

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara keributan sepertinya memang selalu menjadi alarm untuk membuatnya terbangun dipagi hari. Ia jadi tidak perlu repot mematikan bunyi gema alarm dari handphonenya. Setidaknya hari ini. Hembusan nafas kasar keluar dari bibir ranum miliknya. Menutup telinga menggunakan bantal sembari menerawang plafon kamarnya yang putih sampai suara ribut diluar berhenti.

Mereka tidak bisa berhenti untuk tidak menghancurkan pagi atau malamnya.

Tangannya menyibak selimut. Segera beranjak untuk bersiap. Sesaat saat sedang bercermin menyisir rambutnya ia jadi tersadar betapa kacaunya wajahnya. Mata yang menghitam. Lagi-lagi hembusan nafas berat menjadi sesuatu yang sering ia lakukan.

Setelah selesai tungkainya melangkah dengan tidak semangat. Membuka pintu dan menemukan mama dan ayah tirinya tengah duduk dimeja makan dengan suasana yang sangat dingin.

Bibirnya tersungging miring. Sungguh keluarga yang luar biasa.

Dirinya sudah duduk di samping mama dan tetap menyantap hidangan yang terasa hambar.  Pura-pura tidak melihat pecahan gelas kaca berserakan dibawah mereka ketika makan.

Kendati suasana tenang ruang makan terasa memuakkan. Suara dentingan sendok dan piring mereka terdengar begitu menyebalkan saat beradu. Mereka yang berada di sana hanya diam. Sebelum lelaki satu-satunya di dalam ruangan tersebut membuka suaranya.

"Hari ini kamu pulang jam berapa?"

"Anda tidak perlu tahu." jawab Jiana ketus tanpa menatap Galangga Rekasa, ayah tirinya. Sesungguhnya Jiana tidak sudi mengakuinya. Orang di depannya ini hanyalah ayah Jeondra. Kenapa lelaki itu harus tahu bagaimana harinya atau bagaimana ia menjalani hidup. Itu bukan urusannya.

Sedang Angga hanya tersenyum tipis, sudah tidak terkejut. Hubungannya dengan Jiana tidak pernah membaik sedari dulu atau mungkin tidak akan pernah. Bahkan hubungannya dengan Reisa semakin tidak terkendali. Mereka terus bertengkar setiap waktu membuat sekat di antara mereka semakin membesar. Hingga benar-benar hilang.

Sunyi kembali menyelimuti mereka. Tidak ada yang ingin memulai kembali. Karna nyatanya seperti inilah mereka seharusnya. Mereka hanyalah orang asing yang tinggal di atap yang sama.

Suara debuman lantai mengalihkan atensi mereka, bertemu tatap dengan Jeondra yang baru saja menginjakkan kakinya di anak tangga terakhir.

"Je, tidak makan?"

"Nggak ,yah, keburu telat."

Jiana tidak ingin peduli, lebih memilih fokus ke makanannya. Terlalu awal untuk memperparah suasana hatinya melihat anak itu di awal pagi.

Hingga ia mendengar suara mama menyahuti.

"Dasar nggak tau diri."

Jiana juga tidak peduli.

Bahkan setelah melempar perkataan yang begitu kasar untuk anaknya sendiri mama tetap santai menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya. Sampai anak itu mengucap salam dan menghilang.

Seperti itulah mama, Jiana tau meski anak itu akan mati karena kelaparan mama tidak pernah peduli. Kursi kosong diantara mereka itu tidak pernah berpenghuni seperti seharusnya.

Setelah menyelesaikan makanannya Jiana mendorong kursinya. Berpamitan singkat dengan mama dan segera pergi.

Baru saja sampai dari arah dalam Ana, temannya menghampirinya dengan tergesa dan- sumringah. Entah mengapa Jiana jadi merasa menjadi resah tiba-tiba.

Gadis cantik asal Surabaya itu memajukan wajahnya dan berbisik. "Jiana, Lo kembar, ya?"

"HAH?!" Reflek Jiana langsung memundurkan kepalanya menjauh untuk menatap wajah Ana yang terlihat begitu serius. Jantungnya terpacu dengan begitu cepat.

Dia bersumpah tidak pernah mengatakan ini kepada siapapun semenjak tinggal di Jakarta. Bahkan berpikir ingin memberitahu saja tidak. Jadi bagaimana Ana tahu tentang ini.

Sebisa mungkin Jiana mengontrol raut wajahnya dan berusaha bertanya dengan tenang agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan.

"Enggak. Ngaco lo mah, hahaha," jawabnya tertawa.

Ana ikut tertawa dan merangkul bahunya.

"Iya, Soalnya lo mirip banget sama mama lo."

Dan berhasil mendatkan satu jitakan penuh sayang didahinya.

"Au! Sakit! Nanti bedak gue hancur Jian." ucapnya mengaduh sambil memegangi dahinya.

"Kenapa sih pake jitak segala." Kesalnya.

Jiana tersenyum dan mengusap tempat dimana tadi ia menjitak. "Gapapa, itu tanda sayang dari gue."

"Tanda sayang dari mana, itu mah kekerasan!"

"Ya lagian, kalo kaga mirip berarti bukan mama gue. Ngerti?" Ucapnya sembari menepuk pipi Ana tiga kali lalu berlalu meninggalkannya yang masih sibuk dengan bedaknya dibelakang.

Sepanjang melayani pelanggan fokusnya terbagi. Entah mengapa kejadian tadi pagi mengganggunya hingga sekarang. Ia jadi takut tiba-tiba kehidupannya yang mati-matian ia lupakan kembali mempengaruhi kehidupannya yang sekarang.

Terlalu banyak luka, terlalu banyak kecewa, juga harapan besar yang berusaha ia kubur. Sudah terlalu jauh untuk berbalik. Sekarang hidupnya sudah lebih dari cukup meski tidak terlalu baik. Ia tidak ingin lebih terluka. Meski rumahnya tidak cukup layak disebut sebagai rumah. Cukup rumahnya yang tidak pernah tenang, cukup mama yang selalu berada disisinya. Hanya itu.

"Mbak? Permisi, mbak?"

"Ah, iya maaf. Mau pesan apa?" Ucapnya ramah sembari memperlihatkan senyum lebarnya.

Oke, Jian ini bukan waktunya ovt yang dulu-dulu. Lo harus fokus.

•••

Jangan lupa untuk tersenyum hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa untuk tersenyum hari ini.

Terimakasih.

SEGITIGA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang