Bab 8

716 78 3
                                    

Zee meremas tangannya yang saling bertautan dengan gelisah. Kedua matanya tidak lepas memperhatikan pintu kamar mandi yang masih tertutup rapat.

Sesekali tubuhnya pun bergerak gelisah. Terlihat sekali dia tidak nyaman duduk di tempatnya. Sampai pintu kamar mandi benar-benar terbuka, menampilkan tubuh tegap Zay yang berbalut handuk sebatas pinggang. Zee memalingkan wajahnya. Mendadak wajahnya terlihat memerah karena melihat tubuh bagian atas Zay yang terpampang jelas.

Tidak biasanya pria itu keluar dari kamar mandi hanya dengan menggunakan handuk. Karena dia biasanya akan keluar dengan tubuh yang sudah berganti pakaian di dalam sana.

Wajah Zee kain memerah begitu Zay melewati ruang tamu, berjalan ke arah kamar tanpa melirik ke arahnya sedikit pun.

Tanpa sadar tangan Zee pun bergerak, menyentuh dadanya yang berdetak kencang seakan ingin lepas dari tempatnya begitu indra penciumannya mencium aroma harum tubuh  pria itu yang benar-benar memabukkan.

Mengabaikan itu, Zee pun memilih bangkit dari duduknya. Melangkah ke luar rumah dengan sedikit tergesa-gesa.

Dia malu jika nanti Zay melihat wajahnya yang memerah. Belum lagi jika pria itu mendengar detak jantungnya yang seakan ingin lompat dari tempatnya.

Kenapa sih, Zee bersikap seperti ini? Jangan bilang semua ini hanya karena ATM yang diberikan pria itu? Jika iya, murahan sekali Zee. Tidak salah jika selama ini Zay menganggapnya begitu. Karna nyatanya Zee memang semurah itu. Ck,

"Eh, dek Zee. Pas banget ketemu di sini."

Langkah Zee berhenti sejenak. Menatap Anisa yang kini berdiri di teras rumahnya dengan pakaian khas rumahannya dengan wajah bingung.

"Bu Anisa, ada apa?" Tanyanya. Melangkah mendekat. Berdiri tepat di depan Bu Anisa yang kini mengulurkan sebuah kertas ke arahnya.

"Ini ... apa, Bu?"

"Itu undangan, Zee. Jadi ibu-ibu kompleks mau buat perlombaan di lapangan sana." Tunjuknya ke arah jalan.

"Nah, perlombaan ini itu biasanya di lakukan kita untuk lebih mempererat hubungan para tetangga kompleks aja, Zee. Karena kamu di sini baru. Jangan lupa untuk datang, ya? Biar bisa kenal dengan tetangga yang lain juga."

Zee membolak-balik kertas undangan di tangannya. Lipatan di keningnya kian banyak ketika melihat undangan itu bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk Zay. Yang notabennya sangat tidak mungkin bisa Zee seret kesana dengan suka rela mengingat sifat pria itu yang sangat menyebalkan bin menjengkelkan.

"Emangnya harus sama suami juga, Bu?"

"Loh, ya iya, to. Ini itu bagus untuk hubungan rumah tangga agar lebih harmonis. Jadi nanti kita akan saling menunjukkan kasih sayang pasangan satu sama lain."

Zee hampir saja berdecak. Namun buru-buru tersadar karena bu Anisa terus memperhatikan wajahnya.

Harmonis? Romantis? Zay dan dirinya? Ck, mustahil! Zee hampir terbahak membayangkannya.

Dia yakin, Zay bukannya pergi dengannya jika Zee mengatakan hal ini. Tapi dia pasti akan langsung mengusir Zee dengan kejamnya jika saja dia berani mengajak pria itu. Karna dia yakin, Zee akan dianggap sebagai orang yang sudah berani memasukkannya dalam masalah. Pria jutek itu, mana mungkin bisa berbaur dengan para manusia normal. Dia kan reingkarnasi kulkas dua pintu.

Hidupnya selalu datar dan tak punya hati. Punya pun, mungkin hanya sedikit. Sebesar biji ketumbar.

"Saya gak bisa janji ya, bu. Soalnya suami saya sibuk kerja, takutnya sempat untuk ikut pergi ke sana." Zee tersenyum sungkan. Kembali menyodorkan undangan di tangannya ke pada Anisa. Yang buru-buru di tolak dan kembali di dorong ke arahnya.

(Mrs. Sanjaya) Wedding in ChaosTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang