Bab 8

1.7K 46 3
                                    


"Tercatat dari hari ini. Senin, tanggal tiga puluh November. Tahun 2020, saudara Cakra Winata dan saudari Aliya Rahmani. Resmi bercerai!"

~•°•~

Aku hidup, tapi tubuhku seolah tidak bernyawa. Langkahku pelan memasuki Panti Asuhan. Tiba-tiba saja aku merasa asing dengan tempat ini.

Apakah karena tempat ini yang berubah, atau akulah yang menjadi pribadi yang berbeda?

Ibu Merry yang sedang menyapu halaman menatapku. Wanita paruh baya itu berjalan menghampiriku.

"Aliya?"

"Aliya, apakah kamu baik-baik saja?"

Aku mengangguk sambil mengusap air mata yang mengalir, kemudian masuk ke dalam tanpa mengucapkan sepatah kata.

Tepat setelah menutup pintu, tubuhku luruh ke lantai.

"Mas Cakra. Haaaah!"

Hatiku perih, rasanya sakit sekali.

"Tuhan? Takdir apa ini. Aku sudah lakukan semuanya. Tapi kenapa engkau berikan ini padaku. Kenapa? Katakan."

"Kenapa engkau hadirkan ia, seolah-olah ia adalah sosok yang mampu meneduhkan hatiku. Kenapa engkau hadirkan dia, seolah dirinya adalah perisaiku. Kenapa di hatiku engkau tanamkan cinta untuknya, jika akhirnya harus terpisah. Kenapa Tuhan? Kenapa!"

Aku semakin terisak. Perceraian ini adalah fakta yang tidak pernah kuharapkan.

Mas Cakra, ia adalah cinta pertamaku. Sekaligus menjadi patah hati terhebat sepanjang perjalanan yang aku lakukan. Dia, sosok yang aku idam-idamkan menjadi imam untuk aku dan anak-anakku, kini justru berakhir sebagai mantan suamiku.

Cinta yang aku harap mampu menciptakan keindahan layaknya taman surga. Ternyata tidak lebih dari panah beracun yang menancap kuat sampai ke dasar hatiku.

Aku patah, layaknya tangkai mawar yang mengering terbakar bara api. Kelopaknya berguguran memeluk tanah. Kemudian tersapu angin hingga berserak.

Hatiku. Bagaimana lagi harus kujelaskan tentang keadaan hatiku. Bagaimana harus kuutarakan rasa yang bergejolak di sana. Perumpamaan apa lagi yang bisa menjelaskan keadaan ini.

Aku tidak tahu.

Tapi yang jelas hatiku hancur.

***

Puas sudah aku meratapi cinta yang tidak berpihak padaku. Puas sudah menyalahkan takdir yang seolah-olah sendang mempermainkanku.

Tubuhku bangkit, meraih koper di atas lemari. Membereskan semua pakaian. Aku akan pergi meninggalkan tempat ini.

"Aliya, kamu mau ke mana, nak?" tanya Bu Merry.

Aku membisu. Rasanya tidak sanggup menjawab pertanyaan sesederhana itu.

"Nak." Kurasakan sentuhan di bahuku.

Aku hanya menggeleng. Ibu menarikku ke dalam pelukannya. Diusapnya lembut puncak kepalaku. Air mata mengalir, tapi segera kuhapus.

"Ibu tidak akan mencegah, Nak. Ibu hanya minta, agar kamu menjaga diri di luaran sana," pintanya yang aku balas dengan anggukan.

"Aliya!"

Aku menoleh, melihat siapa yang datang dan memanggilku. Elma?

"Aliya, aku tahu kamu sudah bukan istri Cakra lagi. Tapi keluarga kami sudah sangat dekat, Ibuku sudah menganggap kamu sebagai anaknya juga. Maka, demi hubungan dekat itu, aku ke sini mengantar undangan pernikahan adikku Cakra, untukmu. Aku harap kamu bisa datang," ucap Elma. Mantan kakak iparku.

Dia mengulurkan undangan bersampul merah tua, gemetar tanganku menerimanya.

"Ya udah, itu aja. Aku pergi dulu, ya. Masih banyak yang harus kuberi undangan. Bye Aliya!" Mantan kakak iparku tersenyum penuh kemenangan.

Aku hanya menatapnya, wanita itu pasti sangat bahagia melihat aku dan Mas Cakra resmi bercerai.

"Aku pergi, Ibu," ucapku saat menoleh menatapnya. Ia mengangguk.

Langkahku mantap meninggalkan panti asuhan. Tempat aku hidup dan dibesarkan selama ini.

Selamat tinggal, masalalu.

***

Bersambung ....

Tragedi Bercak DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang