Bab 9

1.7K 50 2
                                    

"Aliya, aku tahu kamu sudah bukan istri Cakra lagi. Tapi keluarga kami sudah sangat dekat, Ibuku sudah menganggap kamu sebagai anaknya juga. Maka, demi hubungan dekat itu, aku ke sini mengantar undangan pernikahan adikku Cakra, untukmu. Aku harap kamu bisa datang," ucap Elma. Mantan kakak iparku.

~•°•~

Mataku kabur, tertutup kaca-kaca seperti embun. Melihat undangan yang bertuliskan nama Cakra Winata dan Sifa Atmaja.

"Jadi, wanita yang bersamanya saat itu namanya Sifa Atmaja," gumamku pelan.

"Nama yang cantik," tambahku sambil membuang undangan ke dalam tempat sampah.

Melanjutkan langkahku ke luar gerbang. Langkahku terhenti oleh dering handphone di tanganku.

"Mas, Cakra," aku bergumam.

"Halo?" Sapaku pada sosok di seberang.

"Halo Aliya, Aku sudah tahu alasannya. Maafkan aku. Aku mohon, maafkan aku. Aku siap dengan hukuman apapun, asal kamu jangan tinggalin aku Aliya."

"Cakra," ucapku lirih.

"Jaga diri baik-baik. Semoga pernikahanmu lancar, dan pastinya gadis itu masih perawan. Persis seperti yang kamu inginkan," tambahku menekan rasa sesak di dalam dada.

"Aliya, apa yang kamu katakan. Aku tidak ingin menikah. Aku ingin kamu kembali Aliya, hubungan kita baru saja di mulai. Jangan pergi Aliya, aku mohon." Kudengar suara Mas Cakra sangat parau.

"Hubungan yang sudah berakhir, itu maksudmu? Jangan bercanda Mas. Aku paham agama. Kita sudah bercerai dengan talak tiga."

"Aliya, aku mohon ...."

"Selamat tinggal, Mas."

Kumatikan sambungan telepon. Menghentikan taksi yang melintas, yang langsung membawaku pergi meninggalkan panti asuhan.

Aku bisa melihat mobil Mas Cakra berpapasan dengan taksi yang aku tumpangi.

Teleponku masih berbunyi, pria itu tidak berhenti menelponku. Untuk apa? Semuanya sudah terlambat.

Rasa sesak memaksaku meraih handphone, mengeluarkan kartu kemudian mematahkannya.

Aku pergi.

***

Pov Cakra

Pulang dari pengadilan aku bersama kakakku, Elma dan calon istri yang Elma pilihkan untukku, mampir di sebuah warung es degan.

"Kak, aku ke kamar mandi dulu, ya," ucapku pada Kak Elma.

"Jangan lama-lama, kasihan Sifa nanti nungguin." Kak Elma tersenyum, ia mengerlingkan matanya menggoda.

Kulirik Sifa yang sedang tersipu karena ucapan Kak Elma. Cantik. Tapi entah kenapa aku tidak bisa jatuh hati padanya. Aku mengangguk, kemudian bergegas pergi ke kamar mandi.

Di ruangan kecil ini aku menangis. Tangis yang sejak tadi aku tahan, aku sangat mencintai Aliya. Tapi dia justru tega membohongiku, andai saja dia berkata jujur. Aku sudah pasti bisa menerimanya dengan baik.

Aku teringat perkataan Kak Elma satu hari sebelum pernikahan. Saat itu aku sedang mencoba pakaian yang akan aku gunakan untuk ijab esok hari.

Kakak perempuanku itu masuk dengan wajah muram.

"Ada apa, Kak? Kok sedih begitu?" tanyaku.

"Bagaimana Kakak enggak sedih? Melihat adiknya akan menikahi wanita mantan pel*cur!"

"Maksudnya, Kak?" Aku terkejut dengan ucapan Kak Elma. Bagaimana mungkin Aliya itu seorang mantan wanita penjaja.

"Iya, Aliya itu mantan pel*cur. Dia sudah nggak perawan, secara dia kan mantan itu. Jadi ya, kakak sedih lihat adik satu-satunya harus nikah dengan wanita seperti itu."

"Kakak jangan ngawur, ya!" bentakku tidak terima.

"Aku berkata jujur Cakra, mana mungkin Kakak ini bohongin kamu."

"Aku nggak percaya, lebih baik sekarang Kakak keluar dari kamar aku." hardikku mengusirnya dari kamar.

"Baik, tapi jika ucapan Kakak nanti terbukti. Jangan pernah menyesal!" ucapnya sambil membanting pintu.

Aku diam, pikiranku kacau. Ucapan Kak Elma terus terngiang. Meskipun ragu, aku memilih melanjutkan pernikahan ini.

***

Bersambung ....


Tragedi Bercak DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang