Bab 6

1.6K 46 4
                                    


"Begini Bu, saya datang bersama Ayah dan Ibu, untuk menjalankan iktikad baik. Sesuai anjuran Rasulullah, saya ingin membangun bahtera rumah tangga bersama Aliya. Tentunya jika Ibu mengizinkan," ucapnya lembut namun tegas.

~•°•~

[Datang ke kantor pengadilan hari ini. Kita akan melaksanakan sidang perceraian yang pertama. Jangan persulit proses sidangnya]

Aku terbangun karena bunyi gawai yang ada di atas bantalku.

'Mas Cakra.' batinku bersemangat.

Kantuk seolah hilang begitu saja. Berganti dengan binar penuh harap. Segera kubuka pesan darinya.

Binar di mataku redup. Hatiku panas, dadaku bergemuruh. Sakit, aku menangis terisak-isak.

Mas Cakra sudah melayangkan gugatan cerai, dan hari ini adalah sidangnya.

[Akan aku permudah, tapi kita harus bertemu. Empat mata.]

Balasku menekan rasa sakit dalam dada. Ini adalah kesempatan terakhir untukku dan dirinya. Entah talak ke tiga atau kata rujuk yang akan terucap dari bibirnya. Aku tidak peduli.

Aku hanya ingin memberitahukan kebenarannya.

[Oke, di mana?]

[Tempat biasa]

[Oke, sekarang?]

[Ya]

Pesan terakhirku hanya dibaca saja. Aku segera menyambar handuk untuk mandi. Kemudian pergi ke taman, tempat biasanya aku dan Mas Cakra berjumpa.

Tidak lama aku sudah keluar dari panti. Menyetop taksi di depan, kemudian membiarkan taksi ini membawa tubuhku menemui Mas Cakra.

Suasa pagi di tempat ini cukup dingin. Kabut menghadang jalanan yang sedikit lengang. Hatiku harap-harap cemas setiap memikirkan Mas Cakra.

Dari sini bisa kulihat taman sudah sangat ramai. Orang-orang punya kebiasaan sebelum berangkat bekerja akan berolahraga pagi di tempat ini.

Beberapa tampak berlari-lari kecil mengelilingi taman. Ada juga yang sibuk bermain basket dan sepatu roda di tempat-tempat yang sudah disediakan.

Kuedarkan pandangan ke sekeliling taman. Mencari keberadaan Mas Cakra, pria itu masih belum nampak batang hidungnya.

"Kenapa dia belum datang," gumamku pelan.

Aku terus berjalan mengelilingi taman. Kulihat wajah tampan itu sedang menungguku di samping air mancur.

"Ternyata dia di sini. Aku pikir belum datang." Aku bergegas menghampirinya.

Pandangan kami bertemu. Desir-desir itu masih terasa. Aku berlari ke arahnya, seolah lupa dengan apa yang terjadi. Tubuh ini menghambur ke dalam pelukannya.

Mas Cakra membalas pelukanku, kami sempat terseret suasana untuk sesaat.

"Jangan berikan aku talak ke tiga," ucapku tanpa sadar.

Saat itulah bisa aku rasakan tubuh Mas Cakra kaku. Tangan kelasnya menarikku dari pelukannya. Menjauhkan tubuhku dari tubuhnya.

Aku terpaku.

"Jangan bermimpi dengan mata terbuka di hadapanku, Aliya. Karena kau akan terbangun dengan cara yang menyakitkan." Ucapan datar yang membuatku bagai disambar petir di siang hari.

"Mas, Cakra."

"Ya, Aliya! Dengarkan aku baik-baik. Aku tidak mencintaimu lagi. Jadi berhenti berpikir bahwa aku akan kembali padamu."

"Tidak perlu membenciku sebesar itu Mas Cakra. Aku tahu aku salah tidak memberitahumu, tapi_"

"Tapi apa!" bentaknya kasar. Tubuhku terlonjak ke belakang.

Beberapa orang yang lewat di dekat kami pun sempat menoleh untuk sesaat. Kemudian kembali acuh tak acuh.

"A-aku ...."

"Cukup Aliya! Aku sudah tidak memiliki kesabaran lagi untukmu. Hari ini juga, dengarkan aku baik-baik."

Tubuhku menegang. Aku sangat tahu apa yang akan diucapkan oleh Mas Cakra.

"Aliya Rahmani."

"Ya Mas Cakra, aku mendengarkan," ucapku berusaha tegar.

"Aku ... aku ... aku Cakra Winata, memberi Aliya Rahmani. Talak!"

Duar!

Tubuhku kaku, kulihat air mata mengalir di wajah Mas Cakra. Namun hal itu sudah tidak berarti lagi bagiku.

Mas Cakra memberiku talak ke tiga. Wajah yang bersimbah air mata itu berlalu meninggalkanku.

Aku hancur, hatiku hancur. Tubuhku luruh ke lantai taman. Sakit. Sesak.

"Ayo, Mas Cakra." Sayup-sayup kudengar seseorang mengajak Mas Cakra pergi.

Seorang wanita, namun aku tidak tahu siapa. Meski sangat penasaran, namun aku memilih untuk tidak menoleh. Hari ini, setelah talak ke tiga yang Mas Cakra ucapkan. Ia dan semua kenanganku telah terkubur dalam ruang yang aku sebut sebagai MASALALU.

***

Bersambung ....

Tragedi Bercak DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang