Bab 4

2.6K 58 0
                                    

"Karena apapun yang kamu katakan, tidak akan pernah merubah keputusanku. Ini bukan hanya soal kamu masih perawan atau tidak. Tapi ini tentang harga diriku, Aliya! Aku tidak bisa membiarkan harga diriku kamu injak begitu saja."

~Cakra Winata

~•°•~

"Tapi, Mas Cakra. Setidaknya dengarkan aku dulu. Aku_"

"Cukup Aliya! Cukup." Lagi-lagi ucapanku dipotong olehnya.

"Mas, tolong. Setidaknya dengarkan aku lebih dulu." Aku memohon.

Dia tidak bergeming, matanya bahkan tidak menatapku.

"Mas, aku_"

Ia mengangkat tangan kanannya. Isyarat agar aku berhenti berbicara. Wajah itu sangat dingin, tubuhnya mendekat, menghapus jarak diantara kita. Matanya menatapku tajam, entah kenapa aku merasa tatapannya seperti sebuah belati yang menusuk palung hati.

"Aliya Rahmani, aku Cakra Winata memberimu talak kedua. Mulai sekarang pergilah jauh dari hidupku. Jangan pernah muncul di hadapanku lagi," ucapnya datar.

"Mas ...."

Kuraih kedua tangannya, meremas pelan. Berharap ia merasakan getir yang aku rasakan. Pria ini sempat membalas tatapanku sendu.

"Mas Cakra!" teriak seorang perempuan yang tadi bersamanya.

"Pergi, Aliya!" Tangan itu mendorongku kasar. Tubuhku terdorong kebelakang. Lalu seolah tidak peduli denganku, ia pergi meninggalkanku.

Aku masih berdiri di sini, di hadapan rumahnya. Berharap tubuh kekarnya keluar, namun nihil. Pintu rumah itu bahkan tidak pernah terbuka.

Aku pergi, membawa kekecewaan yang sangat besar kepada suamiku. Kini, hanya tinggal satu talak lagi. Maka aku dan Mas Cakra tidak akan pernah bisa bersama lagi.

***

"Assalamualaikum," ucapku sambil memasuki pintu panti asuhan.

"Waalaikumsalam, Nak. Kamu sudah pulang?" tanya Bu Merry menjawab salamku.

"Ibu, dia tidak mau mendengarkanku, Bu. Hiks hiks hiks." Tangisku pecah.

Tubuhku bersandar padanya, Ibu Merry memelukku erat. Kurasakan usapan lembut tangannya di kepalaku.

"Ada apa Aliya," tanyanya sambil terus mengusap kepalaku lembut.

"Mas Cakra menolak untuk mendengarkanku. D-dia ... masih kekeuh menganggap aku sebagai mantan pel*cur. Aku harus bagaimana, Bu." Aku terisak, keputusan Mas Cakra sangat membuatku merasa hancur.

"Aliya, tenanglah." Ibu membingkai wajahku, matanya meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.

"Aliya," ucapnya lembut. "Cakra akan tahu kebenarannya. Masih ada satu kesempatan lagi. Hubungan kalian akan baik-baik saja. Saat tahu kebenarannya, ia pasti akan mengerti Aliya. Cakra adalah anak yang baik. Biarkan Ibu yang bicara."

"Tapi Bu_"

"Sudah Aliya, kali ini dengarkan Ibu," potongnya. "Kamu percaya sama Ibu?"

Aku mengangguk, aku sangat mempercayai Ibu Merry. Namun aku akan tetap berusaha agar Mas Cakra mau mendengarkanku.

Aku hanya butuh dia mendengarkanku. Setelah ia mendengar semuanya, dan keputusannya tidak berubah. Maka aku tidak akan pernah memperjuangkannya lagi.

"Aliya ke kamar dulu ya Bu."

"Baiklah, kamu istirahat saja. Semua akan baik-baik saja, sayang."

Bu Merry mengecup puncak kepalaku. Aku tersenyum. Meski getir kurasakan di setiap sudut bibirku.

Cklek.

Pintu kamar terbuka. Tanganku meraba dinding, mencari saklar dan menyalakannya.

Seketika kamar menjadi terang, kakiku lemas melangkah masuk. Sekilas kulirik fotoku dan Mas Cakra saat masih berteman dulu.

Benar, aku dan Mas Cakra berteman beberapa bulan sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.

Pria itu dengan penuh keberanian menyatakan lamarannya di hadapan Ibu panti. Saat itu aku terkesiap dengan keberanian dan ketulusannya.

Kini, hatiku masih sangat tidak percaya bahwa dirinya bisa berlaku sekejam ini.

***

Saat itu ....

[Aliya, aku akan datang ke panti. Kamu tunggu aku di sana, ya. Aku ingin berbicara penting denganmu, juga Ibu.]

Sebuah pesan datang dari Mas Cakra. Aku tersenyum saat membaca isi pesannya. Tidak ingin membiarkan dirinya menunggu, segera kuketik balasan untuknya.

[Iya, Mas. Aku akan memberitahu Ibu. Hati-hati di jalan.]

Masuk lagi pesan balasan darinya.

[Siap Ibu peri.]

Lagi-lagi bibirku tersenyum, ia selalu saja memanggilku ibu peri. Meski sudah berkali-kali kularang, ia tetap saja kekeuh dengan keinginannya. Keras kepala.

Tidak kubalas pesan Cakra. Diriku langsung berlari kecil ke kamar ibu. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, akhirnya pintu kamar ibu terbuka.

"Ada apa Aliya? Kenapa kamu kelihatan sangat bahagia?" tanya Bu Merry.

"Iya Bu, Mas Cakra akan datang malam ini. Katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan sama aku dan Ibu." Aku tersenyum riang.

"Apa benar itu, Nak? Ya sudah kalau begitu Ibu siap-siap dulu, kamu juga ya."

"Iya, Bu." Aku langsung berlari ke kamarku. Bersiap-siap untuk menyambut kedatangan Mas Cakra.

***

Bersambung ....

Tragedi Bercak DarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang