19. Keluarga

321 138 15
                                    


Aku menunggu Soren turun dari tempat tidur dan melakukan senam seperti biasa, tetapi pria itu hanya tepekur di kasur sambil menatap ponselnya. Ini tidak biasa.

"Soren? Kau kenapa?"

"Ada missed call. Dari Meg."

Soren selalu mematikan ponselnya saat dia tidur. Selama tiga minggu tinggal dengannya, aku hampir tak pernah melihatnya menerima panggilan telepon, dan kalau pun pernah, dia pasti tidak akan mengangkatnya. Dia tak suka ditelepon.

Aku mengeringkan tanganku di serbet dan membawa sarapanku ke meja tengah (Soren tidak pernah sarapan). "Kenapa tidak kau telepon baik?"

"Aku tidak mau."

"Memelototi call log itu tidak akan memberitahumu apa-apa, lho."

"Kenapa Meg tidak mengirimkan pesan saja? Atau voice mail."

"Mungkin urusan mendesak?" Kalau dia sebegitu enggannya ditelepon, aku tidak mengerti kenapa dia punya ponsel. "Biasanya orang yang terburu-buru tidak punya waktu untuk mengirimkan pesan."

Soren menimang-nimang ponselnya sambil memberenggut.

"Kau mau aku yang menelepon Meg?"

"Ti-tidak usah. Aku..." Soren mendesah keras. "Akan telepon dia."

Nah, begitu dong. Kan selesai urusan.

Aku menuang sirup di atas panekuk bikinan sendiri dan membiarkan sirupnya meresap sebelum memotongnya. Uuh, aroma panekuk ini sungguh menggoda! Bukannya aku narsis, tetapi semua orang yang sudah merasakan masakanku—termasuk para tetangga di The Swindle dan Meg—mengakui bahwa rasa masakanku lezat. Tinggal Soren yang belum bilang begitu, karena dia tak pernah makan makanan buatanku. Padahal dia membeli bahan makanan. Mungkin Soren takut diracun. Entahlah. Menurutku dia makan tengah malam, saat aku sedang tidur. Aku tidak mau terlalu ambil pusing. Kalau Soren minta, aku siap membuatkan menu spesial untuknya.

TING TONG!

Aku dan Soren sama-sama terlonjak. Ponsel Soren terlontar, dan dia cepat-cepat meraupnya lagi untuk mengecek siapa yang datang.

"Meg," katanya.

Oho, pas sekali. Kebetulan masih ada sisa adonan panekuk yang belum kubuat. "Akan kubukakan."

"Tu-tunggu!" Soren berubah pucat, ekspresinya merupakan campuran bingung dan marah. "Kenapa Meg datang pagi-pagi begini? Aku baru bangun, dia tidak memberi kabar... Tidak sopan bertamu tanpa bilang-bilang."

"Missed calls itu, ingat? Pasti Meg mencoba memberitahumu."

Soren mengernyit, seakan kata-kataku tadi adalah sebuah rumus Fisika kuantum yang rumit. Aku tidak mengacuhkannya dan pergi membukakan pintu.

"Eva! Syukurlah!"

Meg menghambur masuk. Pakaiannya basah kuyup, rambutnya yang pink seperti gula-gula kapas kusut, sarung tangannya tidak sepadan, dan kacamatanya berkabut karena uap napasnya. Sepertinya dia langsung ke sini setelah bangun tidur.

"Meg, kau kenapa?"

Meg bersandar di dinding dan mengangkat tangannya, mengisyaratkanku untuk memberinya waktu. Soren datang tergopoh-gopoh dari dalam, rambut di belakang kepalanya yang sudah agak panjang, mencuat tegak.

Saving Soren Adam [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang