#3 Sebuah Narasi

101 21 9
                                    

          Yoshef, pria yang selalu mengukir senyuman yang indah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


          Yoshef, pria yang selalu mengukir senyuman yang indah. Namun matanya tidak bisa berbohong jika lelaki itu sedang menahan jutaan kesedihannya.

Di depannya tertera jelas sebuah papan nama besar bertuliskan Panti Asuhan Masyarakat. Langkah kaki Yoshef berhenti dua puluh langkah sebelum dirinya sampai di depan gerbang panti asuhan itu.

Yoshef hanya bisa memandangi panti asuhan dari kejauhan.

Tidak, ini bukan panti asuhan tempat Yoshef dibesarkan. Ini panti asuhan tempat Aidan dirawat.

Aidan Maartjé, adik kandung Yoshef.

Sudah lama sejak dirinya tak pernah muncul dan bertemu dengan Aidan, perasaannya dilumuri oleh rasa bersalah, bahkan kedua kakinya tak mampu melanjutkan perjalanannya untuk memasuki panti asuhan itu.

Yoshef menggenggam erat sebuah surat yang baru ia baca di depan panti asuhan ini.

Surat pemberian Emmilah.

Yoshef memejamkan sepasang matanya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh mengenai pipinya.

Sesekali pemuda itu menatap gerbang panti asuhan ini, mengingat kembali bagaimana dia meninggalkan adik kandungnya yang masih berumur kurang dari satu tahun untuk masuk ke panti asuhan.

Tak ada pilihan lain bagi Yoshef, lelaki itu menarik nafasnya dalam-dalam, untuk berusaha tegar karna hari ini ia harus kembali bekerja di toko buku, apalagi dengan Emmilah yang sudah menulis surat jika wanita itu akan kembali ke toko buku untuk bertemu dengan Yoshef.

Kedua tangannya berusaha menghapus jejak air mata yang telah terjatuh. Matanya sembab, bahkan bulu matanya yang lentik sudah basah, tapi pemuda itu masih berusaha tersenyum agar terlihat baik-baik saja.




-1975-





        Hampir sekitar satu jam Emmilah menunggu kehadiran sang lelaki di depan toko buku ini, namun seorang yang dicari tak kunjung datang juga.

Bahkan sudah dua kali Emmilah bertanya pada orang-orang yang bekerja di sini, jawabannya hanyalah seputar 'saya tidak tahu.'

Emmilah tidak berbohong jika ia mulai kesal menunggu Yoshef, padahal hari ini Emmilah telah mengenakan pakaian berwarna biru tua, baju kesukaannya yang sangat ingin ia perlihatkan pada lelaki itu.

"Saya akan pulang jika lelaki itu masih belum datang pada hitungan ke-sepuluh." Ucap sang gadis.

"Satu, dua, tiga, empat..."

1975 ; YoshinoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang