#4 Berdua Saja

71 19 5
                                    

14 Januari 1975

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

14 Januari 1975.

Kebun apel. 

Tempat dimana Emmilah dan Yoshef berpijak kaki saat ini, tempatnya tak ramai dikunjungi banyak orang, membuat suasana terasa sepi karna hanya ada dua insan yang kini masih terdiam membeku dan tak mengucapkan sepatah kata apapun.

Rasa canggung yang masih berada dalam tubuh Emmilah, membuat gadis itu tidak berani membuka mulutnya. Lain lagi dengan Yoshef, pemuda dengan manik berwarna hijau ini nyatanya memang tak banyak bicara.

Angin yang bersama mereka masih tetap tetap setia menemani keheningan ini, ekspektasi Emmilah sedikit dihancurkan, padahal wanita itu telah memakai gaun kesayangannya, tapi Yoshef sama sekali tak menyinggung tentang itu. Entah dia tidak menyadari, atau hanya sekedar tidak peduli.

"Apa Emmilah ingin bermain sebuah permainan?" Tanya lelaki itu mulai membuka suara.

"Permainan? maksudmu permainan?"

"Emmilah membawa sebuah pena dan kertas bukan? mari kita menulis sebuah permintaan untuk masa depan nanti." Jelas Yoshef.

Setelah mendengar penjelasan yang keluar dari mulut Yoshef, gadis itu akhirnya mengeluarkan sebuah pena dan kertas yang daritadi hanya diam di dalam tas.

Diambilnya pena dan kertas itu oleh Yoshef segera, sang pria langsung menulis beberapa kata tanpa sepengetahuan Emmilah, "Giliran Emmilah, tulislah permintaan mu di kertas ini." Ujarnya setelah selesai menulis. "Oh iya... saya hampir lupa, surat ini bersifat rahasia ya, jangan biarkan orang lain tahu surat ini bahkan saya sekalipun." Lanjutnya.

"Rahasia? lalu bagaimana nanti saat kita ingin membukanya? ini sama saja seperti kita membuat surat untuk diri senidri." Keluh Emmilah sembari mengerutkan dahinya.

Yoshef terkekeh lalu segera menarik nafas lebih dalam untuk menjelaskan permainannya kembali secara lebih detail.

"Surat ini bersifat rahasia hanya dalam jangka waktu setahun. Mungkin sekarang saya tidak tahu apa yang Emmilah tulis begitupun sebaliknya, tapi kita bisa membuka surat ini bersama-sama pada tahun 1976."

Kini Emmilah sudah lumayan paham apa yang dimaksud oleh Yoshef, dan pikirannya pun sedikit menarik. Ini pertama kalinya Emmilah mendengar sebuah permainan asing, namun apa salahnya mencoba? 

"Bagaimana bisa Yoshef menemukan permainan ini? bahkan saya baru mendengarnya." Tanya Emmilah melakukan kontak mata dengan sang pria.

"Saya pernah bermain ini saat masih kanak-kanak."

"Dengan siapa?"

"Dengan Jachendra." Jawabnya santai, "Jachendra... orang yang datang sembrono pada toko buku kemarin lalu." Lanjutnya.

Sementara itu kini Emmilah terdiam, banyaknya sekali misteri yang lelaki itu simpan, membuat rasa penasaran Emmilah semakin menjadi. Sudah pertemuan ketiga kalinya namun kepribadian Yoshef sanghat sulit di tebak, mungkin Emmilah harus berhati-hati saat menanggapi Yoshef agar pria itu tak tersinggung.

"Saya akan menulis di kertas itu sekarang." Lafal Emmilah berusaha tak menyinggung topik tentang Jachendra. Mendengar namanya saja sudah sangat menyebalkan, Emmilah harap dia tidak akan bertemu dengean lelaki seperti Jachendra kembali.





1975







Rumah katanya, tempat dimana Yoshef dan Jachendra tumbuh bersama hingga 'sempat' menjadi saudara terdekat dengan canda tawanya. 

Mengingat kembali bagaimana terjadinya sebuah pertemuan yang melibatkan dua kutub yang kini saling bertentang. Yoshef dan Jachendra, dua manusia paling bahagia kala itu, dibesarkan oleh keluarga yang sama namun dengan cara yang berbeda. 

Yoshef, seorang anak emas yang paling dijaga keberadaanya, daging sapi, soup, dan hidangan lainnya menjadi santapan nikmat untuk Yoshef.

Dan,

Jachendra, jika diceritakan dengan nyata, mungkin sisa makanan milik Yoshef adalah suatu nikmat yang tak bisa ditandingi bagi Jachendra. Pemuda yang selalu memakan nasi sisa tanpa lauk sejak umur empat tahun. Kebahagiaan sederhananya adalah dapat memakan sisa makanan milik Yoshef, karna hanya sisa makanan milik Yoshef yang masih memiliki beberapa lauk.

Entah mengapa perlakuan kedua orangtuanya sungguh berbeda drastis, padahal Yoshef dan Jachendra adalah kedua anak yang lahir di keluarga yang sama, ibu yang sama, bahkan ayah yang sama.

Namun kala itu Jachendra tak pernah lupa untuk bersyukur karna masih bisa bernafas walaupun hidup dengan penderitaan.

Bagaimana dengan Yoshef? tentu saja ia bukanlah seorang pemuda yang jahat, bahkan di titik terendah bagi Jachendra, hanya Yoshef lah yang menemaninya. Dulu mereka adalah kakak-adik yang paling sulit untuk dipisahkan, kedua insan itu saling membutuhkan satu sama lain, bahkan merekapun bisa menerjang sekumpulan masalah bersama, keduanya selalu saling mendukung hingga menciptakan kebahagiaannya sendiri tanpa tuntutan dari orangtua.

Namun, apa yang dilakukan Yoshef dan Jachendra selama ini tak mempan untuk menghasilkan akhir yang bahagia, persaudaraan mereka terputus saat terjadi kesalahpahaman, kebahagiaan yang mereka ukir kini telah sirna.

Siapa sangka, ternyata dibalik terkenalnya keegoisan dan keserakahan dari Jachendra, lelaki itu dulunya adalah seorang anak yang menyimpan banyak luka. Caci makian yang telah Jachendra dapat sejak kecil menjadi senjatanya saat ini. Dirinya yang saat ini sama sekali tak pernah berharap untuk berdamai dengan Yoshef, masa lalunya. 









 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
1975 ; YoshinoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang