"Kamu istirahat sana, daripada tambah bengkak tuh!" pintaku pada Bayu usai mengoleskan tumbukan sereh dan kemiri yang telah dipanaskan untuk mengatasi bengkak karena terkilir. Kemudian, membebatnya dengan potongan kain panjang dengan tidak terlalu erat supaya peredaran darah tetap terjaga.
Selama di sini, aku bisa belajar banyak hal untuk memanfatkan tanaman sebagai pengobatan jika sewaktu-waktu obat medis tidak bisa kami temukan. Kalau pun ada, kebanyakan obat-obatan yang terbengkalai di fasilitas kesehatan telah mencapai tanggal batas penggunaan.
"Masih sakit?" tanyaku lagi melihat raut muka Bayu merintih.
Lelaki berambut ikal itu mengangguk. "Untung aku masih bisa menahan sakit setelah dikejar mereka, San."
"Lain kali, biar Kayro sama Banyu aja yang pergi. Atau Kayro sama Jarak ehm maksudku Gilang."
Untuk beberapa saat kami terdiam jika menyebut nama asli Jarak yang masih terdengar asing. Pertemuanku dengan mereka tidaklah mudah, apalagi dengan banyak hal buruk yang sudah terjadi. Jarak atau yang kini memiliki nama asli Gilang, lebih suka bergelut dengan tanaman daripada menyusuri wilayah untuk mencari persediaan makanan.
Tidak dipungkiri, kehilangan Deka beberapa tahun lalu membuat trauma besar di hati lelaki sawo matang itu. Walau dia dekat dengan Icha--anak Rianita--tatapan Gilang tidak bisa dibohongi bahwa dia amat merindukan sosok berambut seperti batok kelapa, Deka.
"Kita harus biasakan diri, Yu. Kita sudah di sini selama beberapa tahun," ucapku membereskan alat-alat medis untuk dicuci kembali. "Ah, iya, untuk air sepertinya kita harus berhemat. Hujan kayaknya belum juga turun ya."
Bayu mengangguk membenarkan. "Ya, air sungai yang aku temui sama Banyu kebanyakan udah mengering sih. Tapi, tidak memungkinkan juga kalau ada air di daerah pedesaan seperti daerah Jawa Barat kemungkinan masih ada."
"Jauh banget itu ... sama aja kita balik ke tempat awal," kataku. "Lagian berisiko tinggi kita pergi ke sana."
"Ya, memang."
"Iya udah, kamu istirahat dulu. Aku mau nyamperin Banyu."
Bayu mengangguk lalu merebahkan diri di atas kasur tua di ruang pengobatan bawah tanah yang dibuat oleh penduduk sebelum kedatangan kami. Walau hanya seukuran kamar kos dengan satu kasur dan dua lemari berisi alat medis dan obat, setidaknya tempat ini bisa menjadi tujuan bagi mereka yang sakit.
Selain itu, hanya ada satu dokter bernama Galih. Jika dunia kembali seperti dulu, ibaratnya dokter Galih baru saja menyelesaikan pendidikan spesialis penyakit bedah. Dan dia banyak mengajariku cara menjahit luka atau memanfatkan tumbuhan sekitar yang kiranya cocok untuk jadi obat.
Keluar dari ruang bawah tanah, udara berhembus terasa begitu kering dan berdebu akibat kemarau panjang membuatku merindukan betapa nikmatnya bila menyentuh air. Bahkan badanku sudah sangat lengket akibat keringat yang bercucuran. Kadang, jika tidak kuat tidur di kamar bawah tanah, aku lebih memilih tidur di luar bergabung dengan penjaga di atas kontainer.
Sosok Banyu tidak dapat kutemukan di kamar maupun di luar. Di sini yang terlihat hanyalah para penjaga kontainer yang sedang mengawasi sekitar dari mayat hidup. Padahal, aku ingin menanyakan kepadanya wilayah mana yang kiranya belum kami datangi untuk mencari sumber air dan makanan. Jika seperti ini terus, aku yakin kami akan mati kelaparan.
Langkahku tiba-tiba terhenti saat berjalan melewati gudang penyimpanan makanan di kiri Monas. Terdengar suara beberapa orang sedang berbisik dan membicarakan hal yang cukup serius. Beberapa kali mereka menyebutkan bahwa ada seseorang yang hilang. Alisku mengernyit, bertanya-tanya siapa yang mereka maksud. Dengan mengendap-endap, kutempelkan telinga ke pintu berkayu agar semakin jelas mendengar yang sedang dibicarakan mereka.
Cerita selengkapnya ada di akun muktihidayat_
KAMU SEDANG MEMBACA
PETAKA
Science Fiction(SEKUEL MALA) Beberapa tahun berlindung di bawah bangunan Monas dengan kontainer yang menjadi dinding pembatas, tidak menjadikan hidup selamanya aman. Kekeringan panjang melanda kelompok yang dipimpin oleh Kayro, membuat sebagian besar tanaman ti...