Kupandangi satu persatu temanku, terutama wajah Kayro yang menyorot tajam ke arah cahaya lilin di lantai atas Puncak Monas. Padahal sinar rembulan sudah cukup menjadi penerang alami yang menembus dinding kaca Puncak Monas walaupun berdebu. Angin musim kemarau kali ini lebih banyak berdampak, selain kekurangan air, risiko gagalnya panen tanaman, hingga debu-debu yang berterbangan bisa membuat kotor area bangunan termasuk kaca-kaca jendela.
Di sekeliling kami, tanaman hasil jerih payah kelompok selama beberapa bulan mendadak hancur tanpa ada jejak. Buah tomat dan sayur-sayuran hidroponik membusuk serta tanaman kentang dalam lahan buatan tiba-tiba rusak. Media tanah yang digunakan untuk menanam luluh lantak beserta akar-akar umbi-umbian yang patah. Seperti ada seorang manusia yang berusaha membunuh pelan-pelan tapi pintar menghapus semua bekasnya.
Gilang mendesis begitu juga si kembar yang justru mengumpat tapi tidak bisa menyalahkan siapapun. Kerusakan ini pun kudapatkan ketika hendak mengambil beberapa kentang untuk dimasak besok. Sementara Cornelia dan Rianita melangkah pelan mendekati area tanam. Jelas tampak dari raut wajah mereka berdua yang murka akan musibah yang sepertinya menjadi gerbang masalah kedua.
"Siapa terakhir yang datang ke sini?" tanya Rianita memetik salah satu tomat busuk dan menciumnya. "Basi!"
"Kemarin aku bersama Kayro," ucapku jujur, "tanaman itu masih aman semua. Bahkan sorenya, anak-anak masih menyirami dengan air yang tersisa."
"Hari ini?" timpal Cornelia.
"Aku juga," kataku. "Tapi, keadaannya udah berantakan sekali, Lia."
Gadis itu menilik wajahku seolah sedang mencari-cari apa yang kusembunyikan. Aku memutar bola mata dan mengacungkan dua jari berbentuk V seraya bersumpah, "Demi Tuhan bukan aku! Untuk apa aku merusak makanan yang sudah membuat kita semua bertahan hidup?"
"Dia benar. Selama ini Santi juga sudah membantu banyak kan?" sahut Banyu memandangku penuh arti. "Lagipula, dia tadi ada di bawah kan sama kalian?"
"Ya, itu benar," timpal Gilang.
"Lalu siapa pelakunya?" tanya Rianita mendekatiku. "Kasihan anak-anak kalau sampai kelaparan, San. Mereka butuh energi lebih banyak daripada kita semua."
"Kenapa semuanya bisa berbarengan begini? Jadi aneh enggak sih?" kali ini Bayu ikut bersuara sambil berpikir. "Menurutmu bagaimana Kay?"
"Ada beberapa hal yang mesti kita selesaikan." Kayro sedikit merunduk lalu memelankan suaranya. "Kita bagi dua kelompok kecil, satu kelompok mencari Anna dan kelompok lain mencari pelaku yang kiranya membuat kekacauan di sini. Gue yakin kalau masalah ini dibiarkan, Monas akan hancur dalam beberapa minggu."
"Lalu Dodi?" tanyaku. "Mereka butuh kepastian tentang keberadaan Dodi, apa kamu masih mau merahasiakannya?"
"Gue bukannya enggak mau merahasiakan. Kalau mereka tahu, semua yang ada di sini bakal ketakutan, San. Kita enggak bisa menuduh orang begitu saja, kan?"
"Tapi, kenapa kamu memukul Garda?" tukas Gilang melipat tangan di dada.
Baca selengkapnya di akun muktihidayat_
KAMU SEDANG MEMBACA
PETAKA
Science Fiction(SEKUEL MALA) Beberapa tahun berlindung di bawah bangunan Monas dengan kontainer yang menjadi dinding pembatas, tidak menjadikan hidup selamanya aman. Kekeringan panjang melanda kelompok yang dipimpin oleh Kayro, membuat sebagian besar tanaman ti...