Diruang bawah tanah, tepatnya diatas alat pemotong yang menyekat antara kepala dan tubuh, aku berada. Disaksikan oleh Ibu ratu dan para petinggi istana yang ikut menghadiri, mereka melihatku dengan berbagai pandangan. Ada yang kesal, jijik atau bahkan iba. Mereka semua iblis yang bisa dengan semudah itu menyingkirkan rakyat jelata hanya karena bersikap tidak sopan.
Padahal wanita tua itu yang lebih dulu menjatuhkan harga diriku, tapi dia juga yang marah dan melakukan hal kejam seperti ini.
"Aku akan memaafkanmu, asal dengan satu syarat."
Aku menengadah, menatapnya dengan penuh kebencian. "Katakan, apa itu?"
"Cium kaki ku dan memohon lah. Oh jangan lupa, kau juga harus jujur didepan mereka kalau sebenarnya niat kau mendekati anakku itu karena ingin mengincar harta kerajaan."
Meski dalam ketakutan, aku tetap bersikap angkuh. "Lebih baik aku mati dibanding harus melakukan apa yang kau perintahkan, Yang Mulia. Gak pernah sama sekali aku berniat untuk memeras harta kerajaan! Bahkan untuk mengikuti sayembara pun aku gak berminat!"
"Jangan berdusta! Semua orang pasti ingin menjadi Ratu agar dia berkuasa. Aku tahu kau pasti berniat jahat untuk meracuniku setelah menikah dengan Jeffrey nanti!"
"KEPARAT! LAIN KALI KALAU BICARA DIPIKIR DULU! AKU INI MESKI MISKIN TAPI SIKAP KU LEBIH MULIA DARIMU!"
Seorang prajurit tiba-tiba menodongkan pedang dibawah leherku. "Dimohon untuk bertenang, nona."
"Ibu, aku mohon lepaskan Eui Yeon." Jeffrey menyatukan kedua tangan layaknya memohon. Lelaki itu bahkan menangis dan duduk bersimpuh didepan ibunya.
Astaga, karena aku mereka menjadi bertengkar.
"Mana wibawamu sebagai seorang Putra Mahkota, Jeff? Kau ini calon Raja, jangan mengemis hanya untuk membela wanita busuk ini!"
"Tapi aku mencintai Eui Yeon Bu. Gak peduli dia dari rakyat biasa atau kasta tertinggi sekalipun."
"Tingkahnya ini sudah tidak bisa ditoleransi. Dia menginjak-injak harga diri ibu dan tidak menggunakan sopan santunnya dengan baik!"
"Jeff janji akan mengajarkan Eui Yeon kedisiplinan setelah ini. Tapi tolong, ibu bebaskan dia dan biarkan kami menikah."
"Jangan harap!"
Aku sengaja mendecih agak besar agar fokus mereka beralih padaku. "Untung acara Sayembara itu gagal dilakukan, kalau hari ini benar terlaksana.. Wanita-wanita yang gak mampu dalam hal ekonomi pasti akan langsung disingkirkan."
"Apa maksudmu?"
"Dalam selembaran tertulis siapapun bisa mengikuti sayembara itu. Gak peduli dia dari rakyat miskin sekalipun, mereka masih bisa berkompetisi." Saking kesalnya, aku sampai menangis. Bukan karena sedih melainkan menahan emosi. "Tapi melihat Yang Mulia sangat memperhatikan penuh dalam hal kedudukan dan kasta, aku jadi kasian. Bagaimana perasaan peserta saat tahu bahwa yang dipilih Ibu Ratu hanyalah perempuan dengan kekayaan yang setara dengan Takhta Kerajaan?"