Pukul tiga pagi aku masih terjaga. Bingung berpikir akan terjadi apa esok pagi? Mungkinkah aku akan dihukum pancung hanya karena berkata tidak sopan pada lelaki itu? Atau mencari jalan aman saja dengan mengikuti sayembara itu?
Tidak-tidak. Semakin lama aku mengulur waktu, semakin lama juga aku terbangun dari tidur. Bagaimanapun caranya, aku harus segera mati dalam Universe ini.
"Eih, kau belum tidur?"
"Ibu. Apa aku mengganggu tidurmu?"
"Tadi ibu merasa kasur ini kosong, makanya terbangun karena ibu pikir kamu pergi. Kenapa kau masih terjaga?"
"Bu, aku mau mati."
"Ngomong begitu sekali lagi ku pukul kepalamu pakai tongkat yang ada diujung sana!"
"Aku serius Bu."
"Eui Yeon, dengar." Ibu mengubah posisinya menjadi duduk dan menatapku lekat. "Ibu cuma meminta mu untuk mengikuti sayembara. Kalau kau menang, hidup kita akan sejahtera nak. Kita pasti akan selalu mendapat bahan makanan yang dikirim kerajaan tanpa perlu bersusah payah mencarinya apalagi bekerja di ladang."
"Tapi Bu.."
"Mending kamu sekarang tidur. Nanti matamu menghitam dan Putra Mahkota takut melihatmu."
"Chaey gak akan tidur."
"Eui Yeon!"
"Ibu mending tidur aja, nanti ayah dengar bagaimana? Kita akan kena omel." Karena ternyata, aku memiliki ayah yang galak. Tadi pagi saja saat membawa sayuran, aku langsung kena omel ketika tidak sengaja menjatuhkan satu buah kembang kol.
Tapi beruntungnya tak main tangan sih. Cuma berkicau seperti burung, mungkin karena aku terlalu ceroboh.
"Ibu mau sambung tidur. Kalau kau masih terjaga juga, besok harus kompres wajah pakai susu domba."
"Susu domba?"
"Hm. Tapi peras sendiri, jam lima harus udah ada di peternakan. Bisa?"
Aku mendengus. Kalau begitu, lebih baik tidak usah tidur saja sekalian. Daripada nanti kesiangan dan kena amuk wanita yang ku panggil 'ibu' ini lagi.
"Ya udah ibu tidur sekarang, aku juga mau tidur."
Ibu kembali berbaring. Sementara aku berpura-pura membenarkan selimut yang padahal sebenarnya tengah berusaha untuk keluar. Lebih baik mencari udara segar dibanding termenung sendirian karena stress memikirkan esok pagi.
Tapi tetap saja menjadi pikiran. Bagaimana caranya bisa keluar dari universe ini? Apa aku melakukan kesalahan saja agar dihukum dan kemudian bangun dari tidurku ini?
Kresek..kresek..
Aku segera membalikkan badan ketika suara dedaunan diinjak terdengar. Siapa yang lewat barusan?
Karena takut, aku pun berniat untuk kembali kerumah. Ternyata tanpa sadar aku berjalan cukup jauh hingga lupa jalan pulang.
Serius, aku tidak bohong. Perkampungan ini memiliki jalan seperti labirin, penuh belokan yang memusingkan otak. Aku juga tak mengingat patokan-patokannya.
Ya tuhan, tolong selamatkan aku!
Tadi aku muncul dari arah kanan atau kiri ya? Kenapa aku tidak bisa ingat sama sekali arahnya? Apa dalam universe ini, aku ditakdirkan untuk menjadi gadis yang pelupa?
Saat ingin mulai berjalan, tiba-tiba ada yang memegang tanganku. Lemas sudah kakiku kalau sudah begini. Dahi ku sampai keluar keringat dingin saking takutnya.
"T-tolong lepaskan saya!" Dan agaknya seseorang itu tak mau mendengar karena lengannya tetap mencengkram pergelangan milikku. "S-saya berjanji akan memberikan apapun itu asal anda bisa membiarkan saya pergi."