"Siapa yang gak masuk hari ini, Karina?"
Oksigen, Karina butuh oksigen. Siapapun tolong dia sekarang juga sebelum urat malunya terputus lebih dahulu. Karina tidak berani memutarbalikkan badannya seratus delapan puluh derajat. Pandangannya kaku, rasanya semua bagian tubuhnya tidak bisa berfungsi dengan baik. Tangannya mulai dingin, tambah gemetar.
Malu, malu, malu.
Karina tidak mau sembarang menebak, tapi ia kenal sekali dengan pemilik suara tadi. Wina sialan, kata-katanya yang tadi berubah menjadi kenyataan, bahkan lebih parah. Mata Karina terpejam, berdoa dalam hati agar ini semua hanya sebuah imajinasi-nya yang sedang berteriak kencang menjadi kenyataan.
Bukannya menghilang, aura seseorang yang ada di belakangnya malah semakin mendekat. Terlalu dekat sampai kini deru nafas-nya sangat terasa di wajah kanan Karina. Ia bisa melihat sepatu hitam keluaran adidas itu kini berada tepat di belakang kedua kaki mungilnya.
Hesa,
Hesa Artha Angkasa yang sekarang sedang berada di belakangnya, menunggu jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan pada Karina. Kekehan kecil Hesa terdengar,
"Biasa aja, jangan tegang." Hesa menundukkan sedikit kepalanya ke arah telinga Karina, matanya tetap mengawasi teammate-nya dari atas yang sedang sibuk bermain basket di bawah sana.
JANGAN TEGANG KATANYA BRENGSEKKK
Karina tidak mungkin mengaku dan berkata jujur bahwa dia sedang mencari Hesa, kan? Jadi jalan yang paling aman saat ini mau tak mau adalah kabur jalan ninja. Pertama, ia harus bisa mencari alasan yang tepat untuk kabur. Kedua, ia-
"Gue tau lo tiap Selasa selalu nunggu disini, nontonin gue main basket. Yes or yes?"
Sialan. Ia menyesal tidak mengikuti saran Wina tadi.
Dengan takut-takut, ia mencoba untuk membalikkan tubuhnya. Kini wajah dari keperawakan yang sejak tadi mengukungnya terlihat dengan sangat jelas. Kesempatan yang amat jarang dirasakan kaum perempuan, Karina salah satu yang bisa melihat wajah Hesa sedekat ini. Ugh, ini definisi God really took His time creating Hesa Artha Angkasa. Kedua mata Hesa benar-benar memperhatikan Karina mulai dari kaki hingga pucuk kepalanya. Kemudian matanya kembali turun dan berhenti di bibir plum Karina.
Kedua kaki Karina sekarang rasanya sangat lemas, sebentar lagi ia akan jatuh jika tangannya tidak cepat-cepat berpegangan pada balkon di belakangnya. Ia harus mendongak sedikit karena tubuh Hesa yang cukup tinggi. Memberanikan jiwa serta raganya dan siap menjalankan misi kaburnya.
"Jawab dulu, baru kabur,"
BANGSATTT INI ORANG CENAYANG APA GIMANA
Merutuki kebodohan dirinya untuk yang kesekian kalinya, Karina mencoba untuk tetap tenang. Ia harus keliatan tegar menghadapi Hesa. Cuih, hanya seorang Hesa.
Menarik napasnya dalam-dalam sebelum berkata,
"Oke, Hesa. Pertama, gue emang suka nontonin anak basket main tiap pulang sekolah hari Selasa, tapi bukan cuma buat lo doang, jadi gausah geer. Kedua, gue pamit. Bye."
Sayangnya gerakan Hesa jauh lebih cepat ketika Karina ingin menapakkan kaki untuk mengambil tas. Tubuhnya menghadang pergerakan Karina dari kanan lalu ke kiri mengikuti arah gerak lawannya, begitu seterusnya sampai Karina lelah sendiri.
"Minggir, gak?"
"Enggak,"
"Ck. Tenang aja, hari ini hari terakhir gue nontonin lo main basket." Ucap Karina dengan seluruh keamarahannya.
"Tadi katanya nontonin temen-temen gue juga, kok yang di mention cuma gue? Jadi yang bener selama ini lo nontonin temen-temen gue, atau gue doang, Karina?" Sebenarnya, tidak ada yang salah jika Karina menonton Hesa seorang, sebab hal yang sama juga dilakukan oleh para siswa perempuan lainnya. Namun menurut pihak si pria, ini merupakan sebuah kesempatan untuk mengenal Karina lebih dekat, pura-pura mengintimidasinya. Menurutnya, respon Karina lucu, seperti kucing yang baru saja tertangkap basah mencuri makanan.
Hesa melagkah maju, wajahnya semakin dekat, lagaknya menantang Karina, mendesaknya untuk cepat-cepat membuka suara.
Jika tidak ada pegangan di balkon lantai enam, Karina sedari tadi pasti sudah terjatuh lebih dulu ke bawah. Kakinya terus-menerus mundur dari tubuh tegap Hesa yang semakin lama semakin dekat dengan dirinya.
Karina gugup, sangat amat gugup. Ini yang namanya skakmat, ya? Ia tidak memiliki alasan untuk membantah pernyataan Hesa lagi. Sepertinya lebih baik kabur sekarang daripada diam mematung disini. Besar resikonya apabila pembicaraan mereka dilihat oleh siswa lain.
Sembari pura-pura membungkukkan hormat dengan buru-buru, Karina menipu Hesa, "Siang, Pak Sastro," Sepersekian detik, Hesa langsung menengok ke arah belakang.
KETIPU AWKAKWAKOKAAKWAOKSWA
Karina dengan buru-buru langsung mengambil tasnya yang ada di belakang Hesa dan berlari secepat kilat menuju bawah seperti orang kesetanan. Menginjakkan kakinya ke tangga dengan sangat gesit, tidak peduli Hesa akan berkata apalagi padanya.
Semua macam kata kasar terucap di dalam otaknya sembari ia berlari menghampiri Pak Nolan, sopir pribadinya. Karina segera masuk ke dalam mobil. "Rumah, Pak. Cepetan,"
Di lantai enam, bukannya merasa kesal setelah ditipu, Hesa malah masih terdiam di posisi yang sama dengan kekehan yang baru saja berhenti ketika Jevan berteriak kepadanya dari lapangan bawah,
'WOI ORANG GILA! LO KETAWA SAMA SIAPA? SINI TURUN, LO DICARIIN YANG LAIN!"
KAMU SEDANG MEMBACA
takes two to tango | ddeungromi
FanfictionKarina sangat mengagumi Hesa Artha Angkasa dari kepala hingga ujung kakinya. Berlebihan, ya? Namun faktanya memang begitu. Hesa yang dicap sebagai berandalan di sekolahnya menarik perhatian siswi anti-sosial bernama Karina Livia Awantara. Aneh, sang...