2. Hamil? ✔

17 2 0
                                    

Sudah satu minggu lamanya, Jeslin tidak keluar dari apartemen. Dia mengambil cuti dengan alasan kesehatan. Jeslin hanya menghabiskan waktu di apartemen dengan bermalas-malasan. Dia tidak ingin melakukan apa pun sekarang. Kondisi tubuhnya yang memang sebenarnya tidak sehat, membuatnya hanya ingin menghabiskan waktu di atas pembaringan. Berbekal koleksi film yang ada di laptop, Jeslin tampaknya sudah cukup nyaman sekarang.

[Kakak sakit?] Sebuah pesan masuk ke dalam gawainya. Ia yang sedang menonton drama Korea lantas hanya melirik sekilas pesan dari Daniel.

[Sudah ke dokter?] Pesan kedua tidak mampu membuat Jeslin bergerak, hanya bola matanya saja yang melirik notifikasi di telepon genggamnya itu.

[Aku ke sana!] Akhirnya pesan terakhir itu, mampu membuat Jeslin mendengus sebal sambil meraih ponsel. Ia lantas mengetik pesan balasan untuk sang adik.

[Nggak usah, Dan. Aku cuma masuk angin. Cuma butuh istirahat aja kok.]

[Tapi kakak sudah satu minggu sakit! Kakak yakin cuma masuk angin?]

[Iya. Cuma masuk angin, Daniel sayang!]

[Ya sudah. Aku cuma khawatir. Untung kakak masih lajang, jadi aku nggak berpikir kakak sedang hamil sekarang.]

Deg! Jantung Jeslin hampir berhenti sesaat membaca pesan terakhir dari Daniel.

Hamil? Jangan-jangan .... Ah, tidak mungkin! Tapi .... Apa yang Ian lakukan tempo hari, tidak cuma ia lakukan sekali.

Pikiran Jeslin kembali berkecamuk. Bayangan kehamilan mulai terlintas di pikirannya. Trauma atas perlakuan Ian saja sudah membuatnya hampir gila. Bagaimana jika sampai dia benar-benar hamil? Mungkin dia akan benar-benar gila!

Jeslin meninggalkan laptop dalam keadaan menyala. Dengan terburu-buru ia segera meraih kunci mobilnya, dan sweeter yang tergeletak asal di atas sofa. Yah, dia harus memeriksa kandungannya.

                                •••••

Rumah sakit selalu sama. Ramai oleh para pasien yang datang. Apalagi ini merupakan jam besuk untuk pasien yang sedang rawat inap. Tapi hanya pada waktu ini, dokter kandungan terbaik di rumah sakit itu buka praktek.

Jeslin sudah mendaftar via online saat berkendara ke tempat itu. Dia langsung menghubungi asisten Dokter Frianton SpOG yang dikenalnya sebagai dokter yang dulu pernah membantu proses kelahiran sepupunya.

Jeslin hanya tinggal melapor atas kedatangannya ke bagian resepsionis khusus bagian obgyn. Namanya sudah terdaftar dan kini hanya tinggal menunggu giliran. Di tangannya sudah ada secarik kertas yang menunjukkan nomor antrean miliknya. Jeslin lantas duduk di deretan kursi yang sebagian besar sudah terisi wanita-wanita yang sedang berbadan dua.

Ia tampak kikuk duduk di antara mereka. Melihat kondisi para wanita yang sedang hamil, memang tampak menyenangkan. Berkali-kali mereka mengelus perut, sambil tersenyum, bahkan tak jarang mengajak bicara bayi yang ada di dalam perut. Mungkin jika dia dalam kondisi yang sama, Jeslin akan melakukan hal serupa. Tapi ia langsung menggeleng cepat saat bayangan kehamilan terlintas di pikirannya. Dia tidak mau hamil. Dia tidak mau memiliki anak dari hasil perkosaan. Jika dia benar-benar hamil, maka Jeslin berencana menggugurkan bayi yang ada di kandungannya. Jeslin akan membayar berapa pun agar anak tersebut tidak dilahirkan ke dunia.

"Ibu Jeslin Haryono?" panggil perawat yang duduk di sudut ruang tunggu. Jeslin segera beranjak dan mendekat, namun dia justru bertabrakan dengan seseorang.

"Maaf!" kata Jeslin sungkan. Wanita yang ia tabrak lantas tersenyum sambil menggeleng. "Nggak apa-apa kok," ujarnya dengan ramah.

"Di? Kenapa? Kamu nggak apa-apa?" tanya seorang pria yang dengan cekatan mendekat dan memeriksa kondisi wanita tersebut. Perutnya yang sudah membesar menunjukkan kalau kehamilannya sudah masuk trimester ketiga.

"Maaf, saya nggak sengaja," kata Jelasin lagi dan berusaha memungut barang-barang wanita tersebut yang terjatuh di lantai.

"Nggak apa-apa kok. Saya yang nggak memperhatikan jalan," kata wanita itu bijak. Memang benar kalau kali ini bukan kesalahan Jeslin, karena wanita itu justru yang menerobos jalan Jeslin tanpa memperhatikan sekitar.

"Aku nggak apa-apa, Ben." Pemuda itu tampak terus memperhatikan wanita itu dengan seksama.

"Serius, kan, kamu nggak apa-apa? Sakit nggak?" tanya Jeslin lagi. Dia memang benar-benar mencemaskan kondisi wanita itu, karena sadar kalau tabrakan tadi cukup keras sehingga membuat keduanya terjatuh. Jeslin paham betul, wanita hamil rentan dengan goncangan. Dia tidak mau dituduh atau menjadi alasan seorang wanita keguguran.

"Tenang aja kok. Aku baik-baik saja."

Ben menoleh dan terkejut saat melihat orang yang ditabrak Diva ternyata adalah gadis yang ia temui di gelanggang olahraga beberapa hari lalu. Ben masih sangat hafal wajah Jeslin. Terutama sorot mata gadis itu yang membuat nya tidak mampu berpaling. Semua masih sama. Ada rasa sedih dan sakit mendalam yang ia lihat dari kedua bola mata Jeslin.

"Loh kamu, kan ...." Ben tidak melanjutkan perkataannya karena dia memang tidak tau harus mengatakan apa pada Jeslin. Mereka belum mengenal, bahkan Ben tidak tau nama gadis tersebut.

Jeslin menatap Ben dengan tatapan bingung. Merasa kalau dia tidak mengenal Ben, tapi pemuda itu justru seperti tau tentang dirinya.

"Kamu kenal, Ben?" tanya Diva menatap keduanya bergantian.

"Eum, enggak sih. Cuma kami pernah ketemu sebelumnya," jelas Ben sambil garuk-garuk kepala.

"Wah, di mana?" tanya Diva menyelidik. Senyum memojokkan terlihat di wajahnya. Sambil terus menunggu jawaban dari Ben. Diva sadar kalau Ben tampak lain saat melihat Jeslin.

"Kita pernah ketemu? Di mana?" tanya Jeslin yang benar-benar tidak ingat apa pun. Sekali pun dia berusaha mengingat wajah Ben, tapi tidak ada satu pun kenangan masa lalunya tentang pemuda di hadapannya itu.

"Kamu lupa? Kita ketemu di Gor seminggu lalu. Kamu duduk di dekat arena taekwondo sambil hujan-hujanan," kata Ben semangat.

"Oh iya ya. Oh itu kamu?" tanya Jeslin yang akhirnya mengingat hal itu.

"Iya."

Jeslin tersenyum, begitu pula Ben. Ben terus menatap gadis itu mendalam.

"Kamu mau cek kandungan?" tanya Diva membuat keduanya tersadar. Jeslin yang ingat kalau namanya sudah dipanggil oleh perawat jaga, segera pamit. Sementara senyum Ben langsung pudar begitu Jeslin pergi ke ruangan dokter Frianton.

"Cie, gagal deh kenalan sama cewek. Mana cantik lupa," ledek Diva sambil mencolek perut Ben.

"Apa sih, Diva!" gerutu pemuda itu sambil membantu Diva berjalan.

"Ye, kelihatan tau. Kamu naksir dia. Tapi sayang, dia udah nikah, ya. Padahal cantik banget loh, Ben. Uh, kalau aku cowok, aku juga pasti naksir. Eh, namanya siapa?!"

"Nggak tau. Kenalan juga enggak."

"Oh iya, ya. Lagian masa iya, mau kenalan sama bini orang. Bisa di mutilasi kamu nanti," ejek Diva terus menerus. Ben pun makin kesal tapi tetap menuntun saudaranya tersebut keluar dari rumah sakit.

                                  •••••

"Jadi gimana, Dok?" tanya Jeslin dengan raut wajah gelisah. Dia menggigit bibir untuk menutupi kegugupannya. Tubuhnya bergetar, karena sangat takut pada kenyataan jika dia benar-benar hamil.

"Belum kok, Bun. Belum ada tanda-tanda kehamilan. Haid terlambat mungkin karena stres atau banyak pikiran, ya," jelas Dokter Frianton sambil menuliskan sesuatu direkam medis Jeslin.

"Serius, Dok? Saya nggak hamil?" tanya Jeslin dengan mata berbinar. Dokter tersebut justru menatap aneh pada wanita di depannya. Baru kali ini ada wanita yang di diagnosis belum hamil, justru malah senang.

"Saya tuliskan resep obat, ya. Agar haid Bunda lancar. Kalau belum lancar juga, nanti datang ke sini lagi saja. "

"Terima kasih, Dok!" Jeslin segera meraih resep obat itu dan pamit pergi.

                                 ****

Andai manusia dibumi memiliki nurani,
Aku yakin tidak akan ada harga diri wanita yg dikuliti

Indy R.P

My Mate Is A Military ManTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang