Azle Adrian or Possessive Azle?

6 2 0
                                    

"Azle Adrian! Lepasin, kita bukan siapa-siapa berhenti ngelakuin hal yang bisa disalahpahami!" Reina menepis cengkeraman cowok berkulit pucat itu. Menekan pergelangannya yang memerah disertai napas yang menderu.

Dahinya berkerut. Azle membentak, "Jangan deket-deket sama dia! Dia bukan cowok baik-baik."

Dadanya bergemuruh, naik-turun mencoba memberi peringatan. Gadis itu menggelengkan kepalanya tak tahu harus berkata apa, dan berapa kali lagi agar Azle mengerti bahwa pemikirannya terhadap Liam itu salah. Dia bahkan tidak mengerti kenapa sahabatnya bertindak implusif, seperti orang yang kehilangan kendali atas sesuatu?

"Hei, sadar gak? Kalau kamu juga bisa dibilang bukan cowok baik-baik!"

"Reina!" Azle menatapnya dengan tatapan tak percaya. Begitukah cara perempuan ini melihatnya? Setelah banyak hal yang ia korbankan?

"Apa? Kenapa?"

Bibirnya bergetar, menahan amarah. Tak terima mendapat bentakan dari cowok bermarga Adrian itu. "Dari dulu kamu emang mudah melarang-larang harus dekat dan menjauh dari siapa, sementara kamu tidak memedulikan apapun laranganku. Apa maumu sebenarnya, Azle? Menuhankan perintahmu seakan kamu segalanya yang patut dipatuhi begitu?!"

Tangannya terkepal. Cowok itu maju, manik legamnya menyorot tajam, seolah dapat meruntuhkan beribu-ribu perisai yang dipasang gadis itu. "Reina."

Dari cara Azle memanggil namanya, Reina langsung mengerti apa yang ingin dilakukan cowok itu. Tutur kata lembut namun, tegasnya menandakan bahwa Reina akan menyesali perkataannya, sekaligus menghentikan apa yang hendak dia mulai.

Azle tahu, tetapi dia tetap melakukan itu. Meski dialah yang paling tahu bahwa Reina benci jika diperlakukan begini---setelah membuatnya seperti bola ping-pong dilempar ke sana, ke mari demi mengetahui maksud dari emosinya yang naik turun.

"Aku capek. Sampai sini aja, Ze. Hentikan dan lupakan kalau kita pernah berteman. Lupakan aku yang sempat menyukaimu, aku membencimu Azle."

Yah, apa yang diprediksi cowok itu akhirnya menjadi kenyataan. Reina memulai apa yang hendak ia mulai.

***

"Terlambat lagi, Re. Mau dibangunin besok?"

"Gak, usahlah. Apa gunanya punya temen babu sekolah aka Osis kalau harus bangun pagi-pagi?" Gadis itu mempererat pegangan pada handle tasnya, seraya tersenyum sumringah.

Azle menahan geli. Si oportunis, Reina memang ahlinya memanfaatkan keadaan. Sesempit dan sekecil apapun kemungkinan itu dia akan pintar-pintar mengakalinya untuk memperbesar presentase kemenangan. Termasuk berjuang untuk kebiasaan begadang malam.

"Jaga jam tidur, Re. Jalan juga cepetan dikit, guru udah masuk jam delapan tadi." Reina manggut-manggut, tanpa berniat menimpali.

Keduanya berbelok dari aula melewati koridor yang terhubung dengan lantai dua, menaiki tangga dan berkelok ke kanan hingga mencapai sudut gedung, Reina sempat mengembuskan napas panjang ketika menjejakkan kaki di muka kelas. Sampai ia mengetahui situasi yang sebenarnya, semua pasang mata menatap ke arahnya. Bahkan guru yang ... dia lupa kalau hari ini waktu mapelnya.

Suara itu menggelegar hebat, membuatnya tertunduk bersitatap dengan lantai secara otomatis.

"Terlambat lagi?! Reina Dewi, seharusnya kamu belajar dari kesalahan kemarin. Dan sekarang masih telat masuk ke mapel saya? Oh, tidak. Silakan keluar!" Wajahnya memerah, perintah yang disampaikannya itu sudah diulang-ulang beberapa kali dalam seminggu ini. "Jangan lupa, kalau minggu depan kamu masih enggak ada di sekolah saat jam 07:30, ambil surat pernyataan di BK, jangan masuk sebelum orangtuamu datang!"

Azle memandangi gurat datar gadis di sebelahnya. Seakan-akan tahu kalau ia akan angkat bicara dan mencoba menegahi. "Maaf, Bu. Tapi Reina datang pagi, sayangnya karena kedapatan guru lain malah disuruh membersihkan taman."

"Tapi kenapa kamu yang harus menjelaskan Azle?" Pandangannya bergulir dari Reina ke Azle yang tersenyum tipis.

"Saya yang--"

"Maaf, Bu. Tidak akan saya ulangi," pungkasnya cepat. Mengerling dengan senyuman samar seolah sedang menyombongkan kalau ia telah berhasil melindungi diri sendiri, dari guru yang berbicara tanpa jeda itu.

Bahkan tarikan napasnya tak terlihat.

Pukul 07:30 adalah waktu maksimal masuk kelas, tetapi masih diberi pemakluman. Sayangnya, jika ada guru yang mendapati murid telat melewati pukul 07:00 lebih galak daripada Pak Kepala. Mungkin itulah sebabnya, Reina dihukum hingga melanggar waktu maksimal, utung Azle yang sedang bertugas mengawas jalannya kegiatan sekolah sebagai ketua Osis yang mendukung kedisiplinan.

"Ok, masuklah. Jangan membuang jam pelajaran saya."

"Baik, Bu."

Reina melangkah dengan membawa tubuhnya yang berubah bobot menjadi setipis kertas, seperti sedang disorot lampu teater bak pemeran utama. Raut wajahnya disinari kemenangan seolah telah berhasil menaklukan final boss di stage terakhir.

"Kenapa lo bisa terlambat?"

"Hush, gausah bicara dulu, tolong." Reina mendesis, sebal pada teman sebangkunya. Bisa-bisa dimarahi mak lampir berkedok guru killer pt.2 padahal baru sampai di meja.

"Ye, 'kan gue cuma nanya. Lu kejatuhan bulan, ya?"

"Enggak, diem, sotoy."

"Yaelah..." Liam mendesah, lagi-lagi membuat Reina menggigiti bibirnya kesal. Bagaimana kalau guru Kimia itu mendengar kekonyolan mereka?

"Shut up," cecarnya. Bukannya diam, cowok itu malah lanjut mengoceh.

"Reina Dewi!"

Jantungnya berdegup kencang, kepercayaan dirinya seakan ditimpuk godam. Ah, Tuhan.

Gadis itu mengusap wajahnya kasar, sia-sia dia merasa superior tadi. "Iya, Bu, saya keluar."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

POSSESSIVE GUYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang