01 | Spade Ten

21.7K 2.3K 124
                                    

Masih dengan seragam OK (operasi kamar)-nya, lelaki itu mengecek hasil MRI (Magnetic Resonance Imaging) salah satu pasien melalui komputer saat pintu ruangan terbuka. Mengetahui siapa yang datang "berkunjung", kerut di dahinya lantas menguap, terganti oleh senyuman. "Hai, Pa."

"Papa boleh ganggu waktu Candra sebentar?"

Lelaki bernama Candra itu tampak mempertimbangkan sejenak. "Hmm ... sebenarnya Candra lagi nunggu hasil laboratorium pasien yang masih ada di ruang operasi."

"Jadi?"

Candra manggut-manggut. "Papa boleh ganggu."

Tidak ada lagi keraguan untuk melangkah masuk—usai terlebih dulu membersihkan tangannya dengan hand sanitizer yang tersedia di dinding samping pintu, pria berjas putih yang usianya telah menginjak kepala enam tersebut menempati kursi di seberang anaknya dengan raut wajah berseri. Tidak sepenuhnya terlihat karena tertutupi oleh masker, tapi begitulah yang terpancar. "Papa janji, nggak akan lama."

Seraya menyandarkan punggungnya yang sejak tadi kurang rileks dalam posisi saat ini, Candra tersenyum menanggapinya. "Kedengarannya penting. Ada apa, Pa?"

"Ya, ya. Cukup penting. Papa mau bahas masa depan Candra."

"Masa depan?" Sebelah alis Candra yang tebal pun terangkat. "Ada hubungannya sama kerja—"

"Nggak," sergah sang papa, menampik dugaan di kepala Candra sebelum terbentuk sempurna. "Ini tentang Candra dan kehidupan Candra aja."

"Cut to the chase, Pa."

Pria bernama lengkap Rudi Purnomo itu berdeham samar saat kegelisahan mulai muncul dalam dirinya berkat aksi "mengulur waktu" yang membuat Candra sepertinya mulai gemas. "Papa mau ngenalin Candra sama anak teman Papa. Candra bersedia?"

Seperti dugaannya, Candra hanya terdiam. Ia tahu, anaknya tengah mempertimbangkan bagaimana cara untuk menolak permintaan barusan. Namun, sebelum Candra sempat membuka mulut, Rudi kembali bersuara, "Jangan salah paham. Papa ngelakuin ini bukan pengin Candra merasa terbebani. Justru Papa pengin ngebantu Candra."

"Bantu?"

"Ya." Dengan kedua siku bertumpu pada lengan kursi, Rudi menautkan jemari di atas perutnya yang tidak rata. "Selama ini Canda selalu nggak punya waktu untuk itu. Setiap Papa dan Mama tanya, Candra cuma bilang kalau Candra belum bisa mikir ke arah sana. Jadi, ya udah Papa bantu. Kebetulan, teman Papa juga lagi mencari calon mantu terpercaya untuk anaknya."

Candra mendengus geli mendengarnya. "Calon mantu terpercaya? Bukan calon suami terpercaya?"

"Candra tertarik sama Pak Hamdannya?" Kedua mata Rudi terbeliak.

"Come on, Pa. Bukan itu maksud Candra." Candra menghela napas berat, sementara Rudi sibuk tertawa. "Dari sudut pandang anaknya. Apa Candra cukup terpercaya?"

"Nggak ada penolakan, Candra. Pak Hamdan bilang sendiri kalau Jannah setuju."

"Who?"

"Jannah. Al Jannah Salim."

Candra bisa melihat binar di kedua mata Rudi. Perempuan itu bukan sosok sembarangan. Sang ayah sendiri yang baru saja membuktikannya. Tanpa perlu repot menunjukkan hasil pekerjaannya di ruang bedah, sosok bernama Jannah tersebut sudah cukup membuat Rudi gembira hanya dengan mengucapkan namanya.

Belum sempat Candra merespons, pintu ruangannya kembali terbuka. Kali ini, muncul seorang perempuan yang mengenakan seragam hijau seperti dirinya. Dokter Nia, asistennya dalam operasi yang sempat dijeda.

"Dok, hasil laboratorium Ibu Anna sudah keluar. Semua tim juga sudah kembali ke ruang operasi," ujar dokter Nia pada atasannya usai terlebih dulu membungkuk singkat pada Rudi.

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang