05 | Spade Six

12K 1.9K 112
                                    

Pernahkah kalian merasa ragu dengan suatu hal, tapi tetap melakukannya? Begitulah Jannah saat ini. Namun, demi menghargai momen bahagia sahabat dan adik kembarannya, Jannah mengubur segala perasaan tidak menyenangkan dalam diri perempuan itu.

Hari pernikahan Laras dan Bara telah tiba. Hari yang sebenarnya tidak pernah Jannah duga akan terjadi lagi.

Jannah mengamati dari kejauhan keponakannya yang berdiri di antara ayah dan bunda bocah itu. Kebahagiaan jelas terpancar dari kedua mata bundarnya hingga turut dirasakan Jannah. "Lihat tuh si Azka, happy banget dia," ucapnya pada Meera yang tengah berdiri di sampingnya.

Alih-alih direspons menyenangkan, reaksi Meera justru terdengar menyebalkan. Gadis itu mendengus kesal, lantas berdecak keras. "Corona kapan kelarnya sih?!"

"Heh, apaan kamu tiba-tiba ngegerutu begitu?"

"Sebel, Kak Jaaan!" Meera menunjukkan foto-foto hasil jepretannya di ponsel. "Maskernya ngehalangin pemandangan! Bisa nggak sih dilepas sementara? Mereka, kan, pemilik acaranya."

Jannah mengerti kekesalan Meera saat ini. Adiknya tersebut sangat ingin mengabadikan gambar terbaik dari Laras dan Bara, sang pengantin. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa karena kedua mempelai sama sekali tidak mempermasalahkannya. Ini semua juga demi kebaikan mereka serta para tamu.

Acara memang berlangsung secara sederhana, dalam artian tidak banyak yang diundang. Tidak ada prasmanan alias tidak ada alasan untuk membuka masker. Para tamu pun tidak bisa "bersalaman" langsung dengan mereka demi kenyamanan semua pihak. Segalanya telah dipersiapkan untuk dibawa pulang dan disantap di rumah.

"Ya udah, berdoa aja semoga pas nikahan kamu corona udah hilang."

Walaupun tertutup oleh masker, Jannah terkekeh membayangkan jika Meera sedang mencebik. "Ih, apaan sih, Kak Jan. Kak Jan duluan kaliii, sama si Dokter itu."

Jannah memutar mata. Membayangkan sosok Candra yang tiba-tiba muncul di benaknya saja sudah membuat suasana hatinya memburuk. Ya, semakin hari, semakin Jannah meragu. Tapi apakah Jannah mencabut keputusannya? Tidak. Lebih tepatnya, ia sudah pasrah. "Nggak usah bawa-bawa dia deh."

"Nggak bawa, tapi dia sendiri yang muncul. Jadi, aku bahas deh."

"Hah?"

"Tuh!" Meera mengedikkan dagu ke arah seorang lelaki berjas putih dari kejauhan yang mampu mengambil perhatian beberapa perempuan. "Si Pak Dokter datang."

"Dia diundang?!" Jannah nyaris memekik.

"Kan, mau jadi bagian dari Salim sebentar lagi." Meera sewot. "Lagian, main setuju-setuju aja sih sama ide gila si Papa!"

"Ini kenapa jadi bahas Kakak sih? Kan, tadi bahas kamu!" Jannah tidak kalah jengkel.

"Kita bahas nikahan. Yang kemungkinan nikah selanjutnya itu, kan, pasti Kak Jan sama si Pak Dokter—"

"Namanya Candra."

"Oh ..." Meera melemparkan kerlingan jahil. "Udah akrab nih ceritanya?"

Tidak ingin Meera terus-menerus menggodanya, Jannah pun berlalu begitu saja. Tidak menghiraukan panggilan sang adik yang mendadak jengkel karena ditinggal seorang diri.

Dan suara Meera yang tidak bisa dibilang pelan itu menarik perhatian Candra.

Dalam langkahnya yang terburu-buru, Jannah berharap ia memiliki kekuatan magis untuk membungkam mulut Meera tanpa menggunakan tangannya. Ia tidak ingin suara cempreng itu membuat Candra sadar akan kehadirannya. Ia tidak ingin Purnomo dekat-dekat dengannya, memunculkan rasa penasaran di benak banyak tamu yang datang akan hubungan Salim dan Purnomo.

House of Cards #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang