London: Feels Like Cinderella 9

398 113 6
                                    

Usai salat asar Ayas mengajak Cindy kembali ke London dengan alasan agar bisa istirahat lebih cepat. Padahal sesungguhnya ia mengetahui apa yang terjadi pada Cindy dari Mumtaz yang mengiriminya pesan. Rencananya sendiri memang sekitar pukul enam baru kembali ke London jika lepas zuhur urusannya belum selesai.

“Aku akan mengajakmu pergi ke stasiun King’s Cross dan studio tour Harry Potter di Watford kalau kamu mau tersenyum,” pancing Ayas yang mengetahui betapa Cindy adalah fans berat Harry Potter.

Cindy mendongak dan tersenyum tapi tidak mencapai matanya. “Nggak perlu, makasih.” Meskipun saat akan berangkat ke Inggris ia sempat berharap bisa pergi ke Warner Bros studio tour Harry Potter tapi ia cukup tahu diri.

Ayas menaikkan kedua alisnya sembari melirik Cindy. “Omongan Mona nggak usah diingat. Biar saja.”
Begitu nama Mona disebut, hatinya serasa dicubit. Ia membuang muka ke luar jendela di sisinya. Wajahnya juga berubah sendu seketika. “Aku merasa seperti maling. Aku takut.”

Terdengar Ayas menghela napasnya kasar. Tindakan Mona sungguh keterlaluan apalagi bukan hak Mona sama sekali mempertanyakan keberadaan Cindy. Kejadian itu membuatnya seolah sembarangan mengajak maling ke Inggris jika Cindy merasa seperti maling.

Selama ini Ayas merasa cukup puas mengenal Cindy. Rasa ingin tahu perempuan muda itu akan negara lain dan budaya asing masih dalam batas wajar. Bahkan ia suka melihat kerja kerasnya juga sifatnya yang sopan.  Ia tidak berteman dekat dengan perempuan tapi bersamanya tidak membuatnya merasa merubah prinsipnya.

“Sampai di apartemen, istirahat. Tidur. Nanti kalau sudah magrib, aku bangunkan,” perintah Ayas.

Cindy mengangguk. Ia masih kurang terbiasa dengan waktu magrib dan isya di Inggris, London khususnya karena mengikuti perputaran musim. Magrib hampir pukul sembilan, sedangkan isya menjelang tengah malam.

Mungkin karena lelah secara batin, Cindy jatuh tertidur hingga mereka sampai di London.

“Hei, sudah sampai.” Ayas menyentuh bahu Cindy membangunkannya.

Butuh sedikit waktu hingga Cindy membuka kedua matanya. “Oh, sudah sampai.” Ia menggeliat sebentar lalu melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil.

Kemudian bersama Ayas, masuk ke dalam gedung apartemen.

“Assalamu’alaikum,” ucap Cindy begitu pintu unit mereka terbuka lalu ia pun masuk disusul oleh Ayas.

Cindy meletakkan bekal makanan dari Amina di atas meja makan lalu masuk ke dalam kamar. Ia segera ganti baju rumahan lalu ke kamar mandi untuk mencuci wajah, tangan dan kaki. Setelah bersih, ia ke dapur untuk menghangatkan makanan di microwave.

Sambil menunggu makanan hangat, Cindy membuat teh untuknya dan Ayas. Tepat ketika makanan dan teh siap, lelaki itu keluar dari kamarnya tampak segar. Mungkin dia mandi.

“Ayo, makan,” kata Cindy sembari menyiapkan peralatan makan.
Ayas tak merespons hanya langsung menuju meja makan dan duduk di salah satu kursi. Dan keduanya pun makan bersama.

“Mulai besok aku akan sibuk sekali. Kalau mau, kamu boleh pergi jalan-jalan,” kata Ayas disela makan malam, meski di luar bahkan belum gelap.

Mendengar hal itu justru Cindy tak tahu harus merespons bagaimana. Ia senang tentu saja diberi kesempatan jalan-jalan keliling London tapi ia takut tersesat. Dan ada satu lagi masalah utamanya, ia tidak punya uang poundsterling. Jalan-jalan butuh uang kan?

“Besok kuberi uang saku, untuk honormu kukirim ke rekening langsung saja. Pergi sekitar Shoreditch dan Holborn saja dulu,” usul Ayas.

Cindy masih diam dan hanya memandang Ayas. Kelihatan sekali ia tengah ragu.

“Kenapa?” tanya Ayas heran.

“Aku ... “

“Mumpung di London. Aku nggak selalu bisa temani kamu. Nggak apa, pergi saja sendiri setelah pekerjaan selesai,” kata Ayas mengizinkan. “Kamu takut?”

Cindy mengangguk perlahan.

“Ada peta, ada cell phone, ada mulut. Anggap sedang menjadi seorang backpacker.”

Cindy menanggapi dengan ringisan lebar. “Ayas?”

“Hem?”

“Maaf, kamu sebetulnya kerja apa sih? Kalau aku ingat, kadang-kadang kamu ke London dan Paris.” Dan ingatan itu bagai membanjiri kepala Cindy. “Keluargamu pengusaha ya? Maaf, aku nggak sopan,” tambahnya buru-buru.

Ayas tidak menjawab sampai makanannya habis, begitu pun minumnya.

“Hotel di Surabaya, keluargaku ada saham di sana. Hotel itu milik keluarga teman baikku saat kuliah dulu, orang Surabaya dan hampir bangkrut. Bisa dibilang kami punya bisnis penginapan yang berkonsep B & B ... ” terang Ayas.

Bed and Breakfast?”

Ayas mengangguk. “Ada juga jaringan restoran milik Ayah di Perancis dan Benelux. Serkan dan Ayah berbagi tugas di cottage dan perkebunan. Sedangkan Shezad mengurus penginapan B & B kami.”

Berarti, sisanya dipegang Ayas?
Cindy hanya bisa melongo mendengar penuturan Ayas. Ternyata dirinya mengenal lelaki bukan sembarangan. Bisa disebut CEO kan Ayas?

Ayas menjentikkan jarinya di depan wajah Cindy yang menatap takjub padanya. “Kami belum sehebat itu, belum sampai seperti Mohamed Al Fayed.”

“Ah, Harrods. Aku ingin melihat-lihat di sana,” cetus Cindy tiba-tiba penasaran dengan pusat perbelanjaan yang isinya bisa seharga motor atau mobil per item. Barang-barang premium saja yang dijual di sana. Luxury goods.

Eh, itu artinya Ayas bukan manajer kan sebetulnya di Surabaya? batin Cindy kembali melotot pada lelaki itu.

“Sudah ganti kepemilikan, tapi ya, dulu miliknya. Lihat nanti ya?” Ayas tersenyum. Ekspresi yang tak pernah ada saat ada Mona jika diingat Cindy. “Aku tak berani menjanjikan.”

Cindy mengangguk. “It’s okay.”

🏰🏰🏰

Assalamu'alaikum semua,

Selamat malam, hujan lagi yak, musim hujan. Cuciannya basah lagi 😌

Asyik, Ayas kasih duit buat jalan-jalan 😎😎😎

Sidoarjo 12-24 November 2021
Update publicly, Sidoarjo 01-12-2021

City SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang