London: Feels Like Cinderella 10

425 113 19
                                    

Cindy tak tahu ada masalah apa yang dihadapi keluarga Benzema karena selama seminggu Ayas baru pulang menjelang magrib, yang artinya sekitar pukul sembilan malam. Lelaki itu kelihatan sibuk dan lelah.

Setiap hari setelah Cindy menyiapkan teh dan makan malam, Ayas langsung masuk ke dalam kamar. Keluar hanya untuk salat berjemaah saja dengannya baik magrib maupun isya.
Setiap hari Ayas memberinya uang saku buat bekal jika ia ingin jalan-jalan tapi Cindy belum menggunakannya untuk pergi terlalu jauh. Masih di sekitar Shoreditch dan Spitalfields. Malah hari pertama hanya pergi ke pasar bunga yang bisa dikatakan sebagai salah satu tempat yang ditawarkan wajib dikunjungi dan membeli beraneka bunga segar untuk dirinya sendiri yang ia simpan di kamar tidurnya dan ruang duduk serta ruang makan.

Mungkin selama di Inggris, selagi bisa, ia akan membeli bunga segar sebab hal tersebut tidak akan terjadi lagi jika sudah pulang ke Indonesia. Bunga segar mahal. Dan ia berusaha tidak terlalu menghitung berapa jika dirupiahkan. Ia takut tidak akan membelanjakan apa pun sama sekali. Ia juga sudah ke Museum of the Home yang dekat dengan apartemen Ayas.

Kemudian, jika masih memungkinkan untuk ditempuh dengan jalan kaki, ia lebih memilih jalan kaki. Kalaupun harus naik transportasi umum, ia memilih bus. Masih belum berani naik Tube sendirian sebab di jam-jam tertentu, mobilitas pengguna Tube sangat tinggi. Di negara lain mungkin disebut subway, kereta api cepat atau kereta bawah tanah.

"Setelah sarapan kita pergi," ajak Ayas di Sabtu pagi kala keduanya tengah makan pagi.

"Ke mana?" Sendok yang hendak disuap ke mulut akhirnya diletakkan lagi ke piring.

"Ada yang harus dibeli," hanya itu jawaban Ayas.

"What should I wear?"

"Something comfortable."

"Oke."

Setelah sarapan, Cindy mencuci peralatan makan dan membersihkan rumah setelah itu bersiap pergi. Pilihannya jatuh pada gamis floral yang santai tapi tidak akan memalukan jika digunakan ke tempat yang harus berpakaian rapi. Sepatunya kali ini ia pilih flat shoes feminin.

"I'm ready," kata Cindy setengah teriak ketika memasuki ruang duduk karena Ayas tak tampak di ruang makan dan ruang duduk.

Tak lama Ayas datang dengan tampilan rapi tapi keren. Kemeja hijau army yang dilipat hingga siku dipadu celana kain warna khaki. Tanpa bicara apa pun, Ayas menyuruh Cindy mengikutinya dan keduanya pun meninggalkan apartemen.

Perjalanan pertama menggunakan bus dan jika Cindy hitung ada sekitar lima belas menit perjalanan. Ternyata Ayas mengajaknya ke sebuah toko baju dan masih tanpa bicara lelaki itu menuju area sepatu wanita.

"Ukuran kakimu berapa?" tanya Ayas.

"Eh, uhm 37," jawab Cindy dengan wajah bingung.

"Coba kamu pilih dulu mana yang kamu suka," kata Ayas.

Cindy menatap Ayas makin bingung. "Aku sudah punya sepatu. Masih bagus."

"Hari Senin ada resepsi pernikahan kenalanku. Aku mau kamu ikut. Pilih sepatu yang warnanya netral," terang Ayas.

"Tapi ... "

"Kita nggak punya waktu banyak, Cindy. Ayo pilih saja. Nggak usah lihat harganya."

Tidak usah melihat harga? Mungkin bagi Ayas itu harga murah atau normal. Tapi, bagi Cindy?
Dengan penuh keraguan Cindy memilih satu di antara banyak macam sepatu. Selain ucapan Ayas tentang resepsi yang bagai bom itu, ia juga ngeri melihat ketinggian heels. Akhirnya pilihannya jatuh pada sepatu sandal bertali satu warna putih. Ada hitam tapi terlalu tinggi baginya dan ia takut terjungkal.
Lalu Ayas meminta pramuniaga mencarikan ukuran kaki Cindy dengan konversi ukuran Inggris. Setelah dapat dan sesuai, ia segera membayarnya lalu mengajak Cindy ke tujuan berikutnya.

City SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang