Bagian 01

434 43 0
                                    

Buku, tas, seragam, kaos kaki, sepatu, dan karet gelang merah muda yang baru dibeli kemarin, sudah siap kupakai. Semua barang itu tergeletak rapih berjajar di atas ranjang. Aku yang keluar dari kamar mandi dengan bath robe bisa langsung memakai seragam tanpa perlu mengacak lemari.

Ketukan pintu membuatku menoleh disertai dengan suara bunda dari luar sana, "adek udah selesai belum? Sebentar lagi jam 7 loh nanti telat."

Mataku terbelalak sadar kalau sekarang tak lagi bersekolah di tempat biasa. Hari ini adalah kali pertamaku masuk sebagai siswa sekolah menengah atas.

"I—iya ini adek udah selesai kok."

Buru-buru aku mengambil tas lalu berlari keluar kamar. Dari lantai atas, kumelihat bunda di ruang makan dengan box merah muda yang pasti untukku bawa ke sekolah. Bekal makan siang yang mungkin saja kali ini merangkap jadi sarapan.

"Ayah mana?" tanyaku menghampirinya.

"Udah nunggu di mobil."

"Sama kak Jaiz?"

"Nggak, kakak berangkatnya agak siangan. Sekarang aja masih tidur," aku bernapas lega tidak akan terjadi keributan di dalam mobil hanya karena siapa yang lebih dulu diantar, sekolahku atau kampus kak Jaiz.

"Yaudah Jean pamit berangkat dulu ya, Bun."

Salam dan salim lengkap dengan kotak makan yang masih terasa hangat dalam pangkuan, selalu menjadi hal rutin yang kulakukan sebelum berangkat. Aku melirik arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Masih ada 30 menit lagi sebelum jadwal dimulai. Kuharap tidak terlambat.

"Udah siap? Nggak ada yang ketinggalan?" tanya ayah begitu aku duduk disampinng kursi kemudi dan menarik sabuk pengaman. Aku mengangguk meyakinkan tak ada barang yang tertinggal. Isian dalam tas sudah lengkap disusun bi Nani, asisten rumah tangga di rumah kami dan juga orang yang selalu menyiapkan segala kebutuhan seperti tadi pagi.

Nyatanya aku lupa kalau tinggal di kota Jakarta, mustahil menemukan jalan tanpa kemacetan. Aku tak bisa memaksa ayah disaat depan dan belakang mobil juga terhimpit kendaraan yang sama. 30 menit yang terasa begitu singkat dan kurasa harapan untuk datang teat waktu runtuh seketika.

"Ayah ikut turun ya, sekalian kasih tahu telat gara-gara kejebak macet barusan," jika saja aku masih kelas 1 SD, sudah pasti tawaran itu akan diterima dengan senang hati ketimbang malu karena datang terlambat. Tapi sekarang anak gadisnya ini sudah jadi siswa SMA.

"Nggak usah, Yah. Belum terlalu telat juga kok. Mending langsung ke kantor aja, daripada ayah yang telat."

Untungnya ayah bukan tipe keras yang segala perkataannya harus dituruti. Setelah melakukan hal yang sama dengan bunda saat di rumah, aku keluar mobil. Sempat tersenyum sebelum ayah memutar kemudinya dan pergi meninggalkan sekolah.

Baru saja aku membalikan badan dan melihat gerbang yang kali ini dirasa jauh lebih tinggi, 3 orang berjas hitam yang berdiri disana menatapku sinis kompak dengan tangan yang melipat didepan dada.

Dari logo yang tercetak disebelah kanan, aku tahu kalau mereka adalah senior, lebih tepatnya para pengurus OSIS, lebih sangat tepatnya mereka adalah orang yang akan kuhadapi selama satu hari atau bahkan lebih karena kesalahan ini.

"Jam berapa ini, dek?" pertanyaan sapaan yang sama sekali tidak terdengar ramah mengiringi langkahku mendekat. Perempuan yang berdiri ditengah, semakin terlihat mengerikan dengan wjaah tanpa senyuman seperti siap menerkamku.

JUNA & JEAN :: enerwon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang