Bagian 09

79 15 10
                                    

Kakiku mulai kesemutan sebab terlalu lama berdiri. Belum lagi, leher ini juga terasa pegal karena terus saja menunduk. Namun bukan itu bagian yang paling mengerikan, melainkan seseorang yang sedaritadi berdiri di depanku dengan tangan melipat di depan dada. Sudah bisa kubayangkan bagaimana wajah menyeramkan dan mata tajam yang akan menusuk ketika aku mendongkak melihatnya.

"Gue disini, Jean," ucapnya membuatku refleks menegakkan kepala. Benar saja, Juna 10000 kali lebih menakutkan dari biasanya. "Lo nggak tau cara nolak orang? Perlu gue ajarin?" sambungnya dengan nada yang semakin meninggi.

Semua pengurus sudah pulang meninggalkan sekre, dan aku yang harus menangangi Juna sendirian. Setelah kak Aldrian memintaku untuk menjual risol seorang diri dan kusetujui meski setengah hati, Juna terlihat tidak senang dengan keputusan itu. Padahal yang dilimpahkan tugas kan aku, kenapa malah dia yang marah begini?

"Lo udah double job dan sekarang malah diiyain idenya Aldrian limpahin tugas divisi humas sendirian. Udah gue bilang nggak usah jadi pahlawan buat organisasi ini."

"Aku bukannya mau jadi pahlawan, tapi—" Entah bagaimana aku mendadak kehilangan keberanian untuk melanjutkan kata-kata itu terlebih saat melihat kening Juna yang mulai berkerut seolah tak setuju dengan sanggahanku. "I—iya maaf," ujarku kembali menunduk.

Terdengar helaan kesal dari lelaki itu namun aku masih tak berani untuk kembali melihatnya. Juna benar-benar menyeramkan hari ini.

"Terserah lo, deh."

Juna pergi meninggalkanku dan sedikit membanting pintu membuatku terkejut. Seketika aku terduduk jatuh ke lantai sambil memegangi dada yang mendadak sesak dan sakit. Aku tak mengerti dengan lelaki itu, begitu enteng mengatakan kalimat menyakitkan langsung di depanku.

Bukannya aku tak ingin menolak permintaan kak Aldiran barusan yang mengatakan penjualan risol tiap jam istirahat, akan menjadi tanggung jawabku sepenuhnya. Ketua OSIS itu pun memuji karena ternyata hanya aku yang berhasil menghabiskan semuanya. Meski awalnya terdengar aneh sebab teringat Juna terakhir kali membeli dan mengatakan dagangan yang lain sudah habis, namun ternyata hanya aku yang berhasil.

Memikirkannya saja membuatku bingung, hingga akhirnya aku tak punya hati untuk menolak sepenuhnya. Lagipula, Hans juga bilang akan membantu jadi tak ada yang perlu aku khawatirkan.

Namun entah mengapa Juna justru menahanku untuk tidak pulang. Lelaki itu sampai mengirimkan pesan singkat berisikan perintah untuk tetap diam ditempat. Aku masih bisa merasakan hawa mengitimidasi dari lelaki itu yang akhrinya membuat nyaliku semakin menciut untuk melawanya.

Hingga terjadilah adegan barusan yang membuat dadaku sesak dan ingin sekali menangis. Memangnya apa yang salah dengan semua itu?

Dengan langkah berat aku meninggalkan sekolah yang sudah mulai sepi. Langit sore juga ikut mendukung kesedihanku dengan awan kelabunya. Perkataan dan ekspres Juna benar-benar tak bisa hilang dari kepalaku.

"Sendirian aja? Temen lo mana?" tanya seseorang saat aku tiba di halte sekolah. "Gue lihat tadi si Juna juga baru keluar sekre. Kirain pulang bareng lo," sambungnya.

Aku menghela napas lelah kembali berhadapan dengan lelaki yang tempo hari memaksaku berkenalan saat acara perayaan kemenangan Juna, Kak Shadam, seseroang yang mengakui sebagai kakak dari lelaki itu.

"Hei, gue tuh ngomong sama lo," ucap lelaki itu terlihat berusaha untuk berinteraksi denganku. "Lo kelamaan sama Juna jadi begini. Udah gue bilang, deket sama dia tuh nggak baik," lanjutnya.

JUNA & JEAN :: enerwon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang