Bagian 11

90 18 0
                                    


Keramaian kantin saat jam istirahat tak bisa membuatku terbebas dari pertanyaan dan pernyataan Zoya. Padahal, hal ini sudah kami bahas dari pertama kali jam pelajaran hingga bel berbunyi. Perempuan berambut panjang itu seolah tak membiarkanku untuk istirahat sejenak dari pikiran tentang Juna.

"Udah sih ini fix banget, Juna itu suka sama kamu Jean!" ucap Zoya kesekian kalinya.

Aku menghela napas panjang, berharap orang-orang disekitaran kami memang benar-benar sibuk dengan kegiatannya masing-masing hingga suara Zoya barusan menjadi tak terdengar. Lagipula, pikiran aneh macam apa yang hinggap dikepalanya hingga gadis itu dengan santainya menyimpulkan demikian?

"Mending kamu makan deh, Zo," titahku tak memiliki tenaga untuk meladeninya.

"Coba aja kamu pikir, apa alasan Juna mau bantu dagangin risol padahal anaknya anti sosial banget? Kamu juga tahu sendiri gimana cara dia jualan, lebih mirip ngajak tawuran. Terus kemarin juga larang kamu buat masuk sekre karena tahu kalau kamu udah kerja keras sendirian waktu itu. Nah sekarang, kamu bahkan nggak usah lagi dagang risol karena dia!"

Lagi-lagi aku menghela napas. Mendengar penjelasan panjang lebar dari Zoya membuat nafsu makanku menurun. Padahal saat pembelajaran barusan, perutku benar-benar keroncongan.

"Bukan karena Juna, emang divisi humasnya juga lagi nggak siapin stock makanya hari ini nggak jualan," balasku.

Begitulah yang aku tahu dari grup chat tadi pagi. Tak ada sangkut pautnya dengan Juna. Bahkan lelaki itu saja tak terlihat membalas apapun. Zoya terlalu berlebihan seolah kisah hidupku dan Juna seperti rangkaian novel fiksi remaja.

"Ya tetep aja, diantara semua anak OSIS yang paling berani tuh ya Juna. Dia pasti yang protes gara-gara kamu harus jualan sendirian apalagi ambil double job. Ah—so sweet banget," unggap gadis itu sambil mengepalkan tangan dan tersenyum seolah membayangkan hal-hal menggemaskan dalam pikirannya.

"Mending kamu makan aja, Zoya! Keburu baksonya dingin."

"Tapi—"

"Jean?" panggil seseorang yang beridri tepat dibelakang Zoya membuatku mendongkak. "Boleh ikut duduk disini?" sambungnya.

"Boleh. Duduk aja, Hans."

Lelaki itu tersenyum lalu memilih memutar dan duduk tepat disebelahku. Pesanannya nasi goreng dengan segelas es teh yang diletakkan di atas meja. Zoya yang terpaksa menghentinkan omongan, terlihat terkejut sambil mengernyitkan kening melihat Hans.

"Ohiya, gue mau minta maaf juga. Harusnya gue bantuin lo, bukannya ngebiarin lo kerja sendirian. Padahal waktu itu, gue selalu pd aja nawarin diri kalau lo butuh sesuatu. Tapi nyatanya, lo tetep kesusahan. Maaf ya, Jean."

Perkataan Hans nyaris membuatku tersedak. Untung saja makanan yang dikunyah dalam mulutku sudah tak lagi utuh.

"Nggak apa-apa kok. Kamu juga pasti punya banyak kerjaan lain dan harus selesai. Lagipula tugas aku nggak seberapa. Juna juga selalu bantuin." Tanpa sadar aku kembali membawa laki-laki itu, padahal sedaritadi berusaha keras untuk menghentikan Zoya. Dari ekor mataku, bisa dilihat dengan jelas perempuan itu sedang tersenyum penuh kemenangan meski berpura-pura melahap makannnya.

"Mulai sekarang, lo minta tolong sama gue aja ya. Lo juga pasti tahu kan kalau kerjaan Juna jauh lebih banyak. Belum lagi dia harus nyiapin lomba ini lomba itu, ibarat kata dia tuh ujung tombaknya sekolah. Jadi kalau mau apa-apa, lo bisa bilang ke gue."

JUNA & JEAN :: enerwon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang