Bagian 12

80 19 1
                                    

Pertemuan mendadak yang diadakan di Warjok benar-benar membuatku terkejut. Kupikir semuanya akan berjalan selayaknya rapat pada umumnya, namun ternyata salah. Baru beberapa menit aku duduk disana, kepulan asap rokok langsung memenuhi seisi ruangan.

Niat awalku ingin meminta maaf pada Kak Aldrian karena kejadian di Lab Bahasa tempo hari saat aku tanpa sadar membentaknya dan pulang begitu saja, tapi melihatnya tertawa dengan tembakau yang bertengker dibibirnya membuatku balik kanan dan memilih pulang. Untung saja ada Juna.

Tak ada percakapan apapun diantara kami disepanjang waktu menunggu bis di halte sekolah. Baik aku maupun Juna, kami tak membahas apa yang terjadi di Warjok seolah semuanya memang tak pernah dilihat. Bahkan hingga bis yang kutunggu tiba, Juna hanya menatap dengan wajah datarnya sebagai salam perpisahan.

Kini sudah pukul 9 pagi dan guru sejarahku yang seharusnya mengisi pelajaran, berhalangan masuk. Kelas yang sedaritadi riuh, menjadi semakin tak terkendali. Meski begitu, pikiranku tetap kosong seolah tertinggal pada kejadian kemarin.

"Jean? Kok diem aja sih daritadi? Kamu sakit? Kemarin rapatnya sampai malem pasti ya?" tanya Zoya membuyarkan lamunanku.

Gadis itu jelas khawatir. Berkali-kali menempelkan telapak tangannya dikeningku persis ibu saat aku terkena demam.

"Aku nggak apa-apa kok, cuman grogi dikit bentar lagi kan acaranya dimulai. Aku takut kalau nggak sesuai ekspetasi," sanggahku.

Perkataan yang keluar dari mulutku itu tak sepenuhnya bohong. Aku memang sedikit gelisah mengingat acara ulang tahun diesnatalis sekolah yang selama ini dipersiapkan dengan begitu rumit dan panjang akan segera tiba. Ketakutan akan ekspetasi siswa lainnya tak bisa keluar dari pikiranku.

"Tenang aja. Kamu sama anggota OSIS yang lainnya udah kerja keras buat acara ini. Pasti sukses kok." Zoya menepuk pelan mencoba menenangkanku.

Tak mungkin aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi kemarin. Meski Zoya adalah temanku, tapi OSIS adalah organisasi professional yang juga harus kujaga.

"Udah yuk mending ke kantin aja daripada ngelamun disini." Zoya menarik tanganku, menyeret pelan mengikuti langkahnya.

Melewati lapangan yang sudah siap untuk acara, mataku langsung terfokus pada kerumunan yang ada ditengah sana. Belum lagi, ada Pak Ruslan yang berdiri sambil berkacak pinggang dengan wajah frustasi.

"UDAH BATALIN AJA SEMUANYA!" teriakannya semakin membuatku terkejut.

"Itu anggota OSIS, kan? Kenapa mereka dimarahin Pak Ruslan?" pertanyaan Zoya tentu saja tak bisa kujawab. Terakhir kali aku melihat isi group chat, semuanya nampak baik-baik saja.

"Kamu duluan aja ke kantin, nanti aku nyusul ya," ucapku berlalu meninggalkan Zoya tanpa sempat perempuan itu membalas.

"Tapi pak—"

"Nggak ada tapi tapi, saya bilang batal ya batal! Beresin semuanya! Habis itu datang ke kantor saya dan pertanggung jawabkan semuanya!"

Belum sampai kakiku sampai, Pak Ruslan lebih dulu meninggalkan kami. Lelaki paruh baya yang terkenal dengan ketegasannya itu mengabikan teriakan anak-anak lainnya dan memilih berjalan cepat menuju kantor.

Tepat saat itu juga, mereka kompak melihat kearahku. Tatapan matanya tajam, lebih mengerikan ketimbang saat pertama kali aku terlambat di masa orientasi waktu itu. Kak Aldrian merangsek maju dan berdiri tepat didepanku. Rahang tegasnya mengeras, aku bisa merasakan emosinya hanya dari sorot matanya.

JUNA & JEAN :: enerwon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang