Bagian 13

97 15 1
                                    


Semua kejadian dan segala berita tentang para pengurus OSIS langsung menyebar keseluruh penjuru sekolah. Belum lagi, banyak dari mereka yang juga melihat Kak Aldrian dengan brutalnya meninju Juna hingga anak itu babak belur dan berakhir dengan masuk ke ruang guru. Masih terbayang dengan jelas, bekas luka dan lebam yang nyaris memenuhi wajah lelaki itu saat kuberikan obat begitu dia keluar. Pasti sakit dan perih.

"Jean! Ih daritadi malah ngelamun. Udah ah jangan dipikirin! Kamu nggak salah. Lagian waktu mereka ngerokok di Warjok, kamu kan pulang sama Juna. Jelas disini yang salah tuh mereka," ucap Zoya membuatku terkejut.

"I—iya." Hanya itu yang bisa kutimpali.

Aku memang merasa tidak bersalah. Tapi perkataan Kak Azmi yang langsung menuduhku dan Juna terus terngiang. Memang, kami adalah orang pertama yang pergi, tapi aku berani bersumpah bukan aku yang menyebarkan video itu hingga akhirnya acara sekolah dibatalkan. Aku juga yakin Juna pasti tak mungkin membocorkan itu meski dirinya terlihat membenci mereka.

"Jean!" Dengan sekali putaran, Zoya membalik tubuhku jadi menghadapnya. Perempuan ini tampak kesal. Aku bahkan bisa merasakan cengkraman tangan dipundak ini begitu kuat. "Kamu nggak salah!" ulangnya.

Zoya bahkan sampai meminta maaf karena pernah memaksaku untuk ikut organisasi ini sementara yang terjadi malah diluar prediksi. Siapa pula yang menyangka tempat yang seharusnya menjadi tangan kanan sekolah justru malah melanggar peraturannya.

Tanpa terasa, jam sekolah sudah berakhir. Meski begitu, desas-desus perkara anggota OSIS masih saja ramai dibicarakan. Aku bahkan sampai menunduk tiap kali berjalan melewati koridor sangking takutnya dengan tatapan mereka yang secara terang-terangan menyorot ke arahku.

"Jalan itu lihatnya ke depan." Suara berat yang pernah kudengar membuat kaki ini berhenti lalu mendongak. Lelaki bertubuh jangkuk itu tersenyum tipis.

"E—eh, Kak." Itu Kak Shadam. Jujur, aku sedang tak ingin terlibat apapun dengan siapapun apalagi kakak Juna ini, jadi dengan cepat aku mengambil sisi kosong untuk menghindar dan menjauh darinya.

"Mau kemana? Buru-buru amat," ucapnya mencegah sekaligus menutup jalanku.

"Aku mau pulang kak, maaf permisi."

"Nggak mau nungguin Juna? Kayaknya dia nggak bisa pulang sih setelah barusan ditarik paksa masuk ke ruangan OSIS. Kira-kira kenapa, ya?"

Kak Shadam memang terkesan bertanya, tapi aku bisa tahu dari ekspresinya bahwa lelaki ini sedang memancingku untuk bereaksi terhadp berita yang dia bawakan. Aku memang mengkhawatirkan Juna, tapi aku yakin anak itu takkan lagi menyerahkan diri begitu saja seperti tadi pagi. Lagipula kali ini bukan ditempat umum lagi.

"Nggak ada hubungannya sama aku."

"Oh jadi sekarang lagi musuhan, ya? Aduh kasian banget Juna makin nggak punya temen. Kalau gitu, gimana kalau kita aja yang temenan?" Kak Shadam merangkulkan tangannya dipundakku. Kekuatannya cukup kuat untuk menarikku mendekat.

"Apaan sih, Kak? Aku mau pulang!"

"Loh, orang mau ngajak temenan masa nggak boleh? Sombong banget."

Posisi kami semakin dekat dan itu membuatku tidak nyaman. Sekuat tenang aku mencoba melepaskan diri darinya, tapi percuma. Semakin aku berontak, semakin erat rangkulannya. Hingga akhirnya aku tak memiliki pilihan lagi selain—

"Aargh—gila lo ya?" teriak lelaki itu saat aku menggigit tangannya lalu lari setelah lepas dari rangkulannya.

Sayup-sayup kumendengar teriakan Kak Shadam memanggil namaku, namun semakin cepat pula aku berlari dan enggan menoleh lagi. Meski sambil menahan takut dan gemetar, setidaknya aku memiliki sedikit keberanian. Apalagi setelah memikirkan Juna. Kuharap lelaki itu tahu kalau aku sekarang sudah lebih berani berkat dirinya.

JUNA & JEAN :: enerwon [ON HOLD]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang