Wanita itu memandangi nisan keramik dengan nama "Ryujin Narendra Ardhani" dengan nanar. Ia mengusap nisan itu lembut, sembari memandangi foto yang ada disana. Foto wajah cinta pertamanya. Ia tersenyum kecil memandangi foto itu.
"Ryu.. Udah tepat 10 tahun kamu pergi ninggalin aku," lirihnya
Air matanya turun tiba-tiba. Teringat masa-masa indahnya bersama Ryujin. Masa-masa yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidupnya. Masa-masa dimana ia benar-benar diperlakukan layaknya ratu oleh gadis yang tinggal dua blok dari rumahnya.
Hingga akhirnya, Ryujin pergi meninggalkan dunia. Meninggalkan orang terdekatnya, termasuk wanita yang sekarang sedang mengusap batu nisannya, Julianna Sonata.
Wanita yang akrab dipanggil Lia itu mengusap air matanya sendiri. Ia menaburkan bunga di atas makam Ryujin.
Orang-orang disana sudah tahu, bahwa Lia akan datang sebulan sekali. Di tanggal kematian Ryujin. Mereka sudah hafal, bahwa Lia biasa datang sendirian. Namun kali ini, ia datang bersama seorang lelaki. Lelaki yang sedang mengusap bahunya.
"Ryu.. Ini Jeno."
Lia memperkenalkan lelaki itu pada Ryujin. Entah Ryujin mendengar atau tidak. Lelaki yang dipanggil Jeno itu tersenyum sembari mengusap tanah yang mengubur Ryujin sebagai tanda perkenalan.
"Dia lelaki baik. Lelaki yang menurutku memenuhi standar kamu untuk menemaniku. Seperti yang kamu selalu bilang di surat-suratmu. Kalau kita nggak bisa bareng, setidaknya ada lelaki baik yang bisa menemaniku kan?"
Lia menatap Jeno. Ia tersenyum.
"Dia menemaniku sejak aku masuk kuliah. Dia yang menggantikan tugasmu di dunia. Sepertinya Tuhan baik banget sama aku, karena Tuhan nggak pernah membiarkan aku sendirian," ucap Lia
Lia menghela nafasnya. Ia sesungguhnya sangat beruntung memiliki Jeno. Jeno yang tidak pernah cemburu pada Ryujin, meski Lia sering menceritakan Ryujin padanya. Jeno seakan sangat paham bahwa Ryujin adalah bagian dari hidup Lia.
Lia pun mencintai Jeno. Namun, ada tempat di hatinya yang memang khusus dibuat untuk Ryujin.
"Besok, kita akan menikah, Ryu. Kamu udah aku ceritain kan? Aku harap kamu merestui pernikahan kami."
Ya, keduanya akan menikah besok. Setelah pertimbangan panjang dan setelah 8 tahun mereka saling mengenal, Lia yakin bahwa Jeno adalah pria yang pantas untuknya.
Seakan diberi restu, angin berhembus dengan tenang. Langit terlihat begitu cerah. Bahkan bunga rumput di tanah makam Ryujin ikut bergoyang, seakan ikut bahagia atas ucapan Lia.
"Terima kasih ya, Ryu. Atas semua kebahagiaan yang udah kamu kasih," ucap Lia
Jeno menatap Lia sembari tersenyum. Ia kemudian mengusap lagi rumput yang tumbuh di makam Ryujin.
"Gue emang nggak kenal lo, Ryu. Tapi dari cerita Lia, gue yakin lo orang baik. Baik, banget. Semoga gue bisa bahagiain Lia ya. Bantu gue ya, Ryu. Dateng ke mimpi gue, kasih tahu gue cara bahagiain Lia. Gue tahu lo akan terus jagain Lia dari jauh," kata Jeno seakan berbicara pada Ryujin
Jeno merangkul bahu Lia. Ia mengusapnya lembut sembari menatap Lia yang mulai menitikan air matanya lagi. Lia menarik nafas panjang. Bukan hal yang mudah untuk bergerak dari masa lalu. Namun kini, ia mengambil langkah untuk menerima lamaran dari Jeno Alvarez, teman satu kampusnya dulu.
Dari Jeno, Lia belajar arti mengikhlaskan. Lia belajar bahwa ketika apa yang sudah kita pertahankan sudah hilang, maka tugas kita hanyalah berserah dan melanjutkan hidup. Manusia bisa berencana, namun kehendak Tuhan yang menentukan.