3

6 3 3
                                    

Jun masih tidak percaya balasan kemarin benar-benar nyata. Hampir ia mengurungkan diri untuk pergi kalau Aria tidak mengirimkan puluhan email tentang film apa yang ingin mereka tonton, posisinya sekarang, serta nomor kursi yang akan mereka tempati. Serusak apapun moral Jun, setidaknya ia masih punya hati untuk tidak menginggalkan seseorang menunggu sendirian tanpa jawaban.

Alhasil, di sinilah ia, empat puluh langkah ke timur dari penjual popcorn --surel dari Aria yang bilang begitu. Di sana ia menemukan sang pengirim surel dengan satu kantong besar berisi camilan jagung, duduk sendirian di bangku untuk lima orang. Jun hendak mempersilakan diri untuk duduk di sebelahnya sebelum Aria menghentikan langkahnya. Ia mengangkat sebelah alis.

"Satu meter. Jangan dekat-dekat," Aria berucap, mulutnya setengah penuh dengan popcorn berlumur mentega yang sepertinya tidak akan habis walaupun mereka bekerja sama menyerangnya selama dua jam.

Jun hendak protes, tetapi akhirnya mengalah ketika ingat bahwa ialah yang secara tidak langsung memaksa Aria untuk ada di situasi ini. Ia duduk satu meter dari di mana Aria berada.Kalau dilihat dari jauh, mereka seperti pasangan yang sedang bertengkar. Orang-orang yang berjalan melewati mereka menoleh sebentar, lalu pura-pura tidak melihat.

"Kepalamu sehat?" Suara Aria terdengar lirih. Ia menutup mulutnya dengan tangan ketika menyadari bagaimana kalimatnya bisa disalahartikan. "Ah, maksudku... Tidak ada komplikasi ketika jatuh, kan? Gegar otak, tumor, stroke ringan, atau semacamnya?"

Jun mengerutkan dahi. Sepertinya komplikasi semacam itu tidak akan muncul hanya dari benturan belaka. Sumber dari internet seperti apa yang sudah wanita ini baca? Ia menggeleng. Aria menghela napas lega, seakan sebuah beban telah dilepaskan dari pundaknya. Jun tidak paham, rasa bersalahnya berlipat dua kali. Perempuan ini benar-benar sebegitu khawatirnya, sedangkan dia mengambil kesempatan untuk mengajaknya ke sini.

Arloji di pergelangan tangan Jun berbunyi. Lima menit menuju penayangan film. Ia tidak ingat film apa yang Aria pilih. Kemarin malam ia mendapat begitu banyak surel berisi rekomendasi film plus rating dari berbagai sumber sampai ia kewalahan. Hasilnya adalah ia memilih satu dengan acak sebelum pergi tidur. Kalau tidak salah sesuatu tentang bajak laut. Kalau tidak salah.

Jun mengambil inisiatif untuk memimpin jalan menuju ruang bioskop. Aria mengikuti dari belakang, masih mempertahankan jarak satu meternya. Mereka sampai di ruang gelap sebelum Jun sadar satu hal. Mereka memesan empat kursi alih-alih dua. Ia menoleh pada Aria, menanyakan apakah ada kesalahan pemesanan, tetapi yang bersangkutan hanya mengerjapkan mata seolah semua ini normal.

Aria duduk di kursi dengan satu tempat kosong di kanan kirinya. Jun ingin mengambil kursi di sebelahnya tetapi Aria menatapnya seperti orang aneh, maka ia mengambil kursi paling pojok, satu tempat kosong di antara mereka. Memang secara teknis ia bilang kemarin menonton film bersama, sih. Tidak ada penjelasan bahwa kursi mereka wajib bersebelahan. Sebuah pikiran melayang ke kepalanya.

Jangan-jangan, Aria membencinya?

Keringat dingin mengalir jatuh ke lehernya. Tidak heran kalau memang begitu kasusnya. Bayangkan saja semisal seseorang yang baru dikenalnya kemarin memaksa untuk membantunya berjalan, pingsan karena tertimpa kesialan, lalu tiba-tiba menuntut untuk menonton film bersama sebagai kompensasi. Sama sekali tidak aneh kalau Aria akan menolak berbicara kepadanya setelah ini. Oh, rasanya Jun ingin menyatu dengan tanah saja.

Kantong berisi berondong jagung diletakkan pada kursi di antara mereka.

MiasmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang