🌺 Marigold - 03

301 68 15
                                    

     Heihoo dramawers..

Siap lanjut drama?

Yukk tekan vote dulu..

Happy reading..

     🌺🌺🌺

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

    
🌺🌺🌺

      Kapal pesiar nan megah itu masih setia menerjang ombak samudra, menembus angin laut yang bisa menguliti tiap inci barisan bulu kuduk siapa saja. Tebaran lampu yang gemerlap penuh kemewahan nyatanya tak memberi kenyamanan bagi Irina hingga detik ini. Tak mampu bernapas lega karena merasa John dalam bahaya.

     Irina meletakkan sendok dari tangannya secara perlahan. Memanggil Shogi dengan hati-hati. "Shogi!"

     "Ya?"

     "Aku ke toilet sebentar, ya!" Tentu bukan itu tujuan Irina sebenarnya. Toilet hanyalah akal-akalannya semata agar bisa lari menuju kamar Shogi guna memberitahu John sebelum pengawal itu memergoki adiknya  terlebih dahulu. Atau mungkin mencegah pengawal Shogi agar tidak menuju kamar majikannya sekarang.

     Tapi situasi seresa membuat Irina merasa terlambat. Mau menghalang pun percuma, pria berbadan tinggi besar itu terlanjur berlalu dengan cepat. Seolah tak memberi waktu bagi Irina untuk berpikir terlebih brang sekejap.

     "Mau aku antar?" tanya Shogi saat Irina berdiri dari tempat duduknya.

     "Ah, tidak perlu," sahut Irina cepat. "A-aku bisa pergi sendiri," ujarnya sembari mengurai senyum kaku. Dalam batinnya begitu tergesa.

     Irina perlahan meninggalkan tempat, sebisa mungkin melangkah secara tenang meski hatinya menggebu ingin segera berlari. Namun ia tak bisa melakukannya mengingat dirinya masih dalam cakupan mata Shogi. Barulah saat ia menghilang di balik dinding dan Shogi sudah benar-benar tidak memperhatikannya, dengan cepat kilat ia merogoh ponsel yang ia sematkan pada celana pendek yang ia kenakan di balik gaunnya. Tangannya sampai bergetar menekan layar canggih itu.

      "Ayolah, John! Angkat!" racaunya seorang diri. Sial memang, berkali-kali John ia hubungi namun hasilnya nihil. Pemuda itu tak menjawab panggilannya. 

      Merasa tidak ada waktu lagi, Irina pun memutuskan untuk menyudahi usahanya menelpon sang adik. Kakinya pun melesat secepat mungkin mengejar seorang pengawal yang melangkah cepat kendati pria itu hanya berjalan.

      Irina melepas sepatu tinggi yang menghambat langkahnya. Lalu menentengnya sebelah tangan sedangkan tangan lainnya menjinjing gaun panjangnya yang  berumbai itu.

     Tidak peduli siapa dan apapun yang ada di depannya Irina terus menerjangnya dengan satu tujuan di kepala yakni, menuju kamar Shogi. Dari kejauhan matanya masih mendeteksi sosok pengawal Shogi yang masih berjalan dengan tenang. Irina memeta tempat sekitarnya. Nampaknya ajakan John untuk berkeliling kapal tadi siang ada gunanya juga. Paling tidak ia bisa tahu jalan pintas dari seluk beluk kapal tersebut. Gadis itu tak ragu untuk melompati pagar pembatas meski sedikit kesulitan dengan gaunnya. Lanjut menyusuri lorong sempit agar cepat sampai tujuan.     

     Napas yang terengah-engah serta peluh yang mulai bercucuran tak ia pedulikan. Ia hanya berlari dan berlari. Hingga kakinya tersandung sebuah besi yang sedikit menjulang di dek kapal.

     Brukkk!!

     "Arghh!" Irina terjatuh dan mengerang lirih merasakan kakinya yang perih pun ngilu. Tak mau kehilangan jejak, mata Irina masih tetap berusaha melihat keberadaan si pengawal. Tampak semakin cepat kala melewati jajaran jendela di arah jam sebelasnya. Irina mencoba untuk kembali bangkit dari jatuhnya. 
    
     Namun gaunnya tersangkut pada rentetan ujung besi yang timbul. Berkali-kali Irina menariknya namun sepertinya terlalu sulit untuk melepaskan gaunnya tersebut. Tak peduli, gaun mahal dari desainer ternama itu pun Irina tarik begitu saja dengan sekuat tenaga.

     Srekk!! 

     "O-ow..." bibir tipis itu membulat sempurna.

     Niatnya hanya menarik sedikit pada bagian yang tersangkut. Namun tampaknya jemari lentik itu terlalu perkasa untuk mengikuti alur yang seharusnya, robekan itu enggan putus dan justru menjalar hingga ke atas tanpa mampu Irina potong.

     "Sial! Ini kenapa jadi semakin ke atas begini aku merobeknya?" Irina meracau kembali tak mengerti dengan ulah tangannya sendiri. Waktunya terbuang sia-sia hanya untuk mengurusi gaun menyebalkan itu. Nyaris putus asa, Irina yang frustasi soal pergaunan ini pun mengacak-acak rumbaian itu, menariknya terus-menerus secara asal.

      Matanya berkedip berulang kali dengan bibir menganga. Menatap rumbaian yang sudah terputus dari badan gaun, menyisakan sedikit juluran hanya mencakup atas lutut—seperti rok mini dengan rintikan benang yang terurai tak beraturan. Sulit dipercaya tangannya dapat begitu mudah merusak gaun semahal ini. Irina tampak kebingungan mendapati paha mulusnya jadi terpampang nyata sekarang. Hingga goresan luka yang memerah dan masih mengalir darah segar itu terasa sejuk oleh semilirnya angin malam. Sialnya lagi kini kakinya sulit untuk berjalan kendati sudah dapat berdiri.

     Namun Irina tetap memaksakan dirinya untuk melanjutkan berlari setelah membalut lukanya dengan sedikit potongan gaunnya tadi dan melempar sembarang sisanya. Balutan kain putih itu pun perlahan berubah menjadi kemerahan  karena darah.

     Rasa sakit yang menjalar hingga seluruh tulang kakinya harus ia tahan sekarang. Jika John sampai tertangkap oleh pengawal itu, habis sudah riwayat mereka berdua. Shogi bisa saja memenggal kepala mereka atau akan memanggangnya hidup-hidup.

     Dengan langkah pincang gadis cantik itu menyusuri dek atas kapal hingga ke dek  antara. Memasuki sebuah pintu yang mana ia yakini dapat menembus kamar Shogi. Napasnya tersengal saat ia mengendap di dalamnya. Irina tak yakin sang pengawal sudah masuk kesana atau belum. Ia kehilangan jejak pria itu.

     Irina berdiri tegap di sisi dinding. Menelan salivanya berat di tengah napas yang memburu. Mengembalikan tenaganya sekejap yang nyaris terkuras habis setelah berlarian seperti makhluk astral. Irina meratakan pandangannya ke seluruh ruangan itu. Sebuah jam besar di samping lukisan abstrak yang menyatu dengan dinding berdetak bersamaan gerakan jarumnya di sana. Tapi, tunggu!

     Irina seperti menyadari ada sesuatu yang tidak beres disini. Matanya menyipit sembari wajah yang ia miringkan menatap jam besar itu. Sejak kapan kamar Shogi ada jam besar seperti itu? Dan lukisan itu? Seingat Irina sebelum ia berangkat untuk makan malam tadi tidak ada kedua benda itu saat memasuki kamar Shogi. Lantas matanya meneliti lagi benda-benda yang berada di sana. Bentuk ruangannya tak jauh berbeda dengan milik Shogi, hanya saja barang-barang yang tergeletak sama sekali bukan apa yang dilihatnya seharian tadi di kamar Shogi.

     Irina melangkah perlahan ke tengah ruangan. Bunyi kenop pintu yang diikuti suara berderik tiba-tiba saja membuatnya terpekik. Lantas memaksanya menurunkan tubuhnya seketika. Merangkak di balik sofa panjang dan bersembunyi disana.

     "Apa ada masalah di perusahaan?" suara seorang pria terdengar masuk hadir bersamaan detak sepatu yang menyentuh lantai. Diikuti suara detak lainnya yang menyusul.

     "Tidak ada, Tuan muda. Hanya saja Nyonya besar sangat marah atas kepergian anda secara diam-diam ini." jawab suara yang terdengar deep itu.

     Irina tak mampu berbuat apa-apa lagi selain hanya terdiam di balik persembunyiannya setelah memastikan dirinya berada dalam masalah baru.

Ia salah masuk kamar.

Tbc..

Hehee..
Pelan-pelan saja ya mas ganteng nongolnya..

See u next chapter..
Don't forget to vote n coment..

Marigold [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang