Balada Es Krim Strawberry

33 1 0
                                    

Aku mengayuh sepedaku perlahan-lahan. Berusaha menikmati Minggu yang ceria pagi ini. Suasana dirumah masih memburuk. Tidak ada perkembangan sama sekali. Aku berkali-kali menolak bujukan Kak Aldo untuk makan malam bersama di lantai bawah. Biasanya aku makan malam setelah semuanya sudah selesai, bersama Mbak Nah.  Setiap aku bepergian, aku tak pernah lewat pintu depan. Selalu lewat pintu belakang. Berkali-kali aku berpapasan dengan Papa ketika menuju dapur atau kamar mandi, tapi kami seperti tidak pernah saling mengenal. Aku berharap secepatnya mereka berdua pergi. Harapanku untuk berlibur bersama Papa, Mama dan Kak Aldo (tanpa Tamara) pupus sudah.

Aku menuntun sepedaku ketika melewati area persawahan, sesekali mengucapkan selamat pagi kepada petani yang sudah mulai bekerja. Aku berjalan dengan berhati-hati, takut kalau aku tergelincir jatuh ke sawah. Mengambil ponsel dan headset, aku mulai mendengarkan lagu kesukaanku. Bersepeda sambil mendengarkan lagu membuat suasana hatiku sedikit membaik.

Ketika sudah mulai kembali memasuki jalan raya, aku menaiki kembali sepeda ontelku. Melaju menuju taman kota. Matahari bersinar cerah, menggantikan hujan deras semalam. Taman kota pagi ini cukup ramai, dipenuhi orang-orang yang berolahraga, berpiknik, atau hanya sekedar bersantai menghilangkan penat. Beberapa penjual makanan memarkirkan gerobak mereka di pinggir jalan. Aku berjalan menuju pohon beringin yang rindang. Setelah memarkirkan sepedaku, aku duduk beralaskan rerumputan hijau dibawah pohon beringin. Aku memejamkan mata. Kenangan saat aku, Papa, Mama, dan Kak Aldo berpiknik disini, datang menghampiri otakku.

Mama menggelar tikar, Kak Aldo dan Papa sibuk foto sana-sini, sementara aku membantu Mama menata bekal dengan rapi di atas tikar bermotif kotak-kotak itu. Kami semua sangat bahagia. Kak Aldo sibuk berceloteh ria. Papa dan Mama menyimak setiap kata yang diucapkan Kak Aldo. Aku menyantap pastel goreng buatan Mama. Aku tersenyum mengingat kegiatan manis itu. Jarang sekali kami berpiknik karena Papa dan Mama selalu saja sibuk dengan pekerjaan mereka. Kak Aldo sibuk mengurus pekerjaannya. Sementara aku sibuk menunggu mereka semua bersantai.

Aku meluruskan kakiku, menatap ke arah keluarga bahagia yang duduk didepanku beralaskan koran. Mereka tampak sangat ceria. Seorang anak perempuan kecil berlari kesana-kemari, membuat wanita paruh baya (yang aku yakini itu ibunya) berusaha membujuk sang anak untuk tetap diam. Sang anak laki-laki yang lebih tua dari anak perempuan itu, sibuk memainkan mobil-mobilan mainannya. Si lelaki paruh baya (yang aku yakini itu ayah dari anak-anak yang lucu itu) menyuapi balita idi pangkuannya. Setelah suasana menjadi sedikit lebih tenang, sang ibu mengambil alih si balita itu. Kemudian mereka memakan makanan yang berada dihadapan mereka.

Sementara jauh disamping keluarga bahagia itu, ada seorang lelaki dengan pakaian kerjanya sedang duduk merenung diatas bangku taman kota. Kelihatannya dia sedang ada masalah; sama sepertiku. Dia menangkupkan wajahnya dengan telapak tangannya. Berkali-kali ia menaruh ponselnya ditelinganya, sama sekali tidak bisa tenang walau sedetikpun. Sepuluh menit kemudian, dengan langkah gontai dan penuh keputusasaan, pria itu pergi. Aku mengangkat bahu tak peduli.

Matahari semakin terik. Tapi itu tidak membuat tubuhku bergeser sejengkalpun untuk berteduh dari sinarnya yang menyengat. Walaupun begitu, keramaian di sini tidak berkurang. Malah bertambah banyak. Aku menghela nafas pelan.

“Boleh aku duduk disini?” Sebuah suara mengagetkan aku. Tanpa mencaritahu siapa pemilik suara itu, aku langsung mengangguk. Dia duduk disebelahku.

“Hei, ternyata kau memakai jepitan yang kuberikan kemarin.” Spontan, aku menoleh. Aku menahan nafas sejenak. Itu Dimas. Dia menoleh, menatapku sejenak. Wajahnya diterpa sinar matahari, membuatku menyipitkan mata sedikit. Dia kembali menatap lurus kedepan. Aku buru-buru mengikuti gerakannya.

Aku memegang rambutku. Ah, ternyata dia benar. Aku memakai jepitan yang ia berikan kemarin. Apa sebaiknya aku kembalikan saja, ya? Aku melepas jepitan itu, memberikannya kembali. Dia menggeleng, tatapannya masih lurus ke depan. Apa, sih, yang dia lihat? Dengan rasa penasaran, aku mengikuti arah tatapannya. Hanya ada pohon jati. Suasana menjadi senyap, suara-suara bising disekitarku rasanya dikalahkan oleh suara pikiranku. Ingin sekali aku membuka mulut, menanyakan mengapa ia ada disini. Tapi aku punya hak apa? Ini, kan, taman kota. Tempat umum. Semua orang bisa kesini, kan? Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa maluku.

“Mengapa kau ada disini?” Tanyaku pelan. Beberapa orang menyapa Dimas, yang dibalasnya hanya dengan anggukan kecil.

“Ini tempat faforitku.” Jawabnya cepat. Aku mengangguk acuh tak acuh. Merasa kurang puas dengan jawabannya, aku menanyakannya lagi, “Apa kau sering kesini?”

Dia masih menatap lurus kedepan, “Tidak juga.” Dia menjawab singkat.

Aku masih kurang puas dengan jawabannya. Mengapa ia terlihat begitu cuek dan pendiam? Mungkin jika dia lebih sedikit ramah dan ceria, aku akan menyukai dirinya. Aku menepuk dahiku. Pikiran macam apa itu? Tidak. Aku hanya boleh menyukai Reza seorang. Penjual es krim lewat, aku merogoh saku celana olahragaku, mencari uang. Setelah itu aku baru ingat bahwa aku sama sekali tidak membawa uang. Aku menghela nafas.

“Kau mau es krim?” Dia bertanya. Belum aku jawab, dia sudah berlari kecil mengejar penjual es krim yang sudah mulai menjauh itu. Tak sampai lima menit, dia sudah kembali dengan dua es krim di genggaman tangannya. Es krim dengan rasa strawberry di tangan kirinya, sementara es krim rasa cokelat di tangan kanannya. Dia memberikanku es krim strawberry. Aku menerimanya dengan gugup, mengucapkan kata terima kasih pelan. Bagaimana dia bisa tahu apa rasa es krim kesukaanku? Reza saja yang sudah berpacaran denganku sejak lama, selalu lupa apa rasa es krim kesukaanku. Oh, apa dia benar-benar tahu semua tentang diriku? Memikirkan itu membuat hatiku tersenyum.

“Biasanya..” Dia berkata sambil menggigit es krim cokelatnya, membuat gigiku serasa ngilu, “Perempuan itu suka es krim rasa strawberry.” Lanjutnya tanpa memperdulikan mimik wajahku yang kecewa atas jawabannya. Mengapa aku harus kecewa?

“Apa kau punya pacar?” Pertanyaan itu tanpa bisa kusaring terlebih dahulu, keluar dari mulutku sendiri. Aku mengutuk diriku sendiri. Benar-benar memalukan. Dia sama sekali tidak menjawab. Rasa strawberry di lidahku bergantikan menjadi rasa malu yang menjalar di seluruh tubuhku.

“Aku harus pergi.” Ucapnya sambil berlalu, meninggalkanku yang masih terdiam.

Bagus sekali, Lisa. Mungkin keesokan harinya dia akan menjauh darimu. Aku merutuk dalam hati.

* * *

Aku mengambil novel di tumpukan buku-buku yang ku susun asal diatas meja belajarku. Aku berusaha berkonsentrasi membaca tulisan-tulisan kecil diatas kertas itu. Tapi pikiranku tidak bisa. Kejadian tadi pagi membuat ku merasa merana. Aku berharap semoga saja dia bisa melupakannya dengan cepat. Sehingga aku tak perlu susah-susah menanggung rasa malu. Mengapa tadi dia tampaknya tidak suka dengan pertanyaanku? Apa susahnya menjawab ya atau tidak? Kenapa juga aku terlihat begitu peduli pada kehidupan sehari-harinya? Baiklah. Mungkin dia tidak menjawab pertanyaanku dan buru-buru pergi karena: Dia malu mengakui status hubungannya; dia sedang ada urusan lain, sehingga langsung pergi tanpa menggubris pertanyaanku; atau dia merasa aku ini sok-kenal-sok-dekat dengannya, sehingga dia tidak mau menjawab pertanyaan dari orang yang tidak dikenalnya. Aku menggeleng sendiri di pikiranku.

Perutku berbunyi, pertanda meminta makanan. Jam dinding di kamarku menunjukkan pukul setengah delapan malam. Yang kemungkinan, dibawah sana, mereka semua masih asyik makan malam. Baiklah, aku harus menunggu setengah jam lagi sampai mereka semua selesai makan malam dan pergi. Tapi sepertinya perutku tidak bisa diajak berkerja sama. Sekarang malah aku merasa perutku dililit, perih. Sepertinya maag ku kambuh. Akhirnya aku melawan suara hati kecilku. Dengan langkah malas, aku keluar dari kamarku, menuju meja makan. Benar saja, disana masih ada mereka yang sedang makan malam. Mama yang pertama kali menyadari kehadiranku, menyambutku ceria, buru-buru menyuruhku untuk duduk di bangku kosong disebelahnya. Aku mengangguk, menuruti perkataannya.

Aku menyendokkan sayur bening ke mulutku. Bersyukur karena perih di perutku sudah berkurang. Kami makan dalam suasana hening. Aku tidak terlalu menggubris hal itu. Karena yang terpenting saat ini adalah, aku kenyang dan secepatnya kembali ke kamarku yang nyaman. Mama mengambil tisu makan, lalu meraih bolpoin (yang tidak kuketahui sejak kapan berada disana) di samping piringnya. Ia menuliskan sesuatu di tisu itu. Dia menyenggol lenganku, menyuruhku membaca tulisannya yanh tidak beraturan itu.

Kau harus meminta maaf pada Papa dan Tamara.

Meminta maaf pada Papa dan Tamara? Kalau aku harus meminta maaf pada Papa sambil mencium kakinya, aku akan melakukan itu. Tapi tidak dengan tentang aku harus meminta maaf pada Tamara. Aku menggeleng ke arah Mama. Meminta maaf pada Tamara sama saja meminta maaf pada nenek sihir yang sudah meretakkan hubungan rumah tangga Papa dan Mama. Mama memelototiku. Aku tidak peduli, tetap melanjutkan makanku yang sempat terhenti karena pesan tak penting itu.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang